OPINI
Kisruh PPDB, Potret Buram Pendidikan Kapitalis
Oleh. Naini Mar Atus
Tahun ajaran baru 2023/2024 telah dimulai. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini juga diwarnai dengan polemik yang syarat dengan banyak praktik kecurangan.
Berdasarkan catatan Tempo, adanya praktik kecurangan itu terjadi disejumlah daerah mulai dari Bogor, Bekasi hingga Kepulauan Riau (Kepri). Dugaan kecurangan PPDB 2023 di Indonesia yang pertama terendus adalah adanya praktik jual beli kursi di Karawang. Di Kecamatan Karawang Timur ada salah seorang warga yang mengungkapkan adanya kegiatan transaksional saat PPDB SMP jalur zonasi, mengaku harus mengeluarkan uang sekitar Rp 3 juta agar anaknya dapat diterima di SMP Negeri di wilayah Karawang Barat. Kemudian ditemukan sejumlah oknum pejabat hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang menitipkan handai taulan sampai anak dari konstituennya agar bisa masuk ke sekolah tertentu pada seleksi PPDB 2023. (https://tekno.tempo.co/read/1747548/daftar-dugaan-kecurangan-ppdb-2023-dari-jual-beli-kursi-hingga-titipan-pejabat, 13/06/2023).
PPDB jalur zonasi di sinyalir juga diwarnai dengan pungutan liar atau pungli selain adanya jual beli kursi. SMP Negeri di Kecamatan Karawang Timur misalnya, diduga, menarik sejumlah uang kepada seluruh orangtua siswa dengan nominal Rp 1 juta. Kemudian, kecurangan lain yang terjadi adalah dengan menuliskan domisili yang tidak sesuai dengan Kartu Keluarga (KK). Bahkan hingga memanipulasi KK seperti yang terjadi di Kota Bogor. Pejabat pun ikut-ikutan melakukan kecurangan PPDB 2023 dengan menitipkan calon siswa ke SMA atau SMK tertentu seperti yang terjadi di Kepulauan Riau (www.tekno.tempo.com, 13/06/2023).
Kecurangan terjadi tidak hanya di suatu daerah saja tapi hampir merata terjadi di seluruh daerah di negeri ini. Tentu ini mengakibatkan kekisruhan PPDB di dunia pendidikan. Banyak masyarakat mengeluhkan proses PPDB yang tidak transparan dan syarat dengan praktik kecurangan. Akibatnya banyak anak-anak yang menjadi korban karena tidak diterima di sekolah yang padahal dari skala jarak masih masuk sistem zonasi. Lebih ironisnya anak yang tinggal hanya beberapa meter dari sekolah terpaksa harus bersekolah jauh di luar wilayah ia tinggal, karena kuota siswa di sekolah tempat ia tinggal telah penuh bahkan ada yang sampai belum mendapatkan sekolah negeri sampai saat ini.
Kisruhnya PPDB di berbagai tempat di negeri ini menjadi bukti tidak tepatnya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Proses PPDB sistem zonasi yang diterapkan saat ini, seakan menjadi solusi bagi orangtua untuk memudahkan anak-anak mereka mendapatkan sekolah, demi mengenyam pendidikan yang mudah, murah dan berkualitas dari segi efisiensi waktu serta jarak. Serta menghapus anggapan masyarakat akan kastanisasi pendidikan antara sekolah favorit/non favorit dan sekolah unggulan/non unggulan.
Hal ini dikarenakan pendidikan saat ini di bawah sistem sekuler kapitalis. Tidak meratanya jumlah sekolah, kualitas dan lokasi di suatu daerah tak sebanding dengan jumlah calon siswa yang mendaftar, masih banyak daerah yang kekurangan sekolah berstatus sekolah negeri. Dari segi kualitas banyak ketimpangan dalam hal layanan pendidikan sehingga memunculkan istilah sekolah favorit atau ungggulan.
Namun sayang, nyatanya hal ini justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum atau instansi yang tidak bertanggung jawab hanya demi keuntungan pribadinya. Hal itu diperparah dengan tindakan para orangtua yang menggunakan segala cara agar bisa menyekolahkan anak mereka di sekolah yang dituju. Apalagi sampai mendorong masyarakat berbuat curang demi bisa masuk di sekolah yang dikehendaki, yang berarti makin menggambarkan gagalnya sistem pendidikan sekuler dalam menghasilkan individu yang berkepribadian Islam.
Sangat bertolak belakang dengan jaminan pendidikan dalam Islam, dimana Islam menjamin pendidikan yang mudah, murah serta merata dan berkualitas bagi rakyatnya. Pendidikan dalam Islam adalah tanggung jawab negara, dan berlaku adil untuk semua rakyat. Termasuk kewajiban negara menyediakan sarana pendidikan yang berkualitas, gratis dan mudah diakses oleh semua peserta didik.
Sebab, negara dalam sistem Islam berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan dan papan, dimana negara memberi jaminan tak langsung, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Artinya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman Al-Maliki, 1963).
Dalam As-Sunnah dan Ijma'Sahabat Nabi SAW bersabda:
"Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu." (HR. Muslim).
Setelah perang Badar, sebagian tawanan yang tidak sanggup menebus pembebasannya, diharuskan mengajari baca tulis kepada sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya (Al-Mubarakfuri, 2005; Karim, 2001).
Pada masa Khilafah Utsmaniyah, Sultan Muhammad Al-Fatih (w. 1481) menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul) dibangun delapan sekolah. Disekolah tersebut dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Para siswa juga diberikan beasiswa bulanan. Dibangun juga sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabu, 2004).
Oleh karenanya pendidikan yang adil, merata, mudah dan berkualitas hanya bisa diwujudkan dengan pendidikan yang diatur dengan Sistem Islam sehingga tak akan ada lagi kekisruhan di dunia pendidikan seperti saat ini.
0 Comments: