Headlines
Loading...
Pelecehan di Pondok Pesantren: Kapitalisme Sekuleristik, Merusak Masa Depan Generasi

Pelecehan di Pondok Pesantren: Kapitalisme Sekuleristik, Merusak Masa Depan Generasi

Oleh. Yuke Octavianty / Forum Literasi Muslimah Bogor

Kasus pencabulan santri oleh pengasuh pondok pesantren kembali mengguncang publik. Bagaimana tidak? Kyai yang seharusnya menjaga dan mengasuh para santri, justru menodai masa depannya.

Refleksi Sistem Sekulerisme

Seorang yang disebut sebagai kyai, Bayu Aji Anwari, dilaporkan melakukan pelecehan terhadap enam santriwati yang tengah menuntut ilmu di pondok pesantren Al Kahfi, yang dipimpinnya (kompas.com, 8/9/2023). Pondok pesantren yang ternyata ilegal perizinannya tersebut berlokasi di Kota Semarang, Jawa Tengah. Parahnya, pimpinan ponpes tersebut melakukan aksinya di ruangan bawah tanah ponpes dan hotel di Banyumanik Semarang. Demikian ungkap Kasatreskrim Polrestabes Semarang, AKBP Donny Lumbantoruan. 

Ponpes yang berlokasi di Kota Semarang tersebut disebutkan sebagai tempat transit para santri yang akan diberangkatkan ke Malang, Jawa Timur. Namun nahas, justru harapan para santri untuk menimba ilmu ke Malang, berakhir kandas. Mendengar kabar tersebut, ketua RT setempat sempat kaget, karena rumah yang katanya kini telah menjadi pondok pesantren, sebetulnya telah kosong sejak 2021. Istri sang kyai pun telah lama berpamitan kepada ketua RT dan hingga kini belum juga kembali.

Merespon kejadian tersebut, Kasie Pontren, Kementrian Agama Kota Semarang, Tantowi Jauhari, langsung meninjau lokasi kejadian.  Tantowi mengungkapkan, bangunan pondok pesantren Hidayatul Hikmah, Al Kahfi, tak layak disebut sebagai pondok pesantren (kotasemarang.kemenag.go.id, 8/9/2023). Luas bangunan yang ada, tak sampai 100 m², dan bangunan hanya terdiri dari dua ruangan. Berdasarkan UU Nomor 18/2019 tentang Pesantren, syarat utama ketentuan sebuah pondok pesantren diantaranya, memiliki bangunan asrama yang terpisah antara santri dan pengasuh dan terdapatnya tempat ibadah di dalam lingkungan Pondok Pesantren. Demikian ungkapnya. 

Betapa buruknya fakta tentang lembaga pendidikan dalam tata kelola sistem kapitalisme seluleristik. Lembaga yang seharusnya mampu memberikan pendidikan terbaik kepada generasi, justru terkotori oleh perbuatan haram seorang pimpinan. Hawa nafsu dijadikan tujuan utama. Beragam cara dilakukan demi kepuasan. Tak peduli dengan standar halal haram.  Sekulerisme merusak pemahaman tentang konsep kehidupan. Kebutuhan akan penyaluran syahwat tak mampu dikendalikan karena pengaruh masalah yang sistemik. Dalam sistem ini, keinginan identik dengan kebutuhan yang harus sesegera mungkin dipenuhi. Salah satunya karena media sosial yang tak terkendali, begitu banyak konten unfaedah yang merangsang liarnya hawa nafsu. Sungguh, semua masalah ini membutuhkan kebijakan negara yang dapat melindungi rakyat. 

Tak hanya itu, konsep sekulerisme ini pun menimbulkan rusaknya pemahaman rakyat dari konsep kehidupan yang benar. Fakta yang ada justru menjadikan para orang tua enggan memasukkan putra-putrinya ke lembaga pendidikan berbasis edukasi agama. Karena dianggap fanatis dan radikalis. Alhasil, pendidikan yang ada bersifat pragmatis dan menganggap agama sebagai sesuatu yang tak layak menjadi dasar kehidupan.

Inilah refleksi diterapkannya sistem sekulerisme kapitalistik. Segala konsepnya hanya melahirkan kezaliman. Kekeliruan yang ada menciptakan persepsi yang buruk tentang Islam dan konsep akidah. 

Islam, Menjaga Kemurnian Akidah dan Menjaga Kehormatan Umat

Islam sebagai sistem yang mengatur kehidupan, mampu dengan tegas membedakan tentang konsep halal haramnya suatu perbuatan. Dalam syariat Islam, keinginan berbeda dengan kebutuhan. Standar prioritasnya pun berbeda. Tak semua keinginan harus dipenuhi. Standar pemenuhan keinginan dan kebutuhan pun harus distandarkan pada syariat Islam. 

Dalam kacamata Islam, syahwat merupakan gharizah nau' (naluri untuk melestarikan keturunan) yang hanya dapat disalurkan kepada pasangan sah yang dinikahi. Di luar itu, dihukumi sebagai perbuatan zina yang haram. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰۤى اِنَّهٗ كَا نَ فَا حِشَةً ۗ وَسَآءَ سَبِيْلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk."
(QS. Al-Isra': 32)

Dalam hal ini, keefektifan penjagaan kemuliaan umat membutuhkan institusi yang menjadikan akidah Islam sebagai satu-satunya pondasi. Institusi khas yang dicontohkan Rasullah saw., yakni Khil4lafah. Dengan institusi tersebut, negara mampu menetapkan sanksi hukuman yang menimbulkan efek jera. Sehingga mampu memutus mata rantai pelecehan seksual, ataupun tindak kejahatan lainnya yang terus berulang, terutama di pondok pesantren atau lembaga pendidikan lainnya.

Kebijakan negara pun sangat berpengaruh saat meletakkan pondasi akidah Islam dalam menentukan konsep lembaga pendidikan, lokasi terselenggaranya proses pendidikan, perizinan, serta pihak-pihak yang mampu mengelola lembaga pendidikan. Negara pun memiliki kewajiban untuk mengontrol terselenggaranya proses pendidikan di suatu lembaga. Sehingga bisa dikendalikan sejak awal jika terjadi kejanggalan atau pelanggaran hukum syarak. Dan setiap pelanggaran yang terjadi langsung ditindak tegas. Sehingga, individu harus berpikir dulu, sebelum berbuat maksiat. Konsekuensinya pun berat. 

Dengan demikian pemahaman umat tentang Islam akan terbentuk sempurna. Berbagai kejahatan pun mampu diminimalisir dengan optimal. Bahkan hingga mampu tercipta “zero” criminalism. Pemahaman Islam yang sempurna dalam wadah pendidikan yang terselenggara melalui wasilah kebijakan negara, akan membentuk sempurnanya pemahaman Islam dalam tubuh umat. Umat terjaga, umat pun mulia. Wallahu alam bisshawwab. [Ma]

Baca juga:

0 Comments: