Headlines
Loading...
Caleg Mantan Napi, Bagaimana Meriayah Umat Nanti?

Caleg Mantan Napi, Bagaimana Meriayah Umat Nanti?

Oleh. Aan Anisa (Muslimah Peduli Umat)

Sebentar lagi Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi. Maka tahun ini adalah tahun politik. Para calon legislatif mempersiapkan segala kebutuhan pemilu sebagai wakil rakyat di tahun yang akan datang. Namun yang menarik perhatian saat ini, para calon yang statusnya mantan narapidana koruptor lolos pendaftaran sebagai bakal calon legislatif. Lantas bagaimana jadinya apabila nanti mereka terpilih? Akankah meriayah dan menjadi pemimpin wakil rakyat yang jujur dan amanah?

Dilansir dari www.voaindonesia.com (29/8/2023) — Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya terdapat 15 mantan terpidana korupsi kembali masuk dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023.

Bacaleg mantan terpidana kasus korupsi itu mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) 2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka berasal dari berbagai partai politik.

Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, hal tersebut membuktikan bahwa partai politik masih memberi karpet merah kepada para mantan terpidana korupsi. ICW menyayangkan sikap KPU yang terkesan menutupi karena tak kunjung mengumumkan status hukum mereka. Padahal sebelumnya ada larangan dari KPU, namun kemudian pada tahun 2018  MA membatalkan dengan alasan hak asasi manusia.

Kebolehan para mantan napi kembali melanggeng menjadi bacaleg memunculkan kekhawatiran akan risiko terulangnya korupsi, mengingat sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefek jera bagi para pelakunya, justru malah memberikan peluang bagi mereka untuk kembali mencalonkan diri masuk pemerintahan. Hal ini menunjukkan fakta demokrasi yang bermasalah, di mana hukum pada saat ini tata aturannya seringkali berubah sewaktu-waktu dengan alasan yang dikondisikan.

Berbeda halnya dengan Islam. Sistem Islam mensyaratkan kriteria seorang wakil umat adalah orang yang beriman dan bertakwa agar dapat amanah dalam menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat.

Sistem hukum dalam Islam sangat tegas dan menjerakan, sehingga membuat pelaku kejahatan dapat benar-benar berhenti dari perbuatan mungkarnya. Sanksi dalam Islam memiliki dua fungsi, sebagai zawajir (pencegahan) dan zawabir (penebus). Sanksi zawajir akan memberikan efek jera bagi pelaku dan menimbulkan rasa takut bagi yang lain agar senantiasa hati-hati dalam bertindak.

Kebolehan napi korupsi menjadi calon pemimpin umat pada saat ini menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut. Orang baik tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri.

Seharusnya negara atau para pemilik aturan memperhitungkan bagaimana jadinya jika mantan napi diberi peluang menjadi calon legislatif? Lantas bagaimana nasib rakyat nanti?

Sementara dalam Islam kepemimpinan dalam pandangan Al-Qur’an bukan sekadar kontrak sosial, antara pemimpin dengan rakyatnya saja, namun lebih dari merupakan perjanjian dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka sejatinya mereka telah bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Tanggung jawab seorang pemimpin jauh lebih besar dari yang lainnya, karena tanggung jawab pemimpin adalah dunia akhirat.

Selain itu kepemimpinan dan tata kelola aturan tersebut begitu rinci terdapat dalam Islam. Maka sudah seharusnya  kita kembali kepada Islam yang menjadi solusi setiap permasalahan, karena Islam adalah agama paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk di dalamnya masalah pemilihan kepemimpinan negara. 

Sistem kepemimpinan negara ini bersifat khas. Pemimpin memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (perisai) bagi umat. Kedua fungsi tersebut telah dijalankan oleh para Kh4l1f4h selama 14 abad silam di masa kegemilangan Islam. Pasang surut kekh1l4f4han secara sunnatullah memang terjadi, tapi kedua fungsi ini ketika dijalankan sesuai apa yang digariskan syara’ telah terbukti membawa kesejahteraan dan kejayaan umat Islam. Seperti sabda Rasulullah sallallahu alaihi wasallam,
 Ø§Ù„Ø¥ِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ

Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari). 
[Ni]

Baca juga:

2 komentar

  1. Yups Benar Banget, sudah seharusnya kita kembali kepada Islam yang menjadi solusi setiap permasalahan, karena Islam adalah agama paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk di dalamnya masalah pemilihan kepemimpinan negara. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa membawa umat pada jalan ketakwaan pada Allah SWT. Barakallah Mbak Naskahnya Next ditunggu naskah terbaiknya 🥰❤️

    BalasHapus
  2. Kapitalisme memandang indah kemaksiatan termasuk dalam hal korupsi bagi kapitalis bukanlah suatu dosa, jadi wajar jika bacaleg dari mantan napi koruptor.

    BalasHapus