Headlines
Loading...
Bacaleg Mantan Napi, Sudah Habiskah Orang Baik di Negeri Ini?

Bacaleg Mantan Napi, Sudah Habiskah Orang Baik di Negeri Ini?

Oleh. Najwa Ummu Irsyad

Seolah tak ada lagi orang baik di negeri ini yang layak mengemban amanah menjadi wakil rakyat. Bagaimana tidak, terbukti Komisi Pemilihan Umum (KPU) meloloskan beberapa nama bakal calon legislatif (bacaleg) mantan narapidana (napi) kasus korupsi yang mendaftarkan diri. Meskipun ada beberapa syarat dan ketentuan bagi mantan napi, namun secara umum ada kebolehan mendaftarkan diri menjadi bacaleg. Hal ini diatur dalam Pasal 43 Ayat (1) UU HAM yang intinya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui pemilu. Juga Pasal 73 UU HAM yang mengatur soal pembatasan dan larangan hak, serta kebebasan setiap warga. Mantan koruptor dianggap tetap memiliki hak dipilih dan memilih dalam pemilu.

Adapun mereka (mantan koruptor) bermuka tebal yang mendaftarkan diri ke KPU, rata-rata memiliki posisi strategis dalam partai politik, sehingga dukungan dan suara tetap bisa mereka dapatkan. Selain itu mereka juga memiliki harta melimpah untuk mencalonkan diri. Hal ini mengingat tingginya biaya pemilu dalam sistem demokrasi, sehingga hanya mereka yang punya uanglah yang bisa berkuasa. 

Sebaik apapun seseorang dan bagaimana pun amanahnya dia, jika tidak didukung dengan uang maka tetap sulit mendapatkan kursi jabatan dalam sistem demokrasi. Itulah mengapa simbiosis mutualisme antara orang-orang berduit dan berkepentingan (oligarki) dan parpol senantiasa terjalin. Selanjutnya bisa dipastikan apa yang disuarakan parpol akan senantiasa sejalan dengan kepentingan oligarki. Oleh sebab itu, latar belakangnya napi atau bukan, tidaklah menjadi permasalahan dalam demokrasi. Selama mereka masih sejalan dengan kepentingan oligarki. 

Di sisi lain, partai politik (parpol) juga menutup mata tentang permasalahan ini. Parpol bahkan memberikan karpet merah bagi mantan terpidana kasus korupsi untuk mendaftarkan diri kembali. Keterlibatan anggota parpol dalam kasus korupsi seakan sirna jika mereka telah menerima hukuman dan kembali bersih setelah menjalani proses hukum yang diterimanya. Padahal parpol sendiri tidak bisa meyakinkan masyarakat bahwa anggotanya benar-benar menyesali dan bertobat atas kesalahan yang dia lakukan (korupsi). Hal ini menunjukkan bahwa seolah kasus korupsi bukanlah kejahatan serius. 

Narasi negara bebas korupsi sejatinya hanyalah mimpi di siang bolong. Sebab semua bisa diatur. Yang membuat kebijakan dan aturan pemilu adalah rekan mereka sendiri. Aturannya bisa disesuaikan dengan kondisi partai. Jika ternyata aturan tak sesuai dengan ambisi, mereka bisa memilih jalan banding ke Mahkamah Agung. Dan kemungkinan aturan bisa diubah, itu sangat besar, mengingat keputusan bisa berdampak pada pembuat keputusan itu sendiri. Beginilah fenomena ketika manusia memaksakan diri untuk mengatur dan membuat aturan kehidupannya sendiri. Aturan yang dibuat senantiasa berubah seiring dengan kepentingan.

Politik dalam sistem demokrasi menjadikan aturan manusia sebagai acuan, di mana aturan tersebut penuh dengan kepentingan syahwat politik dan kering akan nilai agama. Politik sekedar dijadikan pijakan meraih kedudukan, yang ujung-ujungnya adalah memperkaya diri dengan harta. 

Lumrah kita ketahui bahwa biaya mencalonkan diri dan pemilu di negeri ini sangat mahal. Akan menjadi kebiasaan setelah menjabat, bahwa mereka harus mengembalikan modal saat mereka mencalonkan diri dalam pemilu. Jika gaji yang mereka terima jauh dari kata cukup untuk mengembalikan modal, maka korupsi adalah jalan ninja dalam mengembalikan modal dan memperkaya diri. 

Dalam menjalankan perannya sebagai wakil rakyat, mereka tak pernah takut dengan hukum. Sebab hukum dalam sistem kapitalis saat ini sangat mudah untuk dibeli. Hukuman bagi koruptor bukanlah hukuman yang mampu membuat jera pelaku. Belum pernah ada pelaku korupsi yang dimiskinkan dalam hukumannya. Sebab hukuman semacam ini hanya ada dalam negara yang menerapkan sepenuhnya hukum Islam. 

Dalam sistem Islam, tidak hanya hukuman yang akan membuat jera pelaku kejahatan. Namun, sebelum kejahatan itu terjadi negara akan mempersiapkan mekanisme pemilihan pemimpin dan wakil rakyat. Pemimpin dalam Islam harus dipilih dengan syarat-syarat khusus, seperti muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil dan memiliki kapasitas memimpin. 

Sedangkan wakil rakyat akan dipilih sendiri oleh rakyat, dengan mekanisme berbeda. Wakil rakyat adalah pilihan dari masyarakat, baik itu muslim atau non-muslim. Sehingga semua rakyat memiliki representasi dari masing-masing wilayah. 

Selain itu, diterapkannya hukum Islam akan menekan tindakan maksiat yang bisa dilakukan oleh pejabat atau pemimpin. Di antaranya adalah ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas yang ditopang oleh pendidikan  berkarakter, mekanisme perhitungan kekayaan  sebelum dan setelah menjabat, sistem pembagian yang layak, larangan suap, adanya pengawasan dari rakyat, serta sanksi yang tegas terhadap mereka yang melakukan kemaksiatan. 

Demikianlah, Islam mempersiapkan pemimpin, lingkungan serta aturan yang sempurna dalam mengatur urusan kehidupan manusia. Wallahu’alam bishshawab. [My]

Baca juga:

1 komentar

  1. Yups Dalam sistem Islam, tidak hanya hukuman yang akan membuat jera pelaku kejahatan. Namun, sebelum kejahatan itu terjadi negara akan mempersiapkan mekanisme pemilihan pemimpin dan wakil rakyat. Islam mempersiapkan pemimpin, lingkungan serta aturan yang sempurna dalam mengatur urusan kehidupan manusia. Pilihan ditangan kita, ingin terjerumus atau berdiam diri saja. Ayo, kembalikan sistem Islam dengan sempurna agar semua terjamin tanpa celah.. Barakallah naskah, Next ditunggu naskah terbaiknya 🥰❤️

    BalasHapus