Headlines
Loading...
Oleh. Bibit Sri Utami
(Pemerhati Sosial)

Seiring berjalannya waktu kehidupan manusia terus berubah. Adanya teknologi tentu diharapkan memberikan kemanfaatan untuk manusia. Contohnya dalam hal memasak, saat ini masyarakat mulai meninggalkan tungku api dan berpindah pada LPG. Namun baru-baru ini permasalahan LPG 3 kg atau gas melon kembali mencuat dan meresahkan rakyat. Pasalnya gas yang menjadi kebutuhan rakyat ini mengalami kelangkaan. 

Gas LPG 3 kg seperti drama bersambung yang ada jeda pariwara. Muncul memanas, reda sementara dan kembali mencuat dengan cerita sama. Hilang dari pasaran tanpa ada pertanda dan alasan yang jelas. Inilah yang menjadikan keresahan rakyat kecil juga para pelaku UMKM dan yang sejenisnya.

Gas melon adalah gas elpiji subsidi untuk rakyat menengah ke bawah. Seharusnya tidak selalu dibuat ruwet dan mengundang asumsi negatif rakyat, seakan negara main tarik ulur  atas program subsidi jenis elpiji ini.

Negara kita termasuk negara yang kaya akan gas bumi dan sejenisnya, jadi mustahil jika mengalami krisis gas dalam perut bumi. Maka dari sini bisa diprediksi adanya penyimpangan faktor kelola juga tidak adanya peran aktif negara dalam penanganannya.

Di tengah ruwetnya kasus kelangkaan gas melon ini, pihak terkait dengan mudah berdalih, dengan alasan adanya peningkatan permintaan. Sementara kasus kelangkaan gas memanas, ironisnya pemerintah malah sibuk memproduksi kemasan gas dalam warna dan nama baru. Gas baru ini diberi nama “Bright”, gas dengan ukuran 3 kg namun warna kemasan saja yang berbeda. Kemasan baru dicanangkan sebagai gas non subsidi yang mungkin direncanakan untuk menggeser keberadaan gas hijau melon bersubsidi yang langka hari ini. Sungguh ini makin menampakkan sikap tarik ulur Pemerintah dalam menyubsidikan kekayaan alam berupa gas bumi berbentuk gas elpiji. Hal ini menjadi salah satu bukti Pemerintah tidak mampu menjadi pelayan rakyat, namun justru sibuk di kumparan sistem pasar dagang kapitalis liberal. Sungguh kejam dan tega Pemerintah pada rakyatnya, ungkap komisi V11 DPR RI Mulyanto. (MMC 2 Agustus 2023). 

Serakah, menjual SDA gas bumi dalam pengelolaan dan pemasarannya kepada pihak swasta dalam dan luar negeri. Sungguh otak bisnis neoliberal semakin menjamur dan menggurita di negri ini. SDA adalah hak mutlak rakyat dalam kepemilikannya, bukan untuk diperjual belikan oleh sekelompok yang berkepentingan dan bertujuan tertentu, untuk meraup keuntungan pundi-pundi segelintir kelompok orang.

Di dalam Islam juga mengatur SDA, baik pengelolaan, penjagaan, pemasaran dan pelestariannya. Di dalam Islam semua kekayaan alam, baik itu udara, darat, laut ataupun perut dasar bumi. Semua dikuasai negeri dan dikelola sedemikian rupa untuk kemaslahatan umat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadis "kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama ) dalam tiga hal air, rumput dan api. (Hadis riwayat Abu Daud) 

Jadi dalam Islam, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan dan pemasaran SDA, kepada pihak swasta baik dalam negeri maupun luar negeri. Negara yang berhak dalam seluruh pengelolaan sebagai bentuk   pertanggungjawaban dalam menjaga kepemilikan umum rakyat.

Hal terkait di atas akan kita dapati dalam penerapan Islam kaffah yang menjadikan Aqidah Islam sebagai pedoman dalam berbagai hal secara menyeluruh.
Semoga Islam kembali mampu memimpin dunia. Allahuakbar! 

Baca juga:

0 Comments: