Headlines
Loading...
Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)

Tetiba mencuat di media sosial belasan siswi SMPN di Sukodadi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, digunduli gurunya karena tak memakai ciput atau dalaman jilbab. Meskipun kasus itu berakhir damai. Sang guru berakhir di nonaktifkan. Namun tak urung memunculkan keprihatinan. 

Kepala SMPN 1 Sukodadi, Harto, membenarkan peristiwa itu. Dia mengatakan, peristiwa itu terjadi pada 23 Agustus 2023. Ada 14 siswi yang menerima sanksi gundul tersebut. Mereka dihukum oleh oknum guru di sana berinisial EN. Saat itu, lanjut Harto, saat pelajaran dimulai, ada sesi ketertiban. Setelah diperiksa, terdapat 14 siswi yang mengenakan jilbab, tapi tidak dilapisi ciput di bagian dalamnya. Mengetahui itu, EN lantas menghukum dengan cara mencukur rambut mereka hingga nyaris gundul.

Harto menuturkan, hukuman seperti itu adalah inisiatif EN, guru di kelas tersebut. Begitu juga dengan penggunaan ciput, tidak diatur di SMPN 1 Sukodadi. "Itu untuk ketertiban saja," katanya (viva.co.id, 29/8/2023). 

Pendidikan itu Pembiasaan

Inilah potret pendidikan kita hari ini, dengan basis kurikulum merdeka merdeka belajar, pendidikan jadi rancu, baik kurikulum sebagai basis materi ajar maupun teknik mengajar. Kurikulum merdeka menjadikan guru tak aktif lagi mengajar di depan kelas sementara murid tak lagi duduk mendengarkan penjelasan guru. Kecanggihan teknologi disertakan, dengan maksud murid bisa lebih mengeksplore ilmu pengetahuan yang luas dan bebas. 

Terlupakan bahwa pendidikan sejatinya konsepnya adalah pembiasaan. Pembiasaan sebab dilakukan secara berulang, sesuai jenjang pendidikan dan usia siswa. Maka, kurikulum tidak bisa disusun sedemikian rupa tanpa menyertakan pembiasaan. Terlebih jika menyangkut syariat, dimana kelak setiap yang baligh akan menanggung kewajiban syaranya sendiri atas diri pribadinya. Sebagaimana hadis berikut. ,“Dari Aisyah, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Diangkat pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga kelompok: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh (mimpi basah), dan orang gila hingga berakal" (HR Ahmad, Ad Darimi dan Ibnu Khuzaimah). 

Pendidikan dengan kurikulum berbasis Islamlah yang bakal bisa menjawab kekosongan akibat dijadikannya sekulerisme sebagai asas penyusunan kurikulum. Syariat bukan pilihan. Bisa jadi sang guru memahami ini dalam bentuk yang tidak utuh, sehingga dengan emosi menggunduli begitu saja rambut anak didiknya hanya karena tidak mengenakan ciput. Bisa jadi pula sang murid tidak paham bagaimana menutup aurat yang sempurna, tersebab minimnya informasi tentang bagaimana cara menutup aurat yang benar. Keinginan para siswi menutup aurat seharusnya diapresiasi dan disinkronkan dengan pendidikan berkelanjutan di sekolah. 

Memang tidak ahsan hanya karena tidak mengenakan ciput kemudian rambut siswi jadi korban, padahal pendidikannya bukan pada wajibnya Ciput tapi wajibnya menutup aurat. Banyak cara untuk memberi nasehat, namun itulah, ketika Islam dipelajari sepotong-potong bahkan ada upaya dimodernisasikan menjadikan umat Islam sendiri asing dengan agamanya. Upaya penguasa malah fokus pada kemunduran peradaban dan mempermalukan diri di hadapan penjajah. 

Kurikulum Berbasis Islam Cetak Output Cemerlang

Pekerjaan rumah dunia pendidikan kita sejatinya bukan masalah kewajiban menutup aurat saja. Tapi mencetak generasi yang bersyakhsiyah Islam. Sebab, kita sebagai manusia diciptakan Allah swt. di dunia ini dengan membawa misi menjadi Abdullah dan Khalifah fil Ardh. Sebagai hamba Allah dan sekaligus pengatur bumi dan seisinya. Terutama generasi muda penerus peradaban. 

Sistem hari ini, kapitalisme turut mempengaruhi secara signifikan arah pembentukan generasi, bukan cemerlang, tangguh dan bertakwa, namun lebih ke arah ekonomi, pemberdayaan yang justru makin membekukan potensi generasi. Sehebat apapun pertumbuhan ekonomi suatu bangsa, jika diisi oleh orang-orang yang tak pandai mengatur bumi dikarenakan syakhsiyahnya (kepribadiannya) tidak solid bahkan sahih jelas akan runtuh dan tidak berguna. 

Syeikh Taqiyuddin an-Nabahani dalam kitabnya Asy-Syakhsiyah al-Islamiyah menjelaskan bahwa kepribadian setiap manusia terbentuk dari aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap). Bentuk tubuh, asesoris dan sejenisnya hanyalah tampilan luar saja dan bukan faktor pembentuk syakhsiyah. Manusia memiliki keistimewaan disebabkan akalnya dan perilaku seseoranglah yang menunjukkan tinggi rendah akal seseorang. Karena perilaku seseorang dalam kehidupan tergantung pada mafahim (persepsi)nya, maka dengan sendirinya tingkah lakunya terkait dengan mafahimnya dan tidak bisa dipisahkan (Asy-Syakhsiyah al-Islamiyah, hal 9). 

Maka, dalam hal ini negara, sebagai pihak penerap hukum syara wajib menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam, agar tak terjadi peristiwa konyol sebagaimana di Lamongan, hingga seorang guru harus kehilangan pekerjaannya. Pijakan asas selain Islam malah menjadikan kaum Muslim semakin jauh dari makna hakiki darimana ia berasal, untuk apa ia diciptakan dan kemana setelah kematian. Pemahaman ini harus tuntas, agar ia menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Wallahu a'lam bish showab. 

Baca juga:

1 komentar

  1. Islam solusi terbaik dari segala hal yang ada. Mengatur dari hal terkecil sampai terbesar sekalipun. Saya merasakan yang seperti itu bagaimana lingkungan yang tidak memadai pembelajaran agama hanya 2 jam satu pekan hingga merasakan jauhnya dari agama, yang katanya Islam tapi tak memahami konsep ke Islaman. Apalagi dalam dunia pendidikan yang tak menerapkan konsep ke Islaman hakiki. Barakallah Mbak Naskahnya Next ditunggu naskah terbaiknya 🥰❤️

    BalasHapus