Headlines
Loading...
Oleh. Widhy Lutfiah Marha
(Pendidik Generasi)

Islamofobia, istilah yang telah tumbuh dalam lingkungan Barat pada era modern dan kemudian menjadi pandangan yang tersebar secara global setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika. Dengan kata lain, istilah ini berkembang di Barat sebelum menyebar luas setelah tragedi 11 September 2001.

Konsep islamofobia digunakan untuk merendahkan ajaran dan komunitas Islam, dari hal-hal keagamaan hingga aspek-aspek kehidupan di masyarakat sebagai bentuk perlawanan terhadap Islam. Berbagai tindakan yang merendahkan dan merugikan ajaran Tauhid ini terus berlangsung, seperti pembakaran Al-Qur'an di Swedia, larangan berhijab di India, pembunuhan keluarga Muslim di Kanada, serta pembakaran masjid dan insiden serupa lainnya. Pertanyaannya, mengapa fenomena ini tidak kunjung berakhir?

Bahkan baru-baru ini, kejadian pembakaran masjid oleh sekelompok orang Hindu di India yang mengakibatkan tewasnya seorang imam menjadi contoh nyata bagaimana sentimen anti-Islam bisa berkembang tanpa mendapat reaksi serius dari komunitas global yang menghargai Hak Asasi Manusia. Tanggapan yang diberikan hanya berupa kritik tanpa dampak nyata dalam menghentikan diskriminasi terhadap minoritas Muslim. Ini tercermin dalam pernyataan Ketua Menteri Haryana Manohar Lal Khattar di Twitter (Cnbcindonesia.com, 1-8-2023).

Di India yang sama, diskriminasi dalam bentuk larangan berhijab terhadap siswi sekolah kedinasan menggambarkan bagaimana rezim islamofobia di negara itu merugikan komunitas Muslim. Partai politik Hindu radikal yang berkuasa mengeluarkan kebijakan-kebijakan anti-Islam, bahkan mencapai level sekolah di Karnataka dengan menerapkan larangan berhijab (Suara.com, 10-2-2022).

Kemudian adanya serangkaian tindakan pembakaran Al-Qur'an yang berlangsung selama tiga hari oleh kelompok atau individu yang menganut pandangan islamofobia, terutama di negara-negara Eropa Utara dan Nordik. Respons terhadap insiden ini hanya berupa kecaman dari Menteri Luar Negeri Denmark Lars Lokke Rasmussen di Twitter (Sindonews.com, 3-8-2023).

Semua kasus tersebut adalah bukti nyata bahwa islamofobia memicu terjadinya diskriminasi di berbagai negara dengan populasi minoritas Muslim, dan sayangnya belum ada tindakan konkret yang berhasil menghentikannya. Bahkan di negara-negara Barat yang sering mengedepankan nilai-nilai Hak Asasi Manusia, mereka sendiri terlibat dalam pelanggaran hak-hak tersebut melalui tindakan-tindakan islamofobia.

Realitanya, nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang diusung Amerika dan negara-negara Barat lainnya ternyata bersifat utopis. Amerika Serikat, yang notabene mendukung HAM dan demokrasi, justru menjadi pihak yang merugikan Muslim di berbagai tempat. Faktanya, Amerika Serikat cenderung tidak serius dalam menangani islamofobia dan bahkan dalam beberapa kasus berperan sebagai pelanggar HAM yang signifikan sebagai manifestasi dari pandangan anti-Islam.

Kebebasan berekspresi dan berpendapat, yang dianggap sebagai prinsip utama demokrasi, sebenarnya menjadi alat bagi Barat untuk merendahkan Islam. Terlebih lagi, konsep HAM seolah digunakan sebagai kibaran bendera untuk membenarkan tindakan-tindakan islamofobia. Faktanya, dunia dalam hal ini tidak memiliki daya untuk melawan arus ini, dan kebebasan berekspresi yang mereka pegang hanya berlaku bagi Barat, bukan bagi umat Muslim.

Kebencian terhadap Islam dan penganutnya terus berlanjut, baik dalam bentuk serangan terhadap simbol-simbol agama Islam maupun individu Muslim. Sekali lagi, dunia tampaknya tidak memiliki kemampuan untuk menghentikannya, terutama karena HAM dan kebebasan berekspresi menjadi pembenaran untuk tindakan-tindakan ini. Penetapan Hari Anti Islamofobia oleh PBB pun tampaknya tidak mampu mengatasi kejahatan ini, seolah-olah tindakan pelecehan dan penodaan agama dianggap sebagai hak kebebasan berekspresi. Pertanyaannya, jika hal ini dianggap sebagai bentuk kebebasan berekspresi, maka apa lagi yang bisa diharapkan dari sistem ini untuk mengakhiri masalah ini? Bagaimana umat Islam bisa keluar dari lingkaran islamofobia ini?

Legitimasi HAM untuk Islamofobia

Ketika sebagian orang menganggap Islamofobia hanya sebagai taktik korban, Sekjen LBH Pelita Umat Panca Putra Kurnia justru melihat Islamofobia sebagai isu serius. Kesadaran bahwa pandangan publik yang mendukung kebencian terhadap Islam disokong oleh legitimasi HAM justru dapat membenarkan dan memperparah situasi ini, yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi dunia bahwa Islamofobia adalah sesuatu yang wajar. Namun, pandangan tersebut seringkali tidak memperhatikan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada umat Islam, seperti yang diungkapkan oleh seorang politikus Belanda dalam kasus penghinaan terhadap Islam oleh seorang politikus India.

Sungguh, ada ketidakadilan yang jelas terlihat. Dari peristiwa-peristiwa ini, keamanan menjadi hal yang makin sulit didapatkan dan sangat berharga bagi umat Muslim. Tidak ada tindakan yang efektif untuk menghentikan arus islamofobia yang mengurungkan umat dalam keadaan tak berdaya. Terutama di Barat dan negara-negara yang cenderung anti-Islam, kebencian terhadap Islam dan umatnya terus berkembang tanpa hambatan. Bahkan lembaga-lembaga internasional sebesar PBB dan OKI hanya mampu mengancam, tetapi tidak memiliki otoritas yang cukup untuk memberikan perlindungan yang efektif terhadap islamofobia.

Diskriminasi ini tidak hanya berasal dari individu atau kelompok, tetapi juga memiliki dasar ideologi yang lebih luas, yaitu kapitalisme sekuler yang tidak sempurna dan cacat sejak awal kelahirannya. Hal ini juga menciptakan demokrasi yang sering digunakan sebagai payung untuk melanggengkan islamofobia. Fenomena ini terus terjadi dengan berbagai bentuknya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Ketidakadilan ini semakin jelas jika kita melihat bagaimana Amerika dan negara-negara Barat lainnya sering kali mendukung sekutu-sekutunya yang melakukan pelanggaran HAM, sementara seolah-olah menunjukkan sikap netral dalam menangani islamofobia. Faktanya, perangkat pemerintahan dan kekuatan militer banyak digunakan untuk membela kepentingan mereka sendiri, bahkan jika itu merugikan umat Muslim.

Jadi, dalam menghadapi islamofobia, kita perlu menyadari bahwa nilai-nilai demokrasi dan HAM seringkali digunakan secara selektif dan tidak konsisten, terutama jika melibatkan komunitas Muslim. Oleh karena itu, solusi yang lebih kuat dan berkelanjutan mungkin perlu dicari.

Umat Islam Memerlukan Institusi yang Kuat

Untuk mengatasi tantangan islamofobia, umat Islam perlu memiliki kekuatan dan perlindungan yang lebih besar. Salah satu cara untuk mencapai hal ini adalah dengan membentuk institusi negara yang kuat dan memiliki wewenang yang cukup untuk melindungi umat Muslim dari diskriminasi dan penindasan. Institusi semacam ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip Islam dan mampu menghadapi ancaman islamofobia dengan tegas.

Dalam hal ini adalah Khilafah Islamiah, yang didasarkan pada metode kenabian dan menerapkan sistem syariah Islam secara komprehensif.

Bagaimana Khilafah Dapat Mengatasi Islamofobia?

Pertama, penyatuan negara-negara Muslim dan penghapusan batas-batas nasional. Dengan menghapus batas-batas nasional, Khilafah akan menyatukan wilayah-wilayah Muslim di bawah satu pemerintahan yang mengikuti prinsip-prinsip Islam. Ini akan menggabungkan kekuatan dan sumber daya dari berbagai wilayah, sehingga umat Muslim menjadi lebih tangguh dalam menghadapi tekanan dari luar.

Kedua, penggunaan seluruh alat negara, termasuk militer, untuk melindungi umat Muslim yang tertindas. Negara Islam akan menggunakan segala daya dan upaya yang ada untuk melindungi umat Muslim dari segala bentuk penindasan, baik itu dalam bentuk politik, ekonomi, atau militer. Hal ini didasarkan pada prinsip-prinsip Islam yang mewajibkan perlindungan terhadap jiwa dan kehormatan manusia.

Ketiga, menerapkan paradigma kewarganegaraan Islam dalam masyarakat. Dalam sistem Khilafah, kewarganegaraan tidak didasarkan pada etnis, bangsa, atau agama, tetapi pada komitmen individu terhadap prinsip-prinsip Islam dan loyalitas terhadap negara yang menerapkan hukum-hukum Islam. Semua warga negara akan diperlakukan dengan adil dan setara, tanpa memandang latar belakang mereka.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip di atas, Khilafah Islamiah memiliki potensi untuk menghadapi islamofobia dengan lebih efektif. Melalui penyatuan umat Muslim, perlindungan yang kuat, dan penerapan nilai-nilai Islam dalam masyarakat, umat Islam dapat meraih kedudukan yang lebih baik dalam menghadapi tantangan. Wallahu a'lam biashshawab.

Baca juga:

0 Comments: