Headlines
Loading...
Oleh. Yulweri Vovi Safitria

Buntut dari pemasangan patok tata batas dan cipta kondisi di kawasan Pulau Rempang Batam Kepulauan Riau berujung bentrok antara warga dengan petugas gabungan dari TNI, Polri, Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP yang memaksa masuk ke Pulau Rempang. Warga menolak menjadikan kawasan Pulau Rempang menjadi Program Strategi Nasional Kawasan Rempang Eco City (tirto.id, 8/9/2023).

Sebelumnya, dalam kunjungannya ke Cina beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi meneken kesepakatan komitmen investasi oleh perusahaan Xinyi Group dalam industri kaca dan surya panel dan akan berinvestasi di Pulau Rempang Kota Batam (tempo.co, 30/7/2023). Pemerintah beralasan, investasi jumbo senilai Rp172 triliun di Pulau Rempang akan menciptakan 30.000 lapangan kerja. Kepala BP Batam Muhammad Rudi mengatakan bahwa pabrik kaca kedua terbesar di dunia yang akan berdiri di Pulau Rempang akan menjadi kota baru dengan industri berkonsep Green and Sustainable City (gokepri.com, 22/8/2023).

Bikin Sakit Hati

Wacana pemerintah tersebut sontak menuai protes dari masyarakat Pulau Rempang yang notabene adalah masyarakat Melayu. Mereka pun menolak untuk direlokasi karena sudah lama menempati Pulau Rempang bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Hal itu pun diungkapkan oleh Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dedi Arman, jika BP Batam dan investor punya rencana untuk membangun cluster masyarakat yang ada di Rempang, mestinya kawasan pemukiman masyarakat yang ada saat ini dijadikan cluster. Apalagi Pulau Rempang sudah didiami masyarakat jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni sebelum Otorita Batam dan sekarang jadi Badan Pengusahaan (BP) Batam hadir mengelola Batam. "Karena bagaimana pun, siapa yang rela tanah tumpah darah tempat mereka bermukim selama ini digusur demi alasan investasi," ujar Dedi Arman mantan wartawan Batam Pos ini (batamnews.co.id, 23/8/2023).

Persoalan relokasi memang selalu bikin masyarakat sakit hati. Bagaimana tidak, aksi penggusuran selalu diwarnai kericuhan akibat regulasi yang seolah mengabaikan ketenangan, kesejahteraan, kepentingan, dan keamanan masyarakat. Apalagi pembangunan proyek strategis nasional Rempang Eco City akan mengakibatkan 16 kampung adat di Pulau Rempang dan Pulau Galang, Kepulauan Riau terancam digusur. 

Sejarah Pulau Rempang

Jauh sebelum Indonesia merdeka, Pulau Rempang sudah didiami oleh masyarakat Melayu. Pada zaman Kesultanan Riau Lingga abad ke 19, orang Tionghoa diberikan izin untuk membuka kebun di daerah Sembulang, Galang serta di Rempang sehingga wajar jika kemudian banyak warga Tionghoa yang menetap di wilayah tersebut. Seiring berkembangnya teknologi, pemerintah atas prakarsa BJ. Habibie membangun jembatan Barelang 1-6 pada 1992-1998, sehingga Pulau Rempang yang tadinya merupakan wilayah terisolir pun bergerak modern. Seiring waktu, berbagai industri pun berdiri. 

Namun, keberadaan industri di Rempang dan Galang dianggap ilegal karena tidak mengantongi izin industri dan kepemilikan tanah seperti di pulau Batam. Menurut undang-undang dan aturan yang berlaku, semua kepemilikan tanah harus mengantongi izin dari BP Batam sehingga masyarakat adat yang sudah mendiami pulau Rempang dan punya usaha di pulau itu tidak mendapat surat hak milik tanah. Oleh karena itulah, BP Batam memberikan hak pengelolaan tanah seluas 17.000 hektar ke PT Makmur Elok Graha (MEG) yang merupakan anak perusahaan milik Tomy Winata pada 2004 guna mengembangkan Rempang menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB). Namun, ditolak warga hingga akhirnya 13 April 2023 lalu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan izin ke PT MEG untuk proyek senilai Rp381 triliun dengan masa konsesi 80 tahun (batamnews.co.id, 23/8/2023).

Watak Kapitalisme

Indonesia yang kaya dengan potensi sumber daya alamnya, pulau-pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke adalah surga dunia bagi para kapitalis. Segala potensi yang ada adalah sumber untuk meraup materi tanpa peduli tanah tersebut sudah ada yang memiliki. Para kapitalis hanya mementingkan keinginannya tanpa peduli dampak yang akan ditimbulkan.

Mirisnya lagi, para penguasa dalam sistem kapitalisme seolah menjadi perpanjangan tangan para kapital untuk memuluskan agenda mereka melalui berbagai regulasi yang menyakiti hati rakyat. Penguasa yang seharusnya menjadi garda terdepan melindungi umat seolah menjadi kaki tangan para kapital. Bak kerbau yang dicocok hidungnya, mereka manut tanpa membela hak rakyat kecil. Slogan membela rakyat kecil seolah kamuflase di saat mereka butuh suara rakyat.

Ironisnya lagi, meski masyarakat telah mendiami kawasan Rempang sejak lama, bahkan sebelum jembatan Barelang berdiri dengan megah, tidak serta-merta menjadikan tanah tersebut menjadi hak milik mereka. Siapa yang berjuang, siapa yang menikmati hasilnya. Ya, kalimat sindiran itu mungkin tepat disandingkan dengan kondisi ini. Masyarakat yang sudah mendiami, mengolah, dan merawat lahan, tetapi pada akhirnya harus diserahkan atas nama investasi dengan alasan bahwa masyarakat tidak memiliki surat hak milik tanah.

Jika lapangan pekerjaan menjadi alasan di balik proyek strategis tersebut, mungkinkah lapangan pekerjaan tersebut untuk masyarakat setempat? Bukankah selama ini, setiap kali berdiri pabrik-pabrik asing, maka tenaga kerjanya pun diboyong dari negeri asal pemilik perusahaan dengan alasan Indonesia kekurangan tenaga ahli? Lantas, lapangan pekerjaan untuk siapa yang akan tercipta dari Rempang Eco City?

Tanah Milik Umat

Islam bukan hanya sekadar agama, tetapi Islam adalah sebuah ideologi yang memancarkan sebuah aturan yang bersumber dari Allah Ta’ala. Aturan Islam mengatur seluruh persoalan kehidupan politik, ekonomi, termasuk kepemilikan tanah. 

Dalam Islam, tanah adalah milik umat. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw., “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yakni padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Oleh karena itu, tanah tidak boleh dijual atau diprivatisasi atas nama investasi. Namun, tanah tersebut dikuasai dan dikelola oleh negara dan hasilnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, yakni untuk pembiayaan kebutuhan seperti pendidikan, kesehatan, maupun kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan. Terkait tanah milik negara yang didiami oleh masyarakat, maka Islam memiliki pandangan yang khas.

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu miliknya.” (HR Bukhari)

Jika merujuk kepada hadis di atas, maka Islam menetapkan bahwa tanah mati atau tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun selama tiga tahun berturut-turut, maka siapa saja diperbolehkan untuk mengolah, menanaminya, maupun mendirikan bangunan di atasnya. Namun, kepemilikan tersebut memiliki syarat, yakni dimanfaatkan secara terus-menerus. Akan tetapi, kepemilikan tanah akan lepas jika tanah tersebut dibiarkan selama tiga tahun berturut-turut, baik tanah itu dipagar ataupun tidak. Dalam hal ini tidak berbeda antara muslim dan nonmuslim yang tunduk kepada aturan Islam. 

Sungguh betapa sejahteranya ketika hidup diatur oleh sistem Islam. Lantas, apalagi alasan kita untuk menolak dan tidak memperjuangkan agar aturan-Nya diterapkan kembali dalam kehidupan sebagaimana dahulu pernah diterapkan? Wallahualam bissawab. [Ni]

Baca juga:

3 komentar

  1. Sungguh zalim para penguasa ini. Mereka justru menjadi kaki tangan para kapitalis.

    BalasHapus
  2. Segala bentuk persoalan hanya sistem Islam sajalah yang mampu mengatasi. Begitulah para penguasa berkuasa dengan jabatan yang di punya, seakan-akan menjadi budak kapitalis. Barakallah Mbak Naskahnya Next ditunggu naskah terbaiknya 🥰❤️

    BalasHapus
  3. Bumi ini milik Allah bukan milik penguasa apalagi penguasa yang membuat kebijakan mendzolimi rakyat, ya betul hanya sistem Islam rakyat bisa hidup tenang dan aman dimuka bumi.

    BalasHapus