Headlines
Loading...
Oleh. Rochma Ummu Arifah

Perhelatan pesta demokrasi atau pemilihan umum sudah mulai meramaikan jagat nusantara. Banyak berita berseliweran mengenai hal ini. Rakyat pun mulai disuguhkan dengan partai-partai, nama bacaleg serta koalisi antar partai yang kelak akan bertanding di pemilu tahun 2024 ke depan. Dari sekian banyak nama bacaleg yang ada, ternyata ditemukan nama eks-koruptor. Bagaimana ini bisa terjadi?

Bacaleg dari Eks-Koruptor

Indonesian corruption watch atau ICW menemukan data bahwa setidaknya terdapat 15 mantan terpidana korupsi dalam daftar calon sementara atau DCS bakal Calon Legislatif yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum KPU pada 19 Agustus 2023. Nama-nama ini terdaftar sebagai calon di tingkat DPR DPRD dan DPD. Mereka diusung oleh berbagai partai politik. Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, penemuan ini membuktikan bahwa partai politik masih memberikan kesempatan yang amat lebar kepada mantan terpidana korupsi (Detiknews.com/26/08/2023).

Sejatinya, hal ini pun juga bukan merupakan hal yang aneh. Karena di dalam Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum terutama di pasal 240 ayat 1 huruf g tidak terdapat larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai Caleg DPR dan DPRD. Hanya saja, menjelang Pemilu 2019 lalu KPU sebetulnya pernah membuat peraturan yang secara gamblang melarang mantan napi korupsi mendaftar sebagai calon anggota DPR DPRD serta DPD. Hanya saja, syarat yang diajukan KPU ini digugat ke Mahkamah Agung atau MA. Sebagai putusan akhir, MA telah membatalkan aturan tersebut dengan alasan hak asasi manusia. Sehingga tak aneh jika hari ini ditemukan sejumlah caleg berstatus mantan koruptor.

Kok Bisa?

Adanya nama eks-koruptor di daftar caleg serta kebolehan yang diberikan oleh hukum negeri ini seakan menunjukan bahwa negeri ini kekurangan pribadi-pribadi yang mumpuni untuk mengemban amanah rakyat. Sehingga, kembali dimunculkan nama-nama lama bahkan nama tersebut sudah pernah terpidana kasus korupsi. 

Ini bermakna bahwa mereka semua yang sudah terbukti melanggar amanah yang sudah diberikan dan sudah terbukti menyelewengkan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan golongan masih diberikan karpet merah secara leluasa. Mereka pun kembali dimasukan ke dalam daftar caleg yang akan dipilih di pemilu mendatang. 

Kemunculan mereka sebagai nama bacaleg sebenarnya semakin memperlihatkan bahwa dalam sistem ini yang menjadi standar adalah popularitas dan kekayaan. Siapa yang populer dan mampu menarik perhatian masyarakat, akan mudah mendapatkan suara. Siapa yang kaya dan mampu "membeli" suara rakyat, akan dengan gampang melanggeng di kursi jabatan yang diinginkan. 

Ide hak asasi manusia juga menjadi pelicin bagi mereka semua untuk memoles kesalahan fatal di masa lalu demi kepentingan pribadi. Mereka dianggap punya hak yang sama dengan masyarakat yang lain sedangkan mereka sejatinya telah terbukti melakukan kesalahan dengan ketidakamanahan yang telah dilakukan. Hal ini juga semakin menegaskan bahwa sistem demokrasi kapitalis sangat ramah terhadap koruptor. Sistem ini juga memberi banyak kesempatan dan kemudahan bagi koruptor untuk tetap memiliki kedudukan tinggi di mata publik. 

Berbeda dengan Sistem Islam

Fakta ini tentu berbeda dengan sistem Islam. Islam dengan aturan-aturannya yang berasal dari Allah akan mencegah munculnya individu-individu di tengah masyarakat yang gemar melakukan kemaksiatan. Islam akan bervisi jelas untuk mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. Hal ini akan diraih dengan penerapan sistem pendidikan yang bertujuan membentuk generasi berkepribadian Islam yang salah satunya adalah memahami dengan benar tugas mereka untuk melanjutkan kepemimpinan Islam dengan penuh amanah serta membangun peradaban unggul dan gemilang.

Demikian pula, Islam akan benar-benar menyaring siapa saja yang layak untuk memegang amanah rakyat dalam mengurusi urusan rakyat ini. Islam memiliki kriteria yang jelas mengenai pemimpin yang baik ini. Sebagaimana salah satunya yang disebutkan di dalam Kitab Al Ahkamus Sulthoniyah karya Imam Al Mawardi di mana di sana membahas sejumlah kriteria yang wajib ada pada diri calon pemimpin. Kriteria umum pemimpin atau kepala negara dalam Islam meliputi muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka atau bukan budak serta tidak berada dalam kekuasaan pihak lain, serta adil dan bukan fasik atau ahli maksiat, dan yang terakhir adalah memiliki kemampuan menjalankan peran dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. 

Syarat adil dan bukan fasik ini menunjukan bahwa Islam melarang orang ahlul maksiat untuk memegang amanah pemerintahan. Akan dicari pribadi-pribadi yang taat dan beriman kepada Allah serta dalam setiap perilakunya, didasarkan pada aturan Allah. Kriteria inilah yang akan diterapkan dalam memilih pemimpin yang akan duduk dalam pemerintahan menjalankan amanah rakyat. 

Sudah terbukti dalam sejarah peradaban Islam bagaimana ketawadu'an dan keamanahan para pemimpin Islam. Mereka bekerja dengan landasan keimanan kepada Allah. Mereka menjalankan tugas dengan baik dan menjauhkan diri dari menjalankan kesalahan dan dosa atas dasar rasa takut kepada Allah. Inilah kriteria pemimpin yang dihadirkan di dalam Islam. Namun sayang, hal ini tidak bisa terlihat sekarang saat Islam dan aturan tidak diterapkan. Sebaliknya, aturan sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupanlah yang dipaksakan diterapkan. Sehingga muncullah sosok-sosok pemimpin yang tak amanah ini. Sungguh, tentu sebagai muslim mengharapkan hadir kembali pemimpin yang amanah yang menjalankan aturan Islam secara menyeluruh. 
Wallahu'alam bishawab. [Hz].

Baca juga:

2 komentar

  1. Yups benar banget, hanya dengan menggunakan sistem Islam sajalah yang mampu memilih dan memberikan fasilitas terbaik pemimpin yang akan datang. Karena sudah terbukti dalam sejarah peradaban Islam bagaimana ketawadu'an dan keamanahan para pemimpin Islam. Mereka bekerja dengan landasan keimanan kepada Allah. Barakallah Mbak Naskahnya Next ditunggu naskah terbaiknya 🥰❤️

    BalasHapus
  2. Nampak jelaslah wajah kapitalisme itu mencetak manusia-manusia ahli maksiat.

    BalasHapus