Headlines
Loading...
Oleh. Ummu Faiha Hasna
(Pena Muslimah Cilacap)

Sengketa Laut Cina Selatan atau disingkat LCS sejatinya tak dapat terlepas dari ASEAN, pasalnya sebab sebagian besar pengklaiman perairan ini merupakan negara anggota. Oleh karena itu, sebagaimana diberitakan di metrotv.news, (15/9/2023),
di keketuaan Indonesia di ASEAN tahun ini, banyak yang menaruh harapan ada titik terang terkait masalah LCS.

Untuk menangkal kekecewaan tersebut, Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI Sidharto Suryodipuro mengatakan, Document of Conduct (DoC) di Laut China Selatan yang sudah ditandatangani sejak lama, membentuk perilaku negara-negara di sekitar Laut China Selatan. Pak Direktur Jenderal juga menyatakan, Indonesia menghormati Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan instrumen hukum internasional lainnya terkait dengan urusan maritim, kebebasan navigasi dan lainnya.

Terkait konflik di kawasan LCS ini, sejatinya masalah ini sudah ada sejak lama. Berbagai upaya atau langkah atau melakukan titik tengah tidak membuahkan hasil. Hal ini wajar terjadi sebab kawasan LCS memang sangat menggiurkan untuk dikuasai.

Respon Indonesia Terhadap Sengketa Laut

Sengketa Laut China Selatan merupakan salah satu tantangan bagi stabilitas keamanan di kawasan termasuk bagi Indonesia sebagai non-claimant state. Meskipun, negara Indonesia tidak terlibat langsung dalam konflik Laut China Selatan namun tetap berusaha mengambil peran dalam mengelola konflik tersebut. Hal tersebut didasarkan pada tanggung jawab Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia sesuai amanat konstitusi.

Dikutip dari jurnalprodi.idu.ac.id,Utomo, Hari; Mitro Prihantoro, dan Lena Adriana, dalam Jurnal Prodi Damai dan Resolusi Konflik, Vol. 3, No. 3 (Desember 2017): 63-88, yang berjudul “Peran Pemerintah Indonesia dalam Mengelola Konflik Laut China Selatan,” menjelaskan bahwa kawasan Kawasan Laut China Selatan adalah kawasan yang bernilai ekonomis, politis dan strategis sebagai jalur perdagangan (Sea Lines of Trade) dan jalur komunikasi internasional (Silence of Communication) yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera pasifik. Oleh sebab itu, hal inilah yang membuat jalur LCS menjadi jalur tersibuk di dunia sebab lebih dari setengah perdagangan dunia melewati kawasan tersebut. 

Selain itu, dalam jurnal tersebut juga disebutkan pula selain lokasinya yang strategis menurut data United State Energy Information Administration (EIA) potensi Sumber Daya Alam di laut cina selatan sangat besar. Diperkirakan terdapat sebelas milyar barel dan gas alam yang mencapai seratus sembilan puluh triliun dan tambang lain serta cadangan hidrokarbon yang sangat penting sebagai pasokan energi. Sementara itu, menurut konsultan energi Wood Mackenzie, terdapat cadangan minyak dan gas sebanyak 2,5 milyar barel di kawasan itu. Sungguh, potensi yang luar biasa ini sangat menarik perhatian negara-negara kapitalisme. 

Karenanya, sekalipun gugatan Filipina telah diterima oleh Permanent Court of Arbitration (PCA) pada tahun 2023 dan PCA memutuskan bahwa Tiongkok tidak boleh mengklaim zona ekonomi eksklusif di wilayah perairan  Laut Cina Selatan termasuk kepulauan Spratly dan Paracel. Tiongkok menolak keputusan ini bahkan Amerika yang secara geopolitis saja tidak termasuk dalam negara yang bersinggungan di kawasan ini turut menanamkan pengaruhnya. Atas nama menegakkan keamanan Maritim, AS menempatkan  pangkalan militernya di Filipina melalui Ennanced Defense Cooperation Agreement (EDCA).

Amerika juga memakai isu HAM sebagai narasi politik yang memperkuat kerjasama militer bersama Jepang, Korea Selatan, Australia,  dan India serta kerjasama Aukus untuk menekan Cina. Sedangkan posisi Indonesia yang diharapkan sebagai pendamai, namun pada faktanya telah tersandera oleh jerat kapitalisme dari AS maupun Cina. 

Maka, sejatinya, SDA negeri ini telah didominasi dan dikuasai oleh AS. Sedangkan Cina menguasai proyek-proyek vital dan strategis di negeri ini seperti pembangunan infrastruktur ibukota baru dan sejenisnya.

Dengan begitu, jika berharap Indonesia bisa menuntaskan konflik Laut Cina Selatan adalah sesuatu yang jauh dari harapan. Sebab, selama hegemoni kapitalisme masih menjadi ideologi global, negara-negara rakus kapitalisme terus akan saling sikut mengeruk kekayaan alam di sebuah kawasan.

Lalu, bagaimana solusinya?

Jika memang umat benar-benar menginginkan LCS bebas dari konflik yang berkepanjangan ini, maka caranya tidak lain adalah harus menjadikan hukum Islam sebagai pemutus perkara. Dalam syariat Islam, telah ada aturan bagaimana mengatur segala jenis kekayaan alam baik kekayaan yang berasal dari darat, berasal dari laut atau yang tersimpan di dalam perut bumi. Dan kekayaan tersebut adalah milik umat yang sejatinya haram dikuasai oleh pihak tertentu. Rasulullah saw. bersabda dalam hadits riwayat Ibnu Majah terkait tiga hal yang tidak boleh dimonopoli yaitu air, rumput dan api. 

Dalam kitab al Amwal, karya Syaikh Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa laut termasuk SDA yang manfaatnya bisa diambil langsung oleh umat. Dengan diterapkannya aturan syariat Islam, maka daulah (negara) akan mengelola dan mengatur potensi kekayaan laut tersebut agar semua warga daulah bisa mengambil manfaatnya tanpa menimbulkan mudharat (bahaya).

Negara Islam akan menjaga wilayah-wilayah perairan tersebut dari cengkeraman negara-negara asing yang ingin mengambil kekuasaan atasnya. Negara akan memperketat penjagaan dan patroli terhadap kapal-kapal asing yang melewat jalur perairan daulah. Lebih dari itu, negara Islam pun akan menjadikan wilayah perairan tunduk di bawah aturan politik luar negeri Islam yang bertumpu pada dua prinsip yakni dakwah dan jihad.

Telah nyata keberadaannya, di saat negara Islam bernama Khil4f4h menguasai dunia selama 1300 lamanya, wilayah-wilayah perairan daulah dapat dirasakan manfaatnya oleh kaum muslimin. Salah satu contoh adalah Laut Mediterania (Mediteranean)/laut tengah di abad pertengahan. Di laut Mediterania kekuatan besar itu  adalah Islam, Byzantium, Latin. Sebab, kaum muslimin memiliki gambaran nyata estafet visi maritim Islam bisa menguasai perairan tersebut dan memberikan manfaatnya untuk kaum Muslimin dan kemuliaan Islam. Puncaknya pada masa Kh!l4f4h Utsmaniyah banyak terlahir mujahid maritim yang menggantikan musuh-musuh Islam diantaranya Hayreddin Barbarossa, Hasan Khairuddin, Killij Ali, Pili Reis, Hasan Ath-Thusi, Zaganos Pasha, dan Turgut Reis.

Adapun posisi Laut Cina Selatan (LCS) sesungguhnya memiliki kemiripan  dengan posisi laut Mediterania (sea Meditterania)/ laut tengah di abad pertengahan. Karena itu, ketika Kh!l4f4h tegak, negara akan membebaskan LCS dari pengaruh-pengaruh negara kapitalisme agar manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh umat yang ada di alam semesta. Wallahu A'lam. [Rn]

Baca juga:

1 komentar

  1. So, Hanya sistem Islam sajalah yang mampu menyelesaikan segala perkara yang ada. Mari terapkan sistem Islam agar rakyat terjamin kesejahteraan. Barakallah Mbak Naskahnya Next ditunggu naskah terbaiknya 🥰❤️

    BalasHapus