Headlines
Loading...
Seks Bebas di Kalangan Remaja Meningkat, Apa Solusinya?

Seks Bebas di Kalangan Remaja Meningkat, Apa Solusinya?

Oleh. Widhy Lutfiah Marha
(Pendidik Generasi)

Viral di Sosmed seorang remaja (usia 13 tahun) yang sedang duduk di kelas VII, diduga terlibat dalam hubungan yang tidak sah dengan kekasihnya (usia 15 tahun) yang juga merupakan kakak kelasnya. Sang ibu mengetahui tentang dugaan ini dari rekaman percakapan dalam ponsel putrinya. Ia merasa sangat terkejut karena selama ini putrinya terlihat seolah-olah "dalam keadaan baik" (liputan6.com, 06/08/2023).

Kasus di atas hanyalah salah satu potret fenomena kerusakan pergaulan remaja. Berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan bahwa mayoritas remaja di Indonesia sudah terlibat dalam aktivitas seksual. Pada usia 14-15 tahun, angkanya mencapai 20%, dan pada usia 16-17 tahun, angkanya mencapai 60%.

Menyikapi data ini, Ketua BKKBN, Hasto Wardoyo, menyatakan, "Usia hubungan seks semakin dini, sedangkan usia pernikahan semakin tertunda. Dengan kata lain, hubungan seks di luar pernikahan semakin umum terjadi."

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan maraknya kemaksiatan di kalangan remaja adalah berikut:

Pertama, faktor individual. Perkembangan pubertas yang semakin awal membuat beberapa anak SD telah memasuki masa pubertas. Namun, mereka mungkin belum memiliki pemahaman yang memadai mengenai konsekuensi dari perubahan ini. Meskipun secara fisik mereka telah mengalami pubertas, secara mental mereka mungkin belum matang.

Kedua, faktor keluarga. Banyak keluarga yang tidak memberikan perhatian yang cukup kepada anak-anak mereka. Orang tua mungkin ada secara fisik, tetapi peran mereka sebagai pendidik sering kali diabaikan karena kesibukan bekerja. Akibatnya, anak-anak tumbuh tanpa pengawasan yang memadai dan lebih banyak bergantung pada teknologi.

Ketiga, faktor masyarakat. Dengan semakin sekuler dan individualistisnya masyarakat, perilaku hubungan bebas di kalangan remaja terkadang dianggap hal yang biasa. Pergaulan semakin longgar, sementara nilai-nilai agama sering kali terpinggirkan. Ironisnya, upaya dakwah yang dilakukan untuk mengajarkan remaja agar menjauhi perilaku yang tidak sesuai, kadang-kadang dicap sebagai radikal dan dianggap berbahaya.

Keempat, faktor media. Di era digital saat ini, media sosial dapat memberikan pengaruh yang negatif pada anak-anak. Berbagai konten yang merangsang hasrat seksual mudah ditemukan di mana-mana, dan hal ini dapat mempengaruhi pemikiran anak-anak, bahkan hingga menyebabkan kecanduan terhadap pornografi.

Kelima, faktor pendidikan. Meskipun ada kebutuhan untuk mendidik remaja agar dapat menjauhi perilaku bebas, pendidikan di Indonesia cenderung semakin sekuler. Pendidikan agama seringkali diarahkan pada pandangan yang lebih sekuler, dan aspek-aspek penting seperti akidah, akhlak, dan fikih mungkin diajarkan dalam kerangka sekularisme. Pentingnya perbaikan mental juga seringkali diabaikan.

Sementara itu, pemerintah seringkali fokus pada pembangunan infrastruktur, tetapi kurang memberikan perhatian pada kondisi generasi muda. Dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi, pemerintah terkadang membiarkan berdirinya tempat hiburan malam, peredaran minuman beralkohol, industri pornografi, dan lain sebagainya. Ironisnya, negara seharusnya menjadi pelindung bagi remaja dari pergaulan bebas, tetapi malah menjadi faktor yang mempengaruhi kerusakan generasi.

Dampak dari fenomena ini sangat mengkhawatirkan. Kita sebagai orang tua tentu merasa prihatin dan sedih. Jika kasus hubungan yang tidak sah ini terjadi pada usia dini, bagaimana nanti ketika mereka dewasa? Pola hidup bebas yang dianut oleh mereka kemungkinan akan terus berlanjut, membawa dampak kerusakan yang lebih besar yang sulit untuk dicegah.

Perilaku hubungan yang tidak sah di kalangan remaja memiliki dampak serius, seperti tingginya angka pernikahan dini karena dianggap sebagai solusi atas masalah kehamilan remaja. Selain itu, fenomena ini juga dapat menyebabkan peningkatan jumlah aborsi, penjualan atau pembuangan bayi, dan peningkatan penyakit menular seksual.

Kehamilan di kalangan remaja akibat pergaulan bebas membawa banyak risiko. Psikologi ibu yang belum matang secara mental akan kesulitan menghadapi kehamilan, terutama jika terjadi di luar pernikahan. Hal ini dapat menyebabkan stres dan bahkan depresi. Kesehatan mental ibu yang terganggu juga akan berdampak buruk pada kesehatan mental janin. Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi dan nutrisi juga dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin.

Selain itu, risiko komplikasi saat persalinan meningkat pada remaja, termasuk risiko infeksi, persalinan prematur, dan masalah preeklampsia. Kesulitan dalam merawat bayi dan masalah dengan menyusui juga dapat terjadi karena masalah kesehatan mental ibu. Faktor-faktor ini dapat menyebabkan masalah pertumbuhan anak, terutama stunting.

Tantangan ini menunjukkan betapa pentingnya mengembalikan nilai-nilai dan ajaran agama dalam kehidupan kita. Kita harus mencari solusi untuk mengatasi fenomena ini dengan mengedepankan nilai-nilai agama dan moral yang benar. Dengan mengikuti ajaran Islam yang melarang perbuatan zina, kita dapat melindungi generasi muda dari bahaya pergaulan bebas. Pentingnya pendidikan agama dan nilai-nilai Islam tidak boleh diabaikan, dan perlu ada upaya untuk mengintegrasikan ajaran agama secara mendalam dalam sistem pendidikan.

Untuk mengatasi maraknya hubungan yang tidak sah di kalangan remaja, langkah-langkah konkret perlu diambil:

Pertama, pendidikan agama yang kuat.
Meningkatkan pendidikan agama yang lebih kuat dan mendalam di sekolah-sekolah untuk membekali remaja dengan pemahaman nilai-nilai moral dan etika. Ini akan membantu mereka menghormati batasan-batasan dalam hubungan dan menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran agama.

Kedua, pendidikan seksualitas yang seimbang. 
Mengenalkan pendidikan seksualitas yang seimbang dan berbasis nilai-nilai agama dalam kurikulum pendidikan. Ini akan membantu remaja memahami konsekuensi dari tindakan mereka dan menjaga diri dari pergaulan bebas.

Ketiga, peran orang tua. 
Mengedepankan peran orang tua dalam memberikan pendidikan agama dan pengawasan yang lebih aktif terhadap aktivitas anak-anak mereka. Membangun komunikasi terbuka dengan anak-anak untuk membahas nilai-nilai agama dan bahaya pergaulan bebas.

Keempat, dakwah dan penyuluhan.
Melibatkan tokoh agama, guru, dan masyarakat dalam kegiatan dakwah dan penyuluhan untuk mengedukasi remaja tentang pentingnya menjaga hubungan yang sah menurut ajaran agama.

Kelima, kontrol konten digital.
Menerapkan pengawasan ketat terhadap konten digital yang merangsang syahwat di media sosial dan platform online. Menyediakan informasi yang lebih positif dan edukatif bagi remaja.

Keenam, pemberian dukungan psikologis.
Menyediakan layanan dukungan psikologis untuk remaja yang mungkin telah terjerumus dalam pergaulan bebas. Ini akan membantu mereka mengatasi tekanan emosional dan masalah mental yang mungkin timbul.

Ketujuh, pemberdayaan remaja.
Mengembangkan program-program yang memberdayakan remaja untuk berperan aktif dalam mencegah pergaulan bebas dan hubungan yang tidak sah di kalangan teman sebaya mereka. Ini dapat mencakup kelompok-kelompok diskusi, kampanye sosial, dan kegiatan positif lainnya.

Kedelapan, peran masyarakat.
Mendorong partisipasi masyarakat dalam mendukung pemahaman dan penerapan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Menghargai dan mempromosikan nilai-nilai kekeluargaan serta menjaga hubungan yang sah.

Kesembilan, dukungan pemerintah.
Pemerintah dapat memainkan peran penting dalam mengatur industri hiburan dan konten digital, serta mendukung program-program pendidikan agama yang lebih kuat dan efektif di sekolah-sekolah.

Melalui langkah-langkah ini, kita dapat bekerja bersama untuk mengatasi fenomena maraknya hubungan yang tidak sah di kalangan remaja. Dengan mengedepankan nilai-nilai agama, moral, dan etika dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat melindungi generasi muda dari pergaulan bebas dan membangun masyarakat yang lebih kuat secara moral dan spiritual. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: