OPINI
Mewujudkan Kota Layak Anak, Butuh Penerapan Sistem Islam
Oleh. Ummu Syahamal
Beberapa waktu lalu kita baru saja memperingati Hari Anak Nasional. Berbicara tentang anak Indonesia saat ini masih banyak yang belum bisa hidup secara aman, nyaman dan layak. Anak Indonesia saat ini tumbuh dibayangi teror pornografi, pergaulan bebas, stunting, mahalnya akses pendidikan dan kesehatan berkualitas, teror kekerasan, baik secara fisik (KDRT, tawuran, bullying), verbal ataupun seksual (seperti; L98T, pedofilia, prostitusi anak, pelecehan, perkosaan, human trafficking).
Karena alasan itulah beberapa tahun belakangan ini konsep Kota Layak Anak terus dimatangkan dan di breakdown ke seluruh pemerintah daerah, sehingga banyak Pemkot mulai berlomba-lomba agar daerahnya disebut sebagai “Kota Layak Anak”. Pemerintah bahkan mentargetkan pada 2030 nanti mencapai goal besar "Indonesia Layak Anak".
Program KLA dicanangkan pemerintah melalui Perpres Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). Konsep KLA ini dilihat dari sejarahnya masih berkaitan dengan konsep UNICEF tentang kota ramah anak. Menurut UNICEF definisi kota ramah anak adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Kota yang diinginkan oleh anak-anak adalah kota yang dapat menghormati hak anak-anak.
Sejatinya gagasan KLA lagi-lagi hanya ratifikasi kebijakan PBB dengan ruh kapitalis seperti halnya kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya. Mengapa?
Pertama, karena parameter-parameter yang digunakan untuk menetapkan sebuah kota disebut KLA masih ambigu dan ada potensi merusak anak. Dalam penjelasan lima klaster KLA tertulis bahwa pemenuhan hak anak Konvensi Hak Anak (KHA) mencakup lima klaster, yaitu: Pertama, hak sipil dan kebebasan; kata "kebebasan" ini maksudnya seperti apa? Jangan sampai justru menjadi celah masuknya L98T. Sebagaiman di yutub Channel Daniel Mananta disebutkan sang konten kreator menemukan toilet di sekolahan untuk mereka yang menyatakan dirinya gender netral (suara.com, 4/8/2023).
Kedua, apa gunanya sebuah kota dinyatakan lulus parameter KLA jika ternyata banyak kebutuhan anak yang tidak mampu dijangkau. Bahaya stunting misalnya disolusi pemerintah dengan penyuluhan-penyuluhan tetapi tidak dibarengi dengan kemampuan para orang tua untuk menjangkau makanan bergizi bagi anaknya dikarenakan kesulitan ekonomi.
Ketiga, banyak kota mendapat gelar KLA karena sarana pendidikannya sudah lengkap. Namun, jika ditelisik ternyata tidak semua anak-anak di wilayah tersebut mampu menjangkau sekolah karena adanya liberalisasi. Pendidikan Tinggi membuat hanya kalangan tertentu saja yang bisa masuk universitas favorit. Memang ada kursi khusus seperti jalur bbeasiswa tetapi jumlahnya sangat sedikit dan terbatas untuk anak yang cerdas. Lantas bagaimana nasib anak yang kurang cerdas dan kurang biaya?!
Belum lagi jika kita telaah ternyata kota-kota yang mendapat gelar KLA ternyata belum lepas dari kejahatan dan kekerasan seksual. Surabaya contohnya sebagai kota dengan capaian poin KLA tinggi justru paling tinggi angka kekerasan seksual anaknya.
Sungguh ironis. Nampaknya ada ketidaksinambungan antara tujuan utama “KLA” dengan metode yang dilakukan pemerintah untuk meraihnya. Inilah yang terjadi ketika sekularisme dan kapitalisme masih menjadi landasan berpikir di negeri ini. Segala kebijakan yang dikeluarkan oleh negara hanya bersifat superficial dan tidak tepat mengatasi akar permasalahan sesungguhnya.
Islam sebagai ideologi yang dapat diterapkan secara sistemik sebenarnya telah memiliki serangkaian aturan yang ketika diterapkan akan melindungi, memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan nyaman pada anak.
Pertama, yaitu bangunan fondasi akidah Islam di semua lini kehidupan. Keimanan dalam jiwa setiap muslim merupakan pengontrol amalnya, yang mencegahnya dari berlaku maksiat, termasuk tindakan bermaksiat melanggar hak-hak anak. Hal ini tidak seperti sekarang yang suasana keseharian yang dapat dirasakan adalah serba kapitalis, sekuler bahkan liberal. Nuansa ini bisa kita rasakan mulai dari ranah terkecil yaitu kehidupan rumah tangga hingga di kehidupan bermasyarakat bernegara.
Kedua, diterapkannya sistem pendidikan Islam. Pendidikan di dalam Islam bertujuan membentuk sosok berkepribadian Islam, yaitu taat pada Allah dan Rasulullah. Ketaatan ini akan menjauhkan generasi dari segala perilaku rusak dan negatif yang dikemudian hari dapat merusak anak. Dalam kurikulum pendidikan Islam pelajaran agama Islam bukanlah pelajaran yang dipisah dengan pelajaran lain dan hanya dipelajari 2 jam setiap minggunya seperti hari ini, tapi menjadi ruh bagi semua mata pelajaran. Sistem pendidikan Islam akan mencetak generasi yang siap berumah tangga, termasuk siap mendidik anak.
Ketiga, diterapkannya sistem sosial Islam dengan tegas. Negara memberi aturan yang jelas dan tidak rancu bagaimana standar berpakaian di ranah publik. Hal ini karena Islam memisahkan kehidupan laki-laki dan perempuan. Negara juga melarang hal-hal yang dapat merangsang naluri seksual, seperti terbukanya aurat, tabarruj, pornografi, pornoaksi, tempat hiburan malam, prostitusi, khamar, dan lain-lain. Sehingga kekerasan seksual dapat dicegah sejak dari sumbernya. Termasuk kekerasan seksual kepada anak. Ini tidak seperti kondisi sekarang yang dengan mudahnya seseorang mengumbar aurat.
Keempat, diterapkannya sistem ekonomi Islam. Ekonomi islam bersifat anti inflasi karena adanya penerapan mata uang emas perak serta seperangkat kebijakan ekonomi yang khas. Sumber pemasukan operasional negara pun jelas yaitu dari harta milik umum, harta milik negara, dan pengelolaan zakat.
Hal ini tentu berbeda dengan kondisi negara saat ini yang sangat bergantung pada pajak dan hutang untuk operasional negara. Juga terdapat perbedaan cara memandang masalah ekonomi. Dalam kapitalisme masalah utama ekonomi karena produksi. Sedangkan dalam Islam masalah utamanya ada pada distribusi. Itulah sebabnya memastikan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan terdistribusi merata merupakan salah satu hal penting yang harus diurusi pemimpin. Dengan jaminan kesejahteraan yang Islam wujudkan maka pendidikan anak dalam skala rumah tangga akan lebih efektif. Karena para ibu tidak dituntut untuk menjadi mencari nafkah sampai melalaikan tugas utamanya yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Kelima, diterapkannya sistem sanksi Islam. Sistem Islam memberi sanksi yang menjerakan bagi pelaku kekerasan.
Keenam, adanya keadilan dan ketegasan pemimpin. Setiap pelanggaran terhadap syariat akan ditindak tegas, siapa pun pelakunya, tanpa pandang bulu.
Ketujuh, adanya masyarakat yang sudah membudaya untuk beramar makruf nahi munkar. Hal ini karena dalam sistem pemerintahan Islam siapapun baik individu maupun jamaah dibolehkan untuk melapor ke pihak berwenang jika ada penelantaran anak atau ada anak yang dizalimi.
Sinergi seluruh penerapan syariat Islam ini dipastikan akan memenuhi hak-hak anak sehingga mereka akan tumbuh terlindungi dan terjaga. Merasakan aman dan nyaman. Semua ini hanya dapat direalisasikan jika negara menerapkan sistem Islam secara kâffah. Wallahu a’lam.
0 Comments: