Headlines
Loading...
Oleh. Netty al Kayyisa  
 
Jagat raya ramai dengan konflik antara warga Rempang Batam dengan aparat gabungan dari TNI, polri, dan Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam. Hingga hari ini konflik belum mereda. Bahkan semakin panas dengan banyaknya pihak yang berkomentar.  
 
Pulau Rempang akan diubah menjadi kawasan eco city, juga akan menjadi lokasi pabrik kaca terbesar kedua dunia milik perusahaan China Xinyi Group. Nah, dari sini sudah bisa ditebak masalahnya. Investasi yang katanya menguntungkan negeri atau hanya menguntungkan para penguasa yang didukung pengusaha saja?  
 
Dan tentunya yang merasa diuntungkan dengan proyek ini angkat kepala. Melakukan pembelaan sana sini meski tak masuk akal dan tak sesuai realita. Logikanya, jika proyek ini menguntungkan rakyat, maka tak akan terjadi konflik berakibat bencana.  
 
Sebagaimana pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD sebagaimana dilansir dalam CNNIndonesia.com, Selasa, 12 September 2023, menyatakan bahwa peristiwa di Pulau Rempang bukan penggusuran tapi pengosongan lahan oleh yang berhak.  
 
Menurutnya pemerintah telah menyewakan Pulau Rempang pada tahun 2001 tetapi tidak segera dimanfaatkan oleh penyewa. Nah, sekarang akan dimanfaatkan maka sepantasnyalah mengosongkan siapa saja yang telah memanfaatkannya. Apalagi dikuatkan dengan fakta masyarakat Rempang tak punya sertifikat tanah yang mereka huni sekarang.  
 
Jika kita mengandalkan logika, barangkali benar apa yang penguasa katakan. Tetapi mari kita lihat sejarah yang berbicara. 
  
Menurut sejarawan Nicko Pandawa dalam sebuah video yang di rilis Jejak Khilafah di Nusantara, Selasa, 19 September 2023,  jauh sebelum NKRI ada, Rempang Galang sudah bertuan. Ada darah kepahlawan Islam dan masyarakat tertumpah di sana. Pulau Rempang dikuasai Kesultanan Riau Lingga yang wilayahnya terbentang dari Pulau Laut dan Natuna di ujung timurnya, hingga Mandah di Indragiri Hilir sebelah baratnya.  
 
Rempang Galang juga pernah dijajah Inggris pada 1837 dan masyarakat berperang mempertahankan tanahnya hingga terbebas dan beranak pinak di sana.  
 
Jadi, sebelum NKRI ada, sebelum para menteri dan penguasa hari ini ada, masyarakat Rempang Galang sudah menetap di sana. Ketidakadaan sertifikat tanah, tidak menjadi kendala kepemilikan. Justru  seharusnya pemerintah memfasilitasi pembuatannya bukan malah merampasnya.  
 
Tidakkah penguasa mau berkaca pada teladan mulia Baginda Rasulullah saw. dalam mengurusi rakyatanya? Dalam satu riwayat yang disampaikan oleh Asma’ binti Abu Bakar Rasulullah telah memberikan kapling tanah kepada Az Zubair ra, Abu Tsa’labah al Khusyani. Juga pernah memberikan tanah pada Mujja’ah al Yamamah pemuka Bani Hanifah.  
 
Rasulullah juga pernah memberikan tanah yang luas kepada Bilal bin al Harits al Muzni ketika sebagaimana yang disampaikan dalan Sunan Abu Dawud no.19. Bilal datang kepada nabi dan meminta sebidang tanah. Saking luasnya tanah yang diberikan kepada Bilal, hingga Bilal tak mampu mengelolanya. Sehingga pada masa Umar beliau menarik kembali tanah tersebut karena ditelantarkan dan tidak dikelola dengan benar.  
 
Pelajaran yang bisa kita ambil dari sini diantaranya,  
 
Pertama, negara bisa memberikan tanah milik negara kepada rakyatnya yang meminta atau yang membutuhkan. Ketika memberi dengan maksud dikelola bukan sekedar di minta saja sebagai gaya-gayaan agar di cap juragan tanah.  
 
Kedua, negara bisa menarik kembali tanah pemberiannya atau juga tanah milik individu yang telah ditelantarkan selama 3 tahun. Tidak dikelola dan tidak dimanfaatkan.  
 
Ketiga, tanah-tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun atau tanah-tanah mati apapun sebabnya, bisa dihidupkan kembali oleh rakyat yang membutuhkannya. Menghidupkan kembali seperti memagari, menanami atau memanfaatkan untuk yang lainnya.

Dengan melihat ketiga hal tersebut, kita bisa menghukumi termasuk tanah yang seperti apa di Pulau Rempang sehingga bisa disewakan, digusur sesuka hati oleh penguasa. Tanah Rempang Galang adalah tanah milik individu karena telah ditempati penduduknya hingga hari ini. Dan apa yang dilakukan oleh penduduk Rempang di sana termasuk ihyaul mawat (menghidupkan tanah) dan hal itu diperbolehkan dalam Islam.  
 
Hukum inilah yang seharusnya berlaku dalam menyikapi masalah Pulau Rempang. Hanya saja, karena negara kita tidak menggunakan syariat Islam, maka keputusan ada di tangan penguasa. Yang berbuat dan menetapkan hukum sekehendaknya. Yang penting menguntungkan bagi mereka dan segelintir orang saja. Inilah muara dari sistem kapitalisme yang diagungkan di negara kita. Manfaat dan keuntungan pribadi yang diunggulkan tanpa peduli rakyatnya. Bahkan mereka enggan untuk mencontoh baginda Rasulullah saw.  
 
Lalu mengapa setiap tahun memperingati maulid nabi dengan gegap gempita dan ceramah sana-sini? Jika isinya hanya menghinakan Islam dengan dalih moderasi. Hanya ceremonial agar tak di cap sebagai anti Islam dan menolak kebenaran. Padahal memang nyata demikian adanya. Terbukti masalah Pulau Rempang saja mesti berlarut-larut dan mengorbankan banyak harta dan nyawa. Menjadikan kaum muslimin harus turun membela saudaranya. Jika masyarakat sudah tak percaya dengan penguasa, maka siap-siap saja. Ganti rezim, ganti sistem akan segera terjadi tak lama lagi. Dan negara Islam kembali jaya sebagaimana masa Rasulullah di Madinah al Munawaroh. Saat itulah terbukti, siapa pecinta nabi, siapa yang mendustakannya.
 
Itulah yang harus kita lakukan hari ini. Mengembalikan kesadaran umat akan pentingnya penerapan syariah dalam seluruh aspek kehidupan. Bukan hanya pada masalah yang menguntungkan. Kasus Pulau Rempang hanya salah satu kasus yang tak pernah terselesaikan tanpa  syariat Islam. Dan yang menanggung derita pasti umat secara keseluruhan. Yang menikmati hasil hanya segelintir orang. Lebih dari itu, ini satu hal yang melanggar perintah Allah dan Rasul. Bukti cinta nabi adalah dengan penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahualam bissawab. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: