Headlines
Loading...
Oleh. Maret Atik

Sebuah kasus yang mencoreng wajah dunia pendidikan kembali terjadi. Kali ini, kasusnya adalah pembunuhan yang diduga dilakukan oleh seorang mahasiswa sebuah universitas ternama di Jakarta terhadap adik tingkatnya. Setelah menghabisi korban, pelaku kemudian mengambil barang berharga milik korban. Rupanya, pelaku iri terhadap korban, ditambah lagi, dia juga terjerat pinjol (pinjaman online) (Republika.co.id, 05/08/23).

Sistem pendidikan hari ini terbukti tidak mampu menjadikan peserta didiknya menjadi insan yang berakhlak mulia dan memiliki sopan santun. Karena fakta justru menunjukkan banyak sekali terjadi kasus perundungan, pelecehan, kekerasan verbal maupun fisik, yang terjadi di satuan pendidikan. Pelaku dan korbannya pun beragam dan merata. Dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan juga tidak luput terjadi di kalangan pesantren.

Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, kenapa semua itu begitu marak terjadi. Bukankah seharusnya dunia pendidikan itu tempatnya orang-orang yang memiliki intelektual tinggi, memiliki sopan santun dan akhlak mulia?

Mencari Akar Persoalan

Segala yang terjadi dalam dunia pendidikan, tentu tidak terlepas dari grand design yang dipakai dalam sistem pendidikan tersebut. Jika sistem pendidikannya Islam, maka akan menghasilkan generasi yang berkepribadian Islam. Sedangkan jika sistem yang dipakai bukan sistem Islam, maka hasilnya akan seperti yang kita saksikan hari ini. Karena nyatanya, sistem pendidikan yang diterapkan hari ini adalah sistem pendidikan sekuler. 

Mengapa sistem pendidikan yang sekuler ini menghasilkan anak didik yang jauh dari harapan? Karena tolok ukur yang dipakai dalam sistem sekuler bukanlah tolok ukur yang manusiawi, meskipun sistem sekuler ini dibuat oleh manusia. Jusru karena sistem sekuler ini dibuat oleh manusia, maka tolok ukur kebenaran, kebaikan, kebahagiaan, menjadi nisbi, karena diserahkan kepada manusia. 

Sebagaimana diketahui bahwa sekularisme mengajarkan bahwa kebahagiaan dapat dicapai jika memiliki banyak materi, dan dapat menikmati materi sebanyak-banyaknya, alias mendapatkan kesenangan fisik semata (Nidhomul Islam, Taqiyuddin an-Nabhani). Prinsip ini, akan mendorong seseorang untuk mencari materi sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan halal haram. 

Batasan kebenaran dan kebaikan dalam sekularisme juga tidak jelas, karena sekularisme mengagungkan kebebasan (liberalisme). Semua orang bebas berbicara dan bertingkah laku sesuai dengan seleranya. Tentu hal ini sangat berbahaya, karena bisa jadi tindakan kita melanggar syariat agama. Hanya saja, karena memang demikian watak sekularisme, memisahkan agama dari kehidupan, maka hal itu dianggap hal biasa, bukan masalah.  

Padahal sejatinya, itulah akar masalah. Dengan kita meninggalkan agama, maka kehidupan menjadi tidak teratur dan banyak masalah. Karena pada dasarnya, manusia hidup itu membutuhkan aturan.

Islam adalah Solusi

Islam sebagai agama terakhir yang Allah turunkan, telah menyiapkan segala aturan yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Termasuk dalam bidang pendidikan. Dan karena aturan ini berasal dari Allah, Zat yang menciptakan alam semesta beserta isinya, termasuk manusia, maka sudah pasti, isinya akan sesuai dengan kadarnya manusia. Termasuk dalam hal pendidikan, Islam juga telah memiliki aturan yang khas.

Sistem pendidikan Islam, menjadikan akidah Islam sebagai dasar dari kurikulum yang dipakai dalam dunia pendidikan. Mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Semua sekolah wajib menerapkan kurikulum yang berlandaskan akidah Islam. Sekolah swasta pun wajib menerapkan hal yang sama. 

Materi yang diajarkan di tingkat dasar hingga jenjang pendidikan menengah, murni berisi tsaqofah Islam. Tsaqofah asing hanya diberikan di jenjang perguruan tinggi. Hal ini dilakukan karena di tahap awal, anak belum memiliki kemampuan yang cukup untuk membedakan baik dan buruk. Sedangkan di jenjang perguruan tinggi, anak sudah memiliki bekal yang cukup banyak, sehingga bisa digunakan untuk menilai baik-buruk.

Mempelajari tsaqofah asing pun bukan dalam rangka untuk diambil sebagai jalan hidup, namun sekedar sebagai pengetahuan. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui kerusakan tsaqofah asing tersebut, sehingga lebih meyakini akan tsaqofah Islam. Dengan mengetahui kerusakan tsaqofah asing tersebut, kita juga bisa menjelaskan kepada orang lain, bahwa pedoman hidup yang terbaik hanyalah Islam. 

Selain kurikulum yang berlandaskan akidah Islam, sistem Islam juga mengharuskan pembayaran gaji guru yang sangat memadai. Sebagaimana pernah dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab yang menggaji para guru di masa itu sebesar 15 dinar, atau setara dengan 60 juta rupiah. Sebuah angka yang sangat fantastis. Dengan demikian, guru akan fokus dalam mendidik para siswanya karena tidak perlu lagi mencari tambahan penghasilan. 

Negara yang mampu membayar guru dengan cukup mahal menunjukkan bahwa ekonomi negara tersebut sangat stabil. Dan itu semua karena menerapkan sistem ekonomi Islam. Artinya, sistem pendidikan Islam tak bisa dilepaskan dari sistem Islam yang lain, semisal sistem ekonomi. 

Dengan rancangan yang demikian, maka pendidikan Islam akan mampu menghasilkan lulusan yang berkepribadian Islam, memahami halal haram dan menjadikan Islam sebagai pedoman hidup keseharian. Dengan demikian, berbagai kasus di dunia pendidikan yang sering dijumpai saat ini, akan sangat jarang muncul dalam sistem pendidikan Islam. Jika masih ada pun, Islam memiliki sanksi yang tegas dalam pelanggaran hukum syarak, sehingga semakin memperkecil kemungkinan adanya kasus kejahatan. Wallahu a’lam. [ry]

Baca juga:

0 Comments: