OPINI
Kereta Cepat: Solusi Nyata atau Mimpi Kapitalis?
Oleh. Widhy Lutfiah Marha
Pendidik Generasi
Pembangunan kereta cepat adalah tonggak penting dalam kemajuan transportasi, yang akan mengubah wajah perjalanan di masa depan. Dengan kecepatan yang luar biasa, kereta cepat akan mempersingkat waktu perjalanan antar kota, mengurangi kemacetan, dan membuka peluang baru bagi pertumbuhan ekonomi.
Maka tak heran, jika pemerintah memiliki rencana untuk melanjutkan proyek kereta cepat. Setelah selesai dengan jalur Jakarta-Bandung, proyek ini akan diperluas hingga mencakup Surabaya. Dengan adanya jalur kereta cepat ini, perjalanan dari Jakarta ke Surabaya bisa diselesaikan dalam waktu hanya 4 jam. Rencana proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya ini akan melibatkan sejumlah wilayah (cnbcindonesia, 02/10/2023).
Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, menjelaskan bahwa perencanaan untuk kereta cepat Jakarta-Surabaya sedang dalam tahap pengembangan, dan pemerintah berencana untuk mengadakan kunjungan kerja ke China untuk membahas rencana ini, serta menjalin kerjasama dengan pihak lain (detikjatim.com, 28/10/2022).
Pembangunan infrastruktur kereta api cepat merupakan sebuah konsep revolusioner dalam sektor perkeretaapian di dalam negeri. Namun, ada pertanyaan mendasar muncul terkait dengan rencana proyek ini, terutama dengan ketersediaan berbagai sarana transportasi arah Surabaya, yaitu untuk kepentingan siapa sebenarnya pembangunan ini dilakukan?
Salah satu ciri khas negara kapitalis adalah pembangunan yang tidak selalu mengutamakan kemaslahatan masyarakat, namun sering kali komersialisasi menjadi fokus utama. Konsep kebebasan dalam sistem kapitalisme memungkinkan para pemilik modal untuk mengendalikan kebutuhan dasar masyarakat atas nama investasi. Akibatnya, infrastruktur tersebut mungkin tidak akan terjangkau oleh masyarakat secara ekonomis dan mungkin kurang aman.
Selain itu, dapat dilihat bahwa pembangunan saat ini cenderung terpusat di daerah tertentu, terutama di Pulau Jawa, sedangkan wilayah lain diabaikan. Padahal, infrastruktur transportasi di wilayah-wilayah lain juga memerlukan perhatian lebih untuk meningkatkan konektivitas dan keberlanjutan.
Manajer kampanye WALHI nasional, Dwi Sawung, berpendapat bahwa pemerintah sebaiknya mempertimbangkan opsi lain selain melanjutkan proyek kereta cepat ke Surabaya, seperti meningkatkan jalur yang sudah ada, daripada membangun jalur baru.
Sistem pengelolaan pembangunan infrastruktur sangat berbeda dalam negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Negara Islam akan menjalankan semua kebijakan berdasarkan prinsip syariat Islam. Oleh karena itu, dalam hal pembangunan infrastruktur, mulai dari konsep hingga pembiayaan, akan selalu mengikuti hukum syariat yang berlaku.
Dalam Islam secara umum, infrastruktur diartikan sebagai sarana umum yang diperlukan oleh seluruh masyarakat. Oleh karena itu, infrastruktur, seperti jalan raya, laut, udara, dan lainnya, termasuk dalam kategori Marofiq Al jamaah (sarana umum) yang tidak boleh dimonopoli oleh individu. Sebagai bagian dari Marofiq Al jamaah, semua bagian infrastruktur tersebut harus disediakan oleh negara. Karena infrastruktur ini bersifat fasilitas umum, penggunaannya juga harus gratis tanpa biaya.
Untuk mewujudkan konsep pembangunan seperti ini, Islam memiliki strategi pembiayaan yang telah dijelaskan dalam kitab Al amwal fi dawlah fi khilafah karya Al 'Alamah Syekh Qodim Zalum. Strategi pembiayaan infrastruktur dapat melibatkan proteksi beberapa jenis kepemilikan umum, seperti minyak, gas, tambang, dan lainnya. Hal ini memungkinkan negara untuk mengalokasikan sumber daya ini untuk membiayai pembangunan infrastruktur, yang nantinya akan dimiliki secara penuh oleh negara dan dapat dinikmati oleh masyarakat secara gratis.
Dalil untuk kebolehan khalifah mengambil strategi ini dapat ditemukan dalam hadits Rasulullah, yang menyatakan bahwa hak proteksi hanya milik Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah juga memberikan contoh dengan memproteksi Tanah Anaqi di Madinah untuk menggembalakan kuda. Kebijakan yang serupa juga diterapkan oleh Abu Bakar dan Khalifah Umar. Mereka memproteksi kepemilikan umum untuk kemaslahatan masyarakat.
Dari dalil tersebut, dapat dipahami bahwa para khalifah diizinkan untuk melindungi beberapa kepemilikan umum demi kemaslahatan masyarakat. Ini berarti negara Islam juga bisa menarik pajak atau dharibah kepada warga dengan syarat bahwa kas Baitul mal tidak mencukupi, dan infrastruktur yang dibangun penting dan mendesak. Misalnya, pembangunan jembatan untuk menghubungkan daerah terisolasi atau sekolah, pembiayaan untuk jihad, dan jalan di daerah yang terisolasi.
Namun, perlu ditegaskan bahwa dalam Islam, dharibah berbeda dengan pajak dalam kapitalisme. Dalam Islam, pajak dikenakan hanya pada mereka yang memiliki kelebihan harta setelah memenuhi kebutuhan pokok. Strategi yang diharamkan adalah meminjam dari negara asing atau lembaga keuangan global seperti IMF dan World Bank karena dapat mengancam kedaulatan negara dan membawa dampak komersialisasi infrastruktur, yang bertentangan dengan prinsip pembiayaan infrastruktur dalam Islam. Selain itu, praktik ini juga dapat mengandung unsur riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dalam sistem Islam konsep pembangunan dan pembiayaan infrastruktur terdapat beberapa prinsip utama yang menjadi landasan pelaksanaannya. Pertama, dalam negara Islam, pembangunan infrastruktur adalah sebagai tanggung jawab negara untuk memastikan kebutuhan masyarakat terpenuhi. Negara memiliki kewajiban untuk membangun, memelihara, dan meningkatkan infrastruktur yang meliputi jalan, jembatan, listrik, air bersih, dan sektor-sektor penting lainnya.
Kedua, pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dalam negara Islam diperoleh dari berbagai sumber, termasuk pendapatan negara, zakat, dan sumbangan sukarela. Zakat adalah salah satu pilar penting dalam sistem ekonomi Islam, di mana sebagian dari kekayaan umat muslim yang mampu dikelola oleh negara untuk kepentingan umum, termasuk pembangunan infrastruktur.
Ketiga, dalam sistem Islam, pembangunan infrastruktur juga harus memperhatikan keadilan dan pemerataan. Negara harus memastikan bahwa infrastruktur yang dibangun tidak hanya menguntungkan daerah-daerah perkotaan tetapi juga daerah pedesaan yang sering terabaikan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan serta meningkatkan kualitas hidup seluruh penduduk.
Keempat, dalam negara Islam pembangunan infrastruktur juga harus memperhatikan aspek lingkungan. Pemerintah dalam sistem Islam wajib untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mengambil tindakan yang bertanggung jawab dalam pembangunan infrastruktur, misalnya dengan mengurangi dampak negatif terhadap alam dan ekosistem.
Dengan demikian, konsep pembangunan dan pembiayaan infrastruktur dalam sistem Islam memiliki prinsip-prinsip inti yang mengutamakan pelayanan kepada masyarakat, keadilan, pemerataan, dan keberlanjutan lingkungan. [ry].
0 Comments: