
OPINI
Berantas Korupsi di Era Demokrasi Hanyalah Ilusi
Oleh. Dwi Moga
Tikus berdasi alias koruptor masih saja merajalela di negeri ini. Terungkap fakta beberapa waktu lalu, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo resmi ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sehingga total ada enam menteri di era pemerintahan Presiden Jokowi yang tersandung kasus serupa. Sekaligus menjadi jumlah menteri terbanyak yang terjerat kasus korupsi dibanding masa dua presiden sebelumnya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati (dataindonesia.id, 4/10/2023).
Demokrasi Suburkan Korupsi
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yuris Kurniawan, mengatakan bahwa politisasi jabatan menteri menjadi faktor kuat penyalahgunaan kewenangan yang berujung korupsi. Selain itu hal yang dianggap memicu keterkaitan ini antara lain ongkos besar partai politik dan minimnya keterbukaan soal audit laporan keuangan partai politik terhadap masyarakat (bbc.com/indonesia, 7/10/2023).
Tumbuh suburnya tanaman tak lepas dari lingkungan tempat hidupnya. Begitu pula dengan tindakan korupsi yang dilakukan tak lepas dari sistem yang melingkupi dan mengondisikannya.
Korupsi akan tumbuh subur di era demokrasi. Bagaimana tidak? Dalam demokrasi modal amat berperan. Jika ingin jadi penguasa maka harus punya modal atau dekat dengan pemodal. Sehingga bisa mendapatkan banyak kursi (suara) dan memegang tampuk kepemimpinan atau jabatan tertentu.
Demokrasi terlahir dari sistem kapitalisme sekuler. Pandangan hidup yang mengagungkan materi, berbuat sesuka hati. Tak mau terikat aturan Ilahi. Agama tak punya tempat untuk mengatur kehidupan, terbatas aturan tentang aktivitas ibadah saja.
Sekalipun sudah ada lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Namun nyatanya tak memberikan dampak berarti. Berbagai upaya telah dilakukan seperti membentuk konsep "Trisula Strategi Pemberantasan Korupsi" yakni dengan cara penindakan, pencegahan, dan pendidikan. Sebagai contoh ketika melakukan penindakan seperti operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kepala daerah yang melakukan korupsi seperti melalui modus perizinan, jual beli jabatan, pengadaan barang/jasa ataupun pengelolaan anggaran, KPK segera bergegas melakukan upaya pencegahan dan pendidikan antikorupsi kepada seluruh pemerintah daerah, baik eksekutif maupun legislatif, melalui instrumen Monitoring Centre for Prevention (MCP) dengan mengidentifikasi setiap titik rawan yang ada di pemda melalui Survei Penilaian Integritas (SPI). Dari temuan itu, KPK kemudian mendorong dan memonitor upaya-upaya pencegahannya agar tidak terjadi tindak pidana korupsi di wilayah atau di sektor tersebut (kaltara.antaranews.com, 21/12/2022).
Namun kenyataannya korupsi masih belum bisa diatasi. Ini artinya, kebijakan yang ada untuk mencegah dan mengatasi korupsi belumlah tepat atau tidak memberikan efek jera.
Berharap berantas korupsi dalam era demokrasi ini, memang hanyalah ilusi. Lalu bagaimana, akankah kondisi ini dibiarkan begitu saja tanpa solusi pasti?
Islam Menjaga Amanah
Jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan baik. Jika amanah ditinggalkan maka di situ ada pengkhianatan dan kezaliman. Ketidakamanahan berarti melakukan dosa. Maka bersiaplah dengan pertanggungjawaban yang berat di hari akhir nanti. Begitulah Islam menilai tentang amanah.
Sangatlah mudah dalam Islam mencari solusi bagi kasus korupsi ini. Jabatan haruslah diberikan pada orang yang tepat, sanggup memegang amanah dengan baik. Mereka tak lain adalah individu-individu yang bertakwa.
Setiap perbuatan yang dilakukan bersandar pada bagaimana Allah Swt. mengaturnya. Apakah perbuatan tersebut wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.
Mereka juga individu-individu yang selalu ingat bahwa kelak ada hari perhitungan di hadapan Rabbnya. Sehingga amanah akan dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Seperti firman Allah Swt. dalam surat Al-Anfal ayat 27 yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kamu, sedang kamu mengetahui."
Sistem sanksi dalam Islam juga diberlakukan. Sanksi dalam Islam berfungsi sebagai jawabir (penebus dosa) dan zawajir (efek jera). Maka sanksi akan ditetapkan oleh pemimpin negara sesuai dengan perbuatan dan tingkat kerugian yang ditimbulkan. Hukumannya pun dilakukan di depan khalayak. Sehingga bisa memberikan pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan hal serupa.
Untuk membuktikan tidak adanya tindak korupsi maka dilakukan penghitungan kekayaan di awal dan akhir jabatan. Jika ada beda antara keduanya dan tidak bisa memberikan penjelasan detilnya, maka bisa dipastikan dia melakukan kecurangan atau korupsi. Namun semua hal di atas hanya bisa terwujud dalam sebuah institusi yang menerapkan Islam kaffah. Ya, hanya dalam Daulah kh1l4f4h Islamiyah.
Wallahualam bissawab. [Hz]
Baca juga:

0 Comments: