Headlines
Loading...
Oleh. Ummu Affaf

Direktur jendela penegakan hukum Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ridho Sani menyebutkan, pihaknya telah melakukan gugatan terhadap 22 korporasi atau pun perusahaan penyebab karhutla di Indonesia. Dari 22 perusahaan yang digugat, ada 14 perusahaan yang diketahui telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht dengan total nilai putusan mencapai Rp5,60 triliun. Secara terperinci tujuh perusahaan lainnya persiapan eksekusi dengan nilai mencapai Rp 2,55 Triliun, (kompas.com, 20/8/2023). Di antara 22 perusahaan tersebut, pemerintah melalui KLHK menuntut ganti rugi kepada PT. Kumai Santoso sebesar 175 miliar atas kebakaran lahan di lokasi kebon sawit seluas 3000 hektar yang berdampak pada masyarakat dan lingkungan.

Direktur pengendalian kebakaran hutan di lahan KLHK, Thomas Nifinluri, mengatakan bahwa pihaknya akan terus melakukan berbagai upaya pemadaman seiring dengan peningkatan hotspot di wilayah Kalimantan Barat. Sebenarnya bukan hanya karena faktor cuaca saja karhutla terjadi berulang, lebih dari itu juga disebabkan adanya unsur kesengajaan perusahaan atau korporasi yang membakar hutan dan lahan. Dari aspek ini kita patut mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk mengatasi karhutla.

Karhutla terjadi sebagai dampak dari kapitalisasi hutan atas nama konsesi.  Eksploitasi hutan yang ugal-ugalan dimulai sejak terbitnya UU/1967 tentang ketentuan pokok-pokok kehutanan. Sejak UU ini berlaku, penguasa konglomerat menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Sejak itulah kapitalisasi dan eksploitasi hutan terjadi.

Awal terbitnya UU diperuntukkan agar sumber daya hutan memiliki peran sebagai pemutar roda perekonomian. Jadi pemerintah sangat mengakomodasi segala usaha pengolahan hasil hutan dengan pemberian konsesi hak penguasaan hutan, hak pungutan hasil hutan hingga konsesi hutan tanaman industri. Sebagaimana prinsip ekonomi dalam kapitalis yakni modal sekecil-kecilnya untung sebesar-besarnya, maka pembakaran hutan adalah cara termurah dan hemat biaya untuk membuka lahan baru meski dampak kerusakan lingkungan di depan mata. Sementara penegakan hukum terhadap para penggarong hutan tampak tumpul. Seberapa keras upaya pemerintah menuntut pihak korporasi hingga melakukan upaya hukum banding kepada perusahaan, negara lemah dan tak berdaya melawan korporasi.

Hutan adalah salah satu sumber daya alam milik umum, tapi kapitalis mengubah paradigma tersebut dengan menganggap hutan sebagai sumber daya alam yang boleh dikelola secara bebas oleh swasta atau individu. Alhasil, selama seseorang memiliki modal dan kekuasaan maka ia berhak memiliki apapun, termasuk harta milik umum, seperti tambang, hutan, dan sumber daya alam lainnya. 

Sebaliknya dalam Islam, negera akan mengembangkan kemajuan IPTEK di bidang kehutanan agar pengelolaan hutan dan lahan dapat dioptimalkan sebaik mungkin, tanpa harus menunggu kerusakan ekosistem. Negara akan memberikan sanksi  tegas bagi para pelaku perusakan alam dan lingkungan dengan sanksi hukum Islam yang berefek jera. Ketaatan dan ketundukan pada hukum Allah akan mendatangkan kebahagiaan dan keberkahan bagi negara dan seluruh penghuninya. Maka penerapan sistem Islam kaffah adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi.

Wallahu a'lam bish shawwab. [My]

Baca juga:

0 Comments: