
OPINI
Angka Perceraian Meningkat Pesat, Dunia Butuh Solusi Islam
Oleh. Choirunnisa'
Setiap orang pastilah mengharapkan mampu menjalani kehidupan pernikahan dengan mulus. Hanya saja, nampaknya hal ini tak semudah itu dijalankan. Bahkan, saat ini, banyak sekali terjadi kasus perceraian di masyarakat kita.
Perceraian Semakin Menjamur
Dikutib dari laman Databooks.co.id, terjadi peningkatan jumlah kasus perceraian di Indonesia yaitu mencapai 516.334 kasus pada 2022. Peningkatan ini terjadi dengan pesat yaitu sebesar 15,31% dibandingkan 2021 yang mencapai 447.743 kasus menurut data Statistik Indonesia. Jumlah ini adalah angka tertinggi dalam kurun waktu enam tahun terakhir.
Mayoritas kasus perceraian pada 2022 adalah gugat cerai yang diajukan oleh pihak istri dan telah diputus oleh Pengadilan. Sebanyak 127.986 kasus atau 24,78% merupakan perceraian terjadi atas permohonan cerai yang diajukan oleh pihak suami, juga telah diputus oleh pengadilan. Kasus perceraian tertinggi pada 2022 terdapat di provinsi Jawa Barat. Peringkat selanjutnya diduduki oleh Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Ketua Umum Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Prof KH Nasaruddin Umar, telah menjelaskan bahwa penyebab utama perceraian hingga 55% disebabkan oleh percekcokan. Sementara itu, akibat lain dari perceraian ini adalah terjadinya KDRT yang mencapai 6.000-an kasus. Hanya saja, angka ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu, sebanyak 80% perceraian terjadi pada pasangan usia muda dengan penyebab yang beragam, misalnya karena poligami, penjara, judi, dan politik.
Namun, sejumlah undang-undang yang telah dirumuskan untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga nyatanya belum juga berhasil. Terdapat pula undang-undang yang melarang pernikahan usia muda dengan dalih juga bertujuan mencegah perceraian. Namun nyatanya, semua undang-undang ini belum mampu mengurangi angka perceraian usia muda. Nyatanya, perceraian masih didominasi oleh pasangan usia muda yaitu di bawah lima tahun usia pernikahan (www.databoks.katadata.co.id/01/03/2023).
Penyebab perceraian secara nyata tidak hanya sekadar berkaitan dengan faktor internal saja yaitu kekurangsiapan individu. Ada pula andil faktor eksternal yang justru sangat sistemis merebak di masyarakat kita saat ini, sebut saja seperti L687 serta kemiskinan ekstrem. Hal ini tentu juga harus mendapatkan perhatian.
Melihat penyebab tingginya angka perceraian sesungguhnya tidak lepas dari sistem sekuler kapitalisme pada masyarakat saat ini. Sistem ini telah melahirkan pemikiran yang memengaruhi pola pikir pasangan suami istri. Bagaimana mereka memaknai pernikahan, bagaimana menyikapi permasalahan yang datang dalam pernikahan, apa tujuan dalam pernikahan itu sendiri menjadi beberapa hal yang jelas-jelas dipengaruhi oleh sistem kehidupan saat ini. Semuanya masih diukur dengan materi. Terkikisnya nilai-nilai agama dalam kehidupan justru semakin memperparah lemahnya ikatan suci pernikahan.
Ditambah lagi problem ekonomi akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme semakin menambah rentan kelanggengan jalinan pernikahan ini. Hidup di era saat ini di mana semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup sedangkan di sisi lain, kehidupan glamor ditampilkan, semakin membuat daya tahan untuk berjuang di masa sulit semakin lemah.
Butuh Islam
Ketika akar masalah tersebut ditelaah dengan benar, justru akan terlihat bahwa problem mendasarnya adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menciptakan kesenjangan ekstrem antara si kaya dan si miskin. Penguasaan kekayaan oleh segelintir orang telah berdampak pada kemiskinan di masyarakat.
Lemahnya ketundukan pada nilai agama turut berperan menurunkan sisi kesadaran pasangan akan esensi pernikahan itu sendiri. Sehingga, sedikit saja hantaman masalah datang, solusi yang diajukan adalah perceraian. Walaupun hal ini dibolehkan tapi menjadi suatu perkara yang dibenci oleh Allah sehingga harus diusahakan upaya menjaga pernikahan tersebut lebih dahulu.
Membentuk rumah tangga sesungguhnya adalah bagian dari syariat. Untuk itu, Allah telah memberikan sejumlah aturan dan hukum agar dalam menjalankan biduk rumah tangga senantiasa berada dalam petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Allah memberikan kewajiban kepada laki-laki sebagai pemimpin (qawwam) sedangkan kaum perempuan sebagai ummu wa rabbatul bayt.
Kewajiban ini merujuk pada syariat yang Allah tetapkan. Allah Swt. berfirman dalam Surat An-Nisa' ayat 34 yang berbunyi, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).”
Sementara itu, ada peran besar negara dalam menyiapkan warganya untuk memasuki jenjang pernikahan. Jika yang dihadapi saat ini karena kurangnya ilmu, dalam masa Kekhalifahan Islam, negara akan aktif melakukan edukasi mengenai pernikahan. Di dalamnya tentu meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan aspek rumah tangga, seperti membangun hubungan suami istri, pola asuh, pemenuhan gizi keluarga, ekonomi keluarga, serta hal lainnya.
Islam sangat memahami esensi rumah tangga dan keberlangsungannya dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu, Islam menjamin dan menjaga keberlangsungannya dengan mekanisme yang ada. Lain halnya dengan sistem saat ini yang justru membuka peluang adanya perusakan pada jalinan pernikahan itu sendiri. Sungguh dengan ini, nyata jika masyarakat sudah sepatutnya untuk mengambil dan memilih sistem yang benar yaitu sistem Islam itu sendiri. Wallahualam bishawab. [Ys]
Baca juga:

0 Comments: