Headlines
Loading...
Oleh. Desi Anggraeni 

Islam sangat lekat dengan dunia literasi. Bahkan ayat Al-Qur'an yang pertama turun pun adalah perintah membaca.

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan." (QS. Al-Alaq: 1)

Allah juga bersumpah demi pena yang menjadi ayat pertama surat Al-Qalam yang turun tidak lama setelah perintah bacalah.

“… Demi pena dan apa yang mereka tuliskan." (QS. Al-Qalam: 1)

Membaca dan menulis menjadi aktivitas yang sangat dilazimi oleh para ulama terdahulu. Mereka sangat dekat dengan Al-Qur'an dan menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber literasi. Menghafal dan mentadaburi ayat-ayat-Nya. Menjadikannya rujukan atas segala permasalahan. 

Usia mereka begitu produktif. Waktunya tak pernah disia-siakan barang sebentar. Bahkan ketika buang hajat pun ada orang lain yang diminta untuk membacakan buku untuknya dibalik bilik. Ada pula yang sampai lupa mencari jodoh saking sibuknya dengan literasi. 

Mereka begitu cerdas dalam beramal, tidak menguasai ilmu untuk dirinya sendiri. Dengan pena, jari mereka terus menari merangkai kata penuh makna. Meninggalkan jejak-jejak karya untuk generasi penerus setelahnya. Menjaga ilmu melalui tinta demi peradaban mendatang.

Itu kisah pendahulu kita yang berhasil membawa Islam pada puncak keemasan karena dekat dengan literasi. Berbeda dengan hari ini di mana Islam mengalami kemunduran sebab umatnya meninggalkan literasi. Padahal perkembangan zaman memberikan banyak kemudahan.

Teknologi yang ada seharusnya menjadi sarana untuk menunjang kemajuan Islam. Kita diberi kemudahan untuk menulis hanya dengan menekan keypad yang tidak banyak membutuhkan tenaga. Bisa dibayangkan bagaimana perjuangan para penulis zaman dahulu. Tidak ada kertas yang bagus seperti saat ini. Tidak ada mesin tik yang bisa membantu mereka menyusun kalimat. Tidak ada laptop apalagi smartphone.

Mereka hanya mengenal tinta, pelepah kurma, tulang, dan kulit hewan atau kain sebagai sarana mereka menulis. Tetapi itu tidak menjadi hambatan untuk menulis banyak buku. Bahkan ketika akan menggandakan tulisan, mereka rela menulis ulang berkali-kali sampai mencapai jumlah yang diinginkan. 

Tidak bisa dipungkiri, budaya membaca yang mulai luntur di kalangan umat muslim mempengaruhi tingkat kekritisan mereka dalam memandang masalah. Minat mereka beralih pada sajian yang ditawarkan oleh modernisasi yang terkesan lebih berwarna, simpel dan praktis.

Tontonan lebih digandrungi masyarakat. Berbagai varian bisa dinikmati segala usia kapan saja di mana saja dengan leluasa. Segala program yang tersedia ditengarai berasal dari rumah produksi orang-orang kafir. Tentu muatannya hanya memilih minat pasar yang bisa meraup banyak keuntungan. Tidak akan memedulikan kualitas konten dari sisi baik buruk menurut Islam.

Di era digital sekarang ini, dunia seolah dalam genggaman. Tinggal klik semua orang bisa mengeksplorasi kemampuannya di depan kamera. Tinggal klik pula semua informasi yang dicari akan muncul. Sayangnya lagi-lagi tidak ada rambu-rambu yang menjadi peringatan jika ada tindakan atau informasi yang melampaui batas ketentuan Islam.

Alhasil semua penikmat kecanggihan ini terbuai semakin larut dalam hiburan yang tidak berkesudahan. Sehingga malas sekali untuk membaca apalagi menulis. Sekalipun mau membaca, kebanyakan hanya bacaan yang sifatnya hiburan. Bagaimana Islam akan bangkit jika terus begini. Padahal Allah mengabarkan dalam kalam-Nya bahwa umat Islam adalah umat terbaik di antara umat yang lain.

"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah .…” (QS Ali Imran: 110)

Begitulah ketika negara tidak mengambil peran di seluruh aspek kehidupan. Pada laju informasi misalnya, jika negara ambil bagian mengontrol pergerakan informasi, tentu yang masuk ke tengah-tengah masyarakat adalah informasi yang telah melalui seleksi ketat. Begitu pun dengan tontonan, pasti sudah mampir dulu ke badan sensor dengan teliti sebelum dinikmati khalayak ramai.

Jika hal itu dilakukan tentu akan mencegah dampak buruk dari tontonan-tontonan tidak bermutu, provokasi, pornoaksi ataupun pornografi dan juga informasi-informasi yang tidak ada faedahnya. Bukankah demikian yang diharapkan oleh masyarakat umum?

Perubahan itu tidak akan terjadi selama kita tidak mau merubah kebiasaan buruk kita sendiri. Harapan hidup dalam ketenteraman tidak akan terwujud selama kesadaran umat belum terbentuk bahwa satu-satunya yang mampu mewujudkan itu semua hanya dari Islam, bukan yang lain. Hanya Islam yang memiliki solusi konkret dari semua problematika hidup.

Lalu apa yang harus kita lakukan agar umat tersadarkan dan kembali memiliki pemahaman Islam yang utuh? Dakwah itulah jawabannya. Tentu kita tidak rela dunia literasi banyak diracuni oleh musuh-musuh Islam. Maka kita harus bergerak lebih gencar dengan dakwah melalui lisan maupun tulisan. Semuanya bisa kita usahakan dengan maksimal. 

Jangan bayangkan dakwah melulu di atas mimbar. Kita bisa mulai dari orang-orang terdekat dengan menjalin komunikasi yang baik agar bisa menyampaikan nilai-nilai Islam yang telah dikuasai. Atau menyebarkan indahnya Islam dengan memanfaatkan media sosial yang kita miliki. 

Kita juga bisa berdakwah melalui tulisan. Ingatlah bagaimana buku-buku para ulama yang masih menjadi rujukan hingga hari ini. Karya mereka abadi meski penulisnya telah berkalang tanah. Bila terkendala ide yang akan diangkat ke dalam tulisan maka kita perlu koreksi lagi aktivitas membaca kita dan juga kualitas kajian ilmu yang kita ikuti. Budayakan membaca dan usahakan untuk terus menulis. Tanpa tradisi baca tulis, tidak akan terbit buku-buku pengetahuan yang berkualitas dari para ulama.

Islam kaya akan kosakata, ilmu Islam tidak akan pernah habis untuk dituangkan dalam tulisan. Seandainya pun semua umat Islam menulis, tetap tidak akan kehabisan bahan untuk merangkai kata.

"Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana." (QS. Luqman: 27)

Semua bisa dipelajari, potensi bisa digali. Kebisaan hanya perlu diawali. Untuk memulai hanya perlu berani. Berani ambil bagian, berani mencoba. Bila gagal itu artinya satu langkah menuju berhasil. Yakinlah Allah akan memberi kemudahan kepada orang-orang yang mau sungguh-sungguh berusaha membela agama Allah. 

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad: 7)

Sejarah menjelaskan, peradaban mulia dibangun melalui jalan literasi. Kisah kegemilangan Islam menjadi kebanggaan kita bersama. Sejarah yang sama pasti berulang jika kita mau bersama-sama berjuang membumikan literasi kembali. Semoga melalui tangan-tangan kita Allah turunkan pertolongan. Islam kembali bangkit memimpin dunia. Amin. Wallahualam bissawab. [Ni]

Cilacap, 10 Agustus 2023

Baca juga:

0 Comments: