Headlines
Loading...
Oleh. Suyatminingsih 
(Penulis di Surabaya)

Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan bahwa hasil Asesmen Nasional pada tahun 2022 terdapat 36,31 persen atau sepertiga peserta didik di Indonesia berpotensi mengalami bullying atau perundungan (news.republika.co.id, 20/10/2023).

Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa mayoritas siswa yang mengalami bullying (perundungan) di Indonesia adalah laki-laki. Dalam bentuk prosentase, bullying pada siswa laki-laki mencapai 31,6 persen, siswa perempuan 21,64 persen dan secara nasional sebesar 26.900 persen (news.republika.co.id, 21/10/2023).


Dewasa ini, bullying seolah tengah menjadi trend di kalangan masyarakat Indonesia. Mulai dari usia anak-anak hingga dewasa, mereka mempunyai persamaan bentuk pola pikir bahwa bullying adalah hal biasa, tanpa mereka pahami dampak dari bullying cukup menoreh luka perih, baik secara fisik maupun psikis bagi si korban. Tindakan tersebut kerap terjadi karena berbagai faktor pendorong, baik faktor yang bersifat internal (merasa berkuasa, ingin diakui, tempramental) maupun eksternal (pengaruh teman/lingkungan, tontonan/media massa). 

Permasalahan ini menjadi persoalan yang cukup mencemaskan dan mengkhawatirkan untuk perkembangan peradaban kehidupan. Bullying atau perundungan kian hari berkembang semakin masif, angka kasusnya melonjak dan kerap mengarah pada tindak kriminal 'sadistik' hingga mengakibatkan kematian si korban. Segala program pemerintah telah diupayakan untuk mengantisipasi dan mengatasi kasus bullying. Akan tetapi, program-program tersebut tidak efektif dan tidak menjadi solusi yang solutif.

Apabila kita telaah lebih dalam lagi, program yang telah dicanangkan oleh pemerintah seolah hanya sebagai suatu program solusi yang hanya menyentuh batang masalah bukan akar masalah timbulnya bullying. Pada dasarnya bullying terjadi karena adanya kooptasi pola pikir masyarakat yang serba bebas (liberal). Selain itu, kokohnya pemahaman sekulerisme yang ditanamkan oleh sistem negara juga merupakan salah satu sebab yang mempengaruhi pola pikir dan pola sikap masyarakat.

Pemahaman yang tidak didasarkan pada aturan agama menjadikan kualitas diri yang bertindak hanya berdasarkan nafsu diri. Dengan demikian, tidak heran jika berbagai macam program pemerintah dalam upaya menanggulangi bullying tidak mempunyai hasil yang signifikan, justru seolah seperti upaya gali lubang tutup lubang yang akibatnya kasus bullying tidak pernah teratasi dengan baik dan benar. Oleh sebab itu, dalam kasus bullying pemerintah butuh memprogram ulang atau melakukan deep resolution (resolusi mendalam). 

Islam menyandarkan dasar pemahaman pada aturan agama. Di mana pemahaman tersebut berasal dari pendidikan sebagai basic membentuk kualitas individu. Pendidikan Islam yang diterapkan adalah menanamkan akidah sejak dini, yakni menanamkan keimanan kepada Allah Swt. Sehingga terbentuk pola pikir yang mempengaruhi pola sikap yang terikat pada aturan agama (pahala dan dosa). Selain itu, vibes amar ma’ruf nahi munkar pun akan terbentuk dengan sendirimya dalam kehidupan bermasyarakat sehingga perilaku bullying tidak mungkin akan tumbuh subur. 

Sebagaimana penegasan yang disampaikan oleh Ustaz Ismail Yusanto di laman Muslimahnews.net bahwa penanaman akidah dan syariat pada anak sangat penting, di samping itu peran orang tua juga harus menjadi role model yang saleh serta harus membentuk tatanan masyarakat yang kondusif sehingga bisa memparalelkan antara pendidikan keluarga dan sekolah. Dengan demikian, untuk mengukuhkan peran keluarga, sekolah dan masyarakat maka dibutuhkan negara yang menerapkan Islam secara kaffah. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: