Headlines
Loading...
Oleh. Ummu Qiyya

Tahun ajaran baru selalu disibukkan dengan proses PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). Namun, sayang kisruh terjadi pada PPDB beberapa waktu lalu. Sistem zonasi yang digadang-gadang memberikan kemudahan dalam akses pendidikan, justru sebaliknya. Alih-alih memudahkan calon murid untuk mendapatkan sekolah, tetapi membuat peserta didik susah.

Fakta di lapang berbicara, terjadi kisruh gegara sistem zonasi ini. Proses PPDB tahun ajaran 2023/2024 di Indonesia diwarnai dengan praktik kecurangan. Praktik curang ini terjadi di sejumlah daerah mulai dari Bogor, Bekasi, hingga Kepulauan Riau. Praktik kecurangan yang terjadi antara lain: jual beli kursi, pungutan liar, domisili tidak sesuai KK, manipulasi dan pemalsuan KK, serta adanya pejabat yang menitipkan calon siswa (Tekno.tempo.co, 13/7/2023).

Misalnya di Bogor, diberitakan bahwa dari 161 siswa baru SMAN 1 Bogor, hanya 4 siswa yang berasal dari daerah sekitar. Sedangkan yang lain justru berasal dari daerah luar zonasi yang menumpang KK warga sekitar agar bisa masuk lewat jalur zonasi di sekolah tersebut (Beritasatu.com, 13/7/2023).

Dugaan manipulasi data ini disinyalir karena orang tua yang sangat menginginkan anak-anak mereka diterima di sekolah favorit yang mereka inginkan (Tekno.tempo.co,15/7/2023).

Mengapa fakta ini bisa terjadi? Kekisruhan PPDB terjadi di sana-sini? Penyebabnya adalah kebijakan sistem zonasi. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018, disebutkan bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit sebesar 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. 

Mendikbud menuturkan, kebijakan zonasi diambil sebagai respon atas terjadinya kastanisasi atau kesenjangan dalam dunia pendidikan dimana seleksi penerimaan siswa baru dilakukan dengan cara tes intelektual sehingga ada yang digolongkan sebagai sekolah favorit dan sekolah tidak favorit, stigma inilah yang sebenarnya ingin diubah melalui sistem zonasi ini.

Namun pada praktiknya sistem zonasi ini justru menimbulkan banyak kekisruhan, hal ini menjadi salah satu pertanda bahwa kebijakan tersebut kurang tepat. 

Ditambah lagi, kita sekarang hidup di sistem kapitalisme yang mementingkan keuntungan semata. Sistem hidup yang membuat kita tidak bisa lepas dari kecurangan. Orang berani melakukan segala macam cara agar mendapatkan apa yang diinginkan. Tidak peduli aturan Allah Swt.. Apakah Allah membolehkan atau melarangnya.

Lalu bagaimana? Adakah solusi? Tentu ada. Islam menjadikan pendidikan adalah hak bagi rakyat. Rakyat bisa mendapatkannya tanpa biaya alias gratis. Kaya atau miskin, Muslim atau non-muslim. Sehingga fasilitas dan sarana pendidikan pun tak akan dibedakan. Semua punya kualitas yang sama. Tak ada sekolah unggulan atau sekolah biasa. Kastanisasi pendidikan pun akhirnya tak akan ada.

Komponen pendidikan yaitu guru dan segala fasilitas sekolah akan dipenuhi negara sebagai bentuk tanggung jawabnya mengurus rakyat. Negara sadar betul bahwa itu adalah perintah Allah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Seperti dalam hadits dikatakan,
Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya dan demikian juga seorang pria adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR Bukhari: 2278)

Guru dan fasilitas yang berkualitas memang harus diusahakan demi hasil pendidikan yang baik. Negara perlu menggaji guru dengan gaji yang layak. Selain itu juga membangun banyak fasilitas pendidikan seperti bangunan sekolah, perpustakaan, laboratorium, aula, uks, tempat ibadah dan fasilitas penting lainnya.

Biaya yang besar akan sangat dibutuhkan. Dari mana negara mendapatkannya? 
Dari mana biaya tersebut diperoleh? Tidak usah risau, negara mempunyai pos pendanaan dari pengelolaan sumber daya alam yang beraneka ragam, ditambah pos jizyah, kharaj dan fa’i yang cukup untuk mendanai semuanya.

Selain menyamakan kualitas sekolah-sekolah, seharusnya yang perlu diutamakan dalam sektor pendidikan adalah bagaimana sekolah bisa mengantarkan siswa siswinya menjadi orang-orang yang berkepribadian Islam. Tidak hanya siswa yang mengejar  manfaat dan nilai tinggi saja namun kurikulum pendidikannya pun dirancang tak lepas dari akidah Islam. Harapannya kelak dapat melahirkan generasi yang tak hanya ahli dan cakap di bidangnya, atau terdepan dalam sains dan teknologi saja, namun out put yang didapatkan adalah orang-orang yang siap menjadi pejuang di masa depan. Manusia-manusia  pemimpin dan penopang peradaban Islam yang mulia. 

Demikianlah, sistem Islam memberikan pengaturan dalam aspek pendidikan, hingga kisruh dalam PPDB tak akan terulang lagi. Harapan tercapai generasi terbaik pun bukanlah suatu ilusi atau sekedar mimpi. Namun, suatu hal yang nyata ada di depan mata kita. Seperti yang tertulis dalam firman-Nya, QS. Ali Imran: 110,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Wallahualam bishawab. 

Baca juga:

0 Comments: