Headlines
Loading...
Kebocoran Data Paspor, Negara Abai terhadap Keamanan Data?

Kebocoran Data Paspor, Negara Abai terhadap Keamanan Data?

Oleh. Galuh 

Keamanan data rakyat merupakan hal yang sangat penting dan krusial bagi suatu negara, terlebih di tengah gencarnya arus transformasi digital yang begitu pesat. Sayangnya, jaminan keamanan data belum terwujud sampai saat ini. Hal ini terlihat dari kasus yang terjadi akhir-akhir ini. Dugaan kasus kebocoran data paspor Indonesia kembali terjadi pada Rabu, 5 Juli 2023. Kabarnya sekitar 34 juta data keimigrasian diduga bocor dan diperjualbelikan (detik.news, 18/07/2023).

Hal itu terungkap melalui akun Twitter @secgron, Teguh Aprianto, konsultan keamanan siber. Teguh mengunggah tangkapan layar portal yang menjual data paspor Warga Negara Indonesia (WNI) yang terdiri atas nama lengkap, tanggal berlaku paspor, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, dan lain-lain. Data tersebut dijual antara 10 ribu dolar AS atau sekitar 150 juta rupiah. 

Kasus kebocoran data di Indonesia tidak hanya terjadi satu dua kali saja. Rentetan kebocoran data pribadi warga terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2022. Bjorka, hacker kondang mendominasi kasus pencurian data pribadi sepanjang tahun 2022. Terlebih data tersebut sangat vital kaitannya sebagai sumber jalannya era digital. Banyaknya celah pada situs-situs perusahaan atau instansi pemerintah memudahkan para hacker atau peretas untuk membobol informasi pribadi seseorang. Selain itu, kurangnya literasi keamanan data digital dan belum adanya hukum pasti tentang kejahatan digital, hal itu membuka jalan bagi peretas untuk melakukan perbuatan jahatnya.
Lalu bagaimana urgensi kasus tersebut dalam sudut pandang Islam?

Keamanan Data Digital

Dilansir dari Goodstat, berdasarkan data statistik, negara Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara pengguna internet terbesar di dunia pada tahun 2023, dengan jumlah sebesar 212,9 juta pengguna. Jumlah itu naik sebesar 0,04% dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut laporan We Are Social, pada Januari 2022, tercatat sebanyak 204,7 juta pengguna internet di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia intens menggunakan perangkat digital (Goodstats.id, 20/06/2023).

Namun dari beberapa dampak positif adanya perangkat digital, kita juga akan menjumpai dampak negatif yaitu era digital telah memberikan kesan bahwa ruang privat masyarakat telah hilang. Tak bisa dipungkiri, kasus kebocoran data cukup berbahaya di era digitalisasi saat ini. 

Selain itu, hampir semua aktivitas sehari-hari membutuhkan informasi dan data pribadi. Karena ketika kita menggunakan platform digital apapun membutuhkan informasi pribadi, alamat email, password atau nomor handphone, sehingga risiko kebocoran data cukup tinggi. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak orang yang mengunggah KTP, SIM, nomor handphone, dan akta kelahiran di media sosial. Banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa informasi pribadi dapat disalahgunakan dan tidak boleh dibagikan sembarang.

Rendahnya Keamanan Data Digital di Indonesia

Tingkat keamanan digital di Indonesia masih sangat rendah dan merupakan salah satu masalah yang cukup serius saat ini. Keamanan digital merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam era teknologi saat ini, karena setiap individu atau organisasi terkoneksi dengan internet dan memiliki data yang tersimpan di dalam komputer atau media lainnya. Berdasarkan laporan National Cyber Security Index (NCSI), tingkat keamanan digital di Indonesia masih rendah dibandingkan negara-negara lain. Indonesia menempati posisi ke-3 terendah dibandingkan negara-negara G20. Indonesia hanya unggul di atas Meksiko dan Afrika Selatan yang secara poin terpaut tidak terlalu jauh dari Indonesia. Sementara secara global, Indonesia menempati posisi ke-83 dari 160 negara dalam daftar di laporan tersebut (databoks.katadata.co.id, 13/09/2022).

