Headlines
Loading...
Konflik Agraria, Perampasan Tanah yang Tak Kunjung Usai

Konflik Agraria, Perampasan Tanah yang Tak Kunjung Usai

Oleh. Ummu Faiha Hasna (Pena Muslimah Cilacap)

Ironis, rakyat terpaksa harus hidup dalam sebuah penderitaan akibat perampasan tanah yang tak kunjung usai. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Sartika mengungkapkan Puluhan konflik agraria akibat Proyek Strategis Nasional di tahun 2021 paling banyak terkait pembangunan jalan tol dengan 16 kasus dan pembangunan pembangkit listrik ada delapan kasus. Konflik terkait di antaranya pembangunan bandara, jalur kereta api cepat, bendungan, dan pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK).

Konflik ini sebagaimana dilansir News.republika.co.id, 7/1/2022 lalu, sudah terjadi sejak lama karena ambisi besar pemerintah dalam menuntaskan proyek-proyek tersebut. Proyek-proyek itu ditopang beragam regulasi sejak 2020 dan dipercepat pada 2021. Hanya saja, pengerjaannya mengandung banyak masalah sejak proses perencanaan hingga eksekusi. Pasalnya, tanah-tanah yang menjadi target pengadaan tanah untuk Proyek Strategis Nasional alias PSN ataupun Kawasan Ekonomi Khusus itu tumpang tindih dengan tanah dan lahan pertanian serta kebun masyarakat, termasuk wilayah adat.

Menurut Komisioner Pengkajian dan Penelitian sekaligus Ketua Tim Agraria Komnas HAM, Saurlin Siagian, konflik ini terjadi delapan bulan terakhir berdasarkan perhitungan Komnas HAM. Adapun hak asasi yang paling banyak diduga dilanggar yaitu hak atas kesejahteraan, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, dan hak untuk hidup (Republika, 16/9/2023).

Selain itu, KPA mencatat, dalam kurun waktu dari 2015 sampai dengan 2022 telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada lima koma delapan juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai satu koma tujuh juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, ada seribu enam ratus lima belas rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya (cnnindonesia, 24/9/2023).

Ironis, konflik Agraria ini, sudah banyak warga yang akhirnya benar-benar terlempar dari tanahnya sendiri hingga terpaksa menjadi tenaga kerja upah murah ataupun pekerja non formal yang bermigrasi ke kota sampai ke luar negeri.

Satu kondisi bahwa akibat adanya konflik ini rakyat merasa dirugikan. Kini, tanah yang sudah menjadi sumber penghidupan rakyat selama bertahun-tahun hilang dan tak ada penggantinya. Mirisnya lagi, negara seolah tampak abai terhadap penderitaan yang ditimbulkan  oleh konflik yang terjadi. Masyarakat tak berdaya dihadapkan dengan para kapitalis. Sebab, pihak investorlah yang sering dimenangkan pada konflik tersebut. Meski ada Tim Nasional Reforma dan gugus tugas reforma agraria atau yang kita kenal GTRA nasional dan wilayah yang dibentuk guna menuntaskan konflik agraria dalam mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan pangan serta menjaga keseimbangan alam, namun, faktanya dinilai gagal melindungi kepentingan rakyat.

Maka, sejatinya regulasi dan hukum yang ada di negeri ini terkait kepemilikan tanah hanya mengabdi pada kepentingan para kapitalis atau pemilik modal. Sebab, menurut UU Agraria yang berlaku di Indonesia tanah diakui sebagai milik seseorang secara legal jika memenuhi dua syarat yakni adanya penguasaan secara fisik dan memiliki bukti kepemilikan baik hak milik atau hak guna bangunan.

Problem tersebut muncul ketika seseorang yang telah memiliki bukti kepemilikan atau sudah menduduki dan memanfaatkannya selama bertahun-tahun tiba-tiba pihak lain yang mengklaim tanah tersebut melalui bukti kepemilikan yang sama. Dalam hal ini, bukti kepemilikan tersebut sama-sama dikeluarkan oleh BPN atau Badan Pertanahan Nasional. Tanah sengketa itu pun akan dibawa ke pengadilan, sedangkan kita tahu pengadilan dalam sistem kapitalisme yang saat ini dijalankan sebagai aturan kehidupan cenderung memenangkan siapa yang berkuasa dan siapa yang paling kuat. Maka itu, letak problem sebenarnya dimana tanah sangat mudah diklaim oleh pihak lain hanya dengan pembuktian sertifikat.

Butuh Pengaturan yang Menjamin Keadilan

Konflik agraria sejatinya butuh solusi tuntas. Sejatinya hanya dengan pengaturan yang menjamin keadilan bagi umat manusia yang berasal dari dzat Maha Adil, yakni Allah Subhanahu wataala. Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki pengaturan dalam seluruh sendi kehidupan, termasuk persoalan tanah. Islam menetapkan bahwa negara adalah pihak yang diberi tanggung jawab untuk mengatur pengelolaan tanah sesuai syariat Islam hingga tidak terjadi sengketa lahan. Negara juga seharusnya tidak boleh hanya bertindak sebagai regulator yang menyebabkan terjadinya penguasaan lahan oleh segelintir pihak.

Oleh karena itu, akan sangat jauh berbeda dengan konsep pertanian dalam syariat Islam. Islam memiliki konsep yang khas dalam mengatur pertanian. Tidak seperti konsep kapitalisme yang saat ini berjalan. Sebab konsep pengelolaan pertanian dalam syariat Islam akan menghilangkan kezaliman antara satu pihak dengan pihak lain sekalipun pihak lain tersebut adalah pihak yang lemah.

Dalam kacamata Islam, kepemilikan tanah harus sepaket dengan pengelolaanya. Sehingga, bukti-bukti berupa surat legalitas seperti sertifikat tanah, hanya bersifat penunjang. Bukti kepemilikan yang nyata adalah dengan menampakkan adanya aktivitas pengelolaan di atas tanah tersebut. Misalnya, dengan adanya usaha pertanian, peternakan, perkebunan, dibuatnya berbagai macam bangunan ataupun pemanfaatan lainnya.

Maka, jika ada seseorang yang memiliki tanah akan tetapi tanah tersebut dianggurkan atau tidak dikelola lebih dari tiga tahun, maka, tanah tersebut diambil oleh negara dan diberikan kepada orang lain yang sanggup mengelolanya. Dengan mekanisme seperti ini tanah akan mudah untuk diakses banyak pihak dan siapa pun bisa dengan mudah untuk memiliki asalkan mereka mampu untuk mengelolanya. Sehingga tidak akan terjadi penumpukan tanah yang tidak termanfaatkan.

Syariat Islam juga menetapkan bahwa negara boleh saja mengambil tanah rakyat untuk kepentingan umum atau publik dengan keridhaan pemilik tanah untuk memberikan ganti untung yang tidak membuat rakyat kesusahan. 

Maka itu, hanya Islam yang memiliki solusi atas konflik Agraria dalam tata aturan kapitalisme dan sejatinya aturan Islam ini hanya bisa berlaku dalam negara yang menerapkan Islam secara sempurna di bawah naungan sistem Islam bernama Kh!l4f4h Islamiyah. Wallahu alam. [Ma]

Baca juga:

0 Comments: