Headlines
Loading...
Oleh. Siti Mariyam, S.Pd

Kasus judi online masih terus menjadi permasalahan pelik di tengah masyarakat. Meskipun sudah banyak jatuh korban dari aplikasi tersebut, seperti harta habis, jatuh miskin, hingga keluarga berantakan, namun nyatanya tidak sedikit masyarakat yang masih asyik dan ketagihan melakukannya.

Baru-baru ini, muncullah berita tentang wacana usulan pajak bagi judi online. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengungkapkan ada usulan untuk menerapkan pajak judi online. Dimana usulan tersebut mengemuka saat dirinya sedang gencar melalukan pembasmian praktek tersebut.

Budi Arie mengatakan di ASEAN hanya Indonesia yang masih menganut sistem bahwa perjudian adalah praktek ilegal. Hal itu disebut menyulitkan penindakan karena kebanyakan pelaku berada di luar negeri. (finance.detik.com/11/9/2023).

Meskipun baru wacana atau usulan saja, namun usulan ini tentu langsung direspon oleh masyarakat. Bagi Budi Arie sendiri, dia menganggap bahwa usulan pajak ini bukan sebagai bentuk melegalkan praktek judi online, tetapi demi menyelamatkan devisa negara yang lari ke luar negeri.

Sedangkan Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, memajaki judi online sama artinya negara melegalkan dan memfasilitasi perjudian. Sementara itu, warganet sendiri menyebut bahwa pernyataan Menteri Budi Arie seakan mewakili cukong judi online karena dianggap tidak memahami bahayanya di masyarakat.

Maka bagaimana mungkin, seorang menteri di pemerintahan justru mengusulkan pajak bagi praktek judi online dengan alasan sayang dengan uang negara yang hilang lari keluar negeri? Padahal faktanya, praktek judi online telah banyak memakan korban terutama keluarga. Dan semakin banyak kejahatan seperti pencurian bahkan pembunuhan dilakukan karena kecanduan judi online. 
Tidak heran sebenarnya jika muncul usulan pajak judi online dari pejabat pemerintahan. Hal itu karena negara kita menerapkan sistem kapitalisme sekuler yang menomorsatukan materi (kapitalis) dan menjauhkan agama dari kehidupan (sekuler). Maka wajar jika pejabatnya sendiri justru mengusulkan hal yang membahayakan bagi rakyat karena ada keuntungan materi disana.

Dalam negara kapitalis, tolok ukur perbuatan adalah materi (uang). Jika memang aturan itu menguntungkan secara materi bagi negara ataupun para pemilik modal, maka tidak jadi soal untuk diterapkan meskipun membahayakan rakyatnya.

Hal ini jelas berbeda dengan sistem Islam. Karena dalam sistem Islam, standar aturan yang dipakai adalah halal dan haram, bukan manfaat. Dalam Islam, praktek judi tidak akan pernah diijinkan, karena Islam mengganggap bahwa judi adalah perbuatan yang haram. Sebagaimana Allah sampaikan dalam Qur'an surat an Nisa ayat 43:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." ( QS. An Nisa: 43).

Negara Islam (Khil4f4h) akan menerapkan sistem sanksi bagi para pelaku judi, dimana sanksi ini fungsinya adalah sebagai jawazir (mencegah) dan jawabir (penebus dosa). Dan sanksi bagi pelaku judi adalah takzir, yaitu sanksi yang ditentukan berdasarkan ijtihad Khalifah.

Alih-alih memberi ijin dengan dalih pajak, Khil4f4h justru tidak akan membiarkan praktek judi berlangsung. Khil4f4h akan memberantas praktek judi sampai akar-akarnya. Karena dalam Islam, kebijakan yang dibuat bukan berdasarkan manfaat, tetapi rida Allah, untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat.

Wallahu a'lam bishawab. [Ys]

Baca juga:

0 Comments: