OPINI
Korupsi Dana Desa, Wajah Buruk Sistem Kapitalis Sekuler
Oleh. Hanif Eka Meiana, SE
Budaya korupsi menjadi hal biasa dalam sistem kapitalisme sekuler. Budaya ini kian hari makin meningkat dan mewabah, mulai dari jabatan tertinggi dalam pemerintahan saat ini hingga jabatan yang kecil di pedesaan. Mulai dari lingkungan politik, bisnis, pendidikan, kesehatan maupun bidang lainnya tidak lepas dari budaya yang satu ini. Seperti halnya yang terjadi pada suatu desa di Kabupaten Klaten berikut ini.
R, seorang perangkat desa di Desa Trunuh, Klaten diamankan Kejaksaan atas tudingan korupsi dana desa sebesar Rp 437 juta. Warga mengungkap, R, yang juga dikenal sebagai modin di desa itu, menggunakan uang dana desa untuk judi online dan foya-foya (main cewek). Menurut Kordinator Gerakan Warga Desa Trunuh Anti Korupsi, Anggun Nasir Tzalasah, R sering membohongi warga yang ingin mengurus KTP atau KK. Meski aturannya gratis, tapi R memungut biaya dan uangnya masuk kantong sendiri. Dengan kewenangannya sebagai bendahara dan akal bulusnya, R bisa mencairkan dana desa. Ia memang dikenal cukup terampil untuk urusan IT dan rekayasa digital. (tribunsolo.com, 11/09/2023)
Dugaan korupsi muncul sejak tahun 2017-2018, dimana beberapa proyek yang berjalan di desaa tidak masuk akal, bila melihat nominal yang diumumkan di baliho desa. Ada juga proyek fiktif, katakana nominal Rp70 juta tapi realisasinya tidak ada sama sekali, kata Anggun. Liciknya R, ia ditengarai memainkan dana desa ini saat pandemi Covid-19 menghantam. Saat warga desa kebingungan menghadapi Covid-19, R diam-diam mulai menggerogoti dana desa ini. Bupati Klaten, Sri Mulyani pun geram dengan apa yang dilakukan R. (tribunsolo.com, 11/09/2023)
Perbuatan seperti yang dilakukan R ini amat sangat menyakiti hati masyarakat. Bagaimana tidak, disaat warga bergantung dan percaya sepenuhnya pada pejabat di desa untuk dapat membantu mengurusi urusan mereka, malah dikhianati dan dizalimi. Dampaknya warga pun merugi, serta akan munculkan perasaan tidak percaya pada para pejabat didesa maupun pejabat diatasnya.
Berdasarkan data penanganan kasus tindak korupsi yang dilakukan oleh kepala desa dan perangkat desa sepanjang tahun 2015-2022 tercatat ada 851 kasus dengan jumlah tersangka ada 973 pelaku yang melibatkan kepala desa dan aparat desa. Data tersebut merupakan jumlah kasus akumulatif yang kami dapatkan dari Bareskrm, Polri, hal ini mengindikasikan bahwa korupsi sudah merambah ke tingkat desa yang notabene ujung tombak terdepan sistem pemerintahan indonesia, kata Aris Dedy Arham selaku Perwakilan Direktorat Pembinaan dan Peran serta Masyarakat KPK RI. (sieradmu.com)
Akar masalah
Hidup di era yang serba bebas, instan, dan banyak tuntutan kehidupan yang harus segera dipenuhi menjadikan banyak orang salah jalan dan salah memahami tujuan hidupnya. Iman yang lemah membuatnya kalap untuk melakukan segala cara demi mencapai tujuannya, tidak peduli halal haram maupun merugikan atau tidak bagi orang lain. Cara pandang sekuler yang menghiasi pikiran manusia dewasa ini akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler, membentuk manusia-manusia yang rakus dan tamak akan kenikmatan dunia. Perasaan takut dan malu pada Allah SWT pun tak ada dalam benak mereka yang mengambil harta yang bukan haknya (harta ghulul).
Sistem ini menghendaki agar manusia dapat mencapai puncak kebahagiaannya tanpa melibatkan peran agama didalamnya. Sehingga kebahagiaan diukur dari bagaimana ia dapat memperoleh materi sebanyak-banyaknya. Asas kebebasan yang dibangun dalam sistem ini menjadikan manusia menghalalkan segala cara dalam memenuhi keinginannya. Ditambah lagi penguasaan atas harta maupun sumber daya lebih banyak berumpul pada para pemilik modal, dan kebijakan yang berlakupun hanya memihak pada kepentingan para pemilik modal.
Dampaknya tuntutan kehidupan semakin tinggi dan sulit diraih bagi sebagian masyarakat. Tak heran budaya korupsi pun menjamur. Lembaga yang menindak mereka yang terjerat korupsi pun seakan dilemahkan dalam sistem ini. Hukuman bagi para koruptor tidak mampu memberikan efek jera malah memanjakan para pelaku. Kembali rakyat yang dirugikan.
Islam Memberikan Solusi
Berbeda dengan sistem Islam, kehidupan bermasyarakat dan bernegara tersuasakan dengan kondisi keimanan dan ketaqwaan yang kokