Headlines
Loading...
Oleh. Selly Ummu radit

Dalam Kegiatan Media Talk di Kantor Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Jakarta, Jumat, 25 Agustus 2023. Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga KemenPPPA, Indra Gunawan menjelaskan bahwa keluarga dan masyarakat dapat berkontribusi dalam pencegahan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS).

Indra berbendapat bahwa banyak anak yang enggan melaporkan tindak kekerasan seksual yang mereka alami di rumah, karena merasa hal tersebut adalah aib yang dapat mencoreng nama baik. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pencegahan terjadinya tindakan kekerasan seksual dapat dicegah dengan kolaborasi, yang dimulai dari peran keluarga sebagai lembaga terkecil yang aman bagi setiap anggotanya dan mampu melindungi anak- anak dari kekerasan seksual.

Lalu dilanjutkan kontribusi keluarga dan masyarakat melalui kontrol sosial, memahamkan masyarakat dan keluarga mengenai Undang- Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan mendorong terwujudnya desa- desa ramah perempuan dan anak (idntimes.com,  26/8/ 2023).

Sepanjang tahun 2023, Komisi Nasional Perlindungan Anak telah menerima 2.739 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Laporan jumlah kasus tersebut mengalami peningkatan dibanding tahun 2022. Ironisnya, pelaku tindak kekerasan seksual didominasi oleh orang terdekat dalam keluarga seperti ayah kandung, ayah tiri, kakak, kakek, paman atau teman dekat korban.

Karena hal ini pula sejauh ini penyelesaian kasus kekerasan seksual anak lebih banyak diselesaikan melalui jalur kekeluargaan dibandingkan dengan penyelesaian dengan jalur hukum (Kompastv.com,  31/7/ 2023). 

Jika kita telisik, sejatinya kekerasan seksual terhadap anak tentunya tidak terjadi begitu saja. Tindakan ini terjadi karena buah dari hancurnya pola pikir masyarakat karena tergerus oleh paparan sistem yang rusak yang dinamakan liberalisme. Paham ini tumbuh subur sebagai konsekuensi tegaknya sistem demokrasi dengan akidahnya yaitu sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan). 

Semua ingin serba bebas, baik berpendapat, berkepemilikan bahkan bertingkah laku. Pemenuhan kebutuhan jasmani dan naluriah manusia tidak lagi tunduk pada aturan Ilahi. 
Keadaan semakin buruk ketika media sosial berperan menjadi instrument dalam menderaskan ide-ide kebebasan. 

Tak jarang konten medsos yang FYP (For Your Page) itu berbau pornografi serta pornoaksi yang keberadaanya mudah diakses, sehingga menjadi salah satu faktor stimulus timbulnya kekerasan seksual. Filter media yang lemah ditambah minimnya keimanan individu sejalan dengan pengabaian mereka terhadap standar halal dan haram sehingga dengan begitu mudah mereka meniru konten amoral di medsos dan melampiaskan hawa nafsu kepada siapa saja yang terdekat dengan mereka termasuk pada anak-anak. 

Kasus kekerasan seksual anak dengan mayoritas pelaku berasal dari orang terdekat bahkan keluarga semakin membuka mata kita bahwa hari ini tidak semua rumah “Ramah Anak”. Mustahil rasanya mengandalkan orang rumah atau “keluarga” sebagai tumpuan utama untuk melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Kita tidak bisa mempercayakan peran perlindungan anak pada anggota keluarga yang sama yang menjadi pelaku kekerasan seksual. 

Jika keadaan dibiarkan berlarut-larut justru orang itulah yang bisa jadi kemudian menjadi predator seksual di keluarga tersebut.

Faktor kendali pelaku terhadap korban juga selama ini ditengarai menjadikan korban enggan untuk melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dialaminya, tak ayal dengan ini pelaku pun semakin leluasa dan melancarkan aksi bejatnya hingga berkali-kali. Ketika di satu sisi korban dituntut untuk berani speak- up minimal bercerita pada orang terdekat yang dipercayanya di sisi lain masyarakat hari ini cenderung individualistis sehingga mandul dalam perannya sebagai pengontrol sosial yang mumpuni. 

Di sinilah pentingnya peran masyarakat yang tidak boleh diam saja ketika melihat kemungkaran. Karena tindakan kekerasan seksual adalah tindakan kriminal yang keji yang harus dicegah dan dihilangkan.

Demokrasi dengan pilar kebebasan yang berkontribusi menyuburkan tindak kekerasan seksual akan mustahil dapat melahirkan solusi yang dapat menanggulangi tindakan keji ini. Sejatinya kita membutuhkan sistem yang lain, yaitu sistem Islam yang sahih dengan standar halal dan haram nya yang hakiki hingga dapat menuntaskan masalah ini sampai ke akarnya.

Dalam Islam, terdapat solusi komperehensif untuk menanggulangi kekerasan seksual melibatkan 3 pilar.

Pilar yang pertama adalah keluarga, keluarga berperan melahirkan individu yang bertakwa dan menjadikan akidah Islam sebagai asas bagi kehidupan. Keterikatan keluarga pada hukum syariat Islam akan menjadikan mereka orang yang saleh, takut untuk bermaksiat kepada Allah karena mereka sadar akan posisinya sebagai hamba yang harus senantiasa terikat dan terhubung dengan aturan tuhannya. Hingga kesadaran itu pulalah yang melindungi mereka terjerumus dalam tindakan maksiat sekecil apapun  apalagi tindakan keji seperti tindak kekerasan seksual.

Keberadaan keluarga sebagai pilar pertama didukung oleh kontrol masyarakat sebagai pilar kedua yang memiliki pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama yaitu syariat Islam sehingga dapat bersinergi menciptakan pola interaksi amar makruf nahi munkar yang dapat menciptakan situasi kondusif di masyarakat. Dalam pandangan Masyarakat islam, sikap acuh tak acuh dan mendiamkan kemaksiatan terjadi tak ubahnya ibarat setan yang bisu. Sehingga sifat individualistis tidak akan menonjol dalam lingkungan mereka. 

Keberadaan negara sebagai pilar ketiga menjadi institusi dengan peran sentral dan utama menyediakan pendidikan yang berkualitas yang dapat mencetak generasi unggul berkepribadian Islam berakhlak mulia, memastikan media sebagai kanal penyedia informasi yang membangun pemikiran dan akhlak masyarakat serta menegakkan sistem persanksian Islam yang tegas dengan sifat  Jawabir dan zawajir nya (penebus dosa dan pencegah) sehingga pelaku jera dan menjauhi pelanggaran hukum dan kemaksiatan.

Begitulah mekanisme Islam dalam menuntaskan masalah kekerasan seksual pada anak. Sejatinya keamanan dan suasana yang kondusif bagi tumbuh kembang anak hanya akan terjadi dalam negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Wallahualam bishawab. [ry].

Baca juga:

1 komentar

  1. Yups, Hanya mekanisme Islam sajalah yang mampu menuntaskan masalah kekerasan seksual pada anak. Sejatinya keamanan dan suasana yang kondusif bagi tumbuh kembang anak hanya akan terjadi dalam negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Barakallah Mbak Naskahnya Next ditunggu naskah terbaiknya 🥰❤️

    BalasHapus