Kebocoran data pribadi nomor paspor ini bukan pertama kali terjadi, sebelumnya terdapat kasus kebocoran data yang menghebohkan publik sepanjang tahun 2022. Sebelumnya, Bjorka mengeklaim meretas dan menjual data pribadi lainnya. Data yang bocor diduga berasal dari aplikasi milik institusi negara atau pemerintah meskipun belum ada pengakuan secara terbuka, antara lain kasus bocornya 3,2 miliar data pengguna Pedulilindungi, 19 juta data BPJS Ketenagakerjaan serta data 44 juta pengguna MyPertamina yang dijual dalam bentuk BitCoin seharga 392 juta rupiah.

Langkah yang Harus Diambil Negara

Kebocoran data pribadi yang terulang ini sejatinya menunjukkan bahwa terjadi keadaan darurat perlindungan data pribadi di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, padahal pemerintah telah mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi menjadi Undang-Undang (UU) pada bulan September 2022 lalu. Sejak ditetapkannya UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP) menjadi landasan hukum yang dipandang kuat bagi negara untuk menjamin dan memastikan perlindungan data pribadi rakyatnya. Namun realitanya, UU tersebut gagal membendung aksi kriminal siber tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa UU tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan yang ada terutama di bidang keamanan data digital. Kelemahan dari UU ini tidak bisa dilepaskan dari paradigma yang mendasari pembuatan UU tersebut. 

Paradigma sekuler kapitalis saat ini menjadikan keuntungan materi sebagai landasan kehidupan. Akal manusia menjadi kiblat penentu segala sesuatu, padahal hakikatnya manusia adalah makhluk yang lemah. Dengan demikian pemikiran yang lahir darinya penuh dengan kelemahan, dan tidak bisa menjangkau serta memahami akar persoalan sehingga tidak menyelesaikan masalah yang ada. 

Terlebih adanya konflik kepentingan yang membuat undang-undang lebih memihak pada oligarki sehingga abai terhadap rakyat sendiri. Akibatnya, negara gagal membangun infrastruktur dan instrumen teknologi informasi yang menunjang keamanan data pribadi rakyatnya di tengah pembangunan infrastruktur fisik yang saat ini masih digencarkan pemerintah. Hal ini ditunjukkan dari tidak meratanya penyebaran infrastruktur teknologi informasi antara daerah kota dan daerah-daerah terpencil.

Ditambah liberalisme yang dijunjung tinggi negeri ini menjadikan pribadi rakyat jauh dari Islam dan tumbuh menjadi rakyat yang materialistis. Tidak adanya pondasi akidah yang kuat sehingga menjadikan rakyat mengabaikan hukum halal dan haram dalam setiap aktivitasnya. Kejahatan siber pun menjadi pilihan instan dan menggiurkan. Persoalan sistemik ini tentu membutuhkan solusi yang tepat dan sistemik. Peran negara harus dikembalikan sebagai pelindung dan pelayan umat. Peran tersebut akan benar-benar berjalan di bawah penerapan sistem Islam kafah. Sistem pemerintahan yang didasarkan pada hukum Allah dari Al-Qur’an dan hadis.

Dengan perkembangan teknologi yang pesat, sistem tersebut akan membangun infrastruktur yang kuat dan unggul untuk menunjang keamanan data pribadi rakyatnya. Sebab hal tersebut merupakan hak rakyat dalam kebutuhan asasiyah. Dalam penerapan aturan Islam di antaranya menjaga harta dan jiwa umat, di sisi lain terjadinya kebocoran data pribadi rakyat akan dapat berujung pada pemerasan online dan tindak kriminal digital lainnya. Hal ini tentu menghambat terwujudnya perlindungan atas harta dan jiwa. Islam menggariskan negara menjadi negara adidaya serta mengupayakan semua fasilitas dan sumber daya yang dimilikinya supaya dapat menunjang kebutuhan rakyat termasuk menjaga keamanan data pribadi rakyatnya. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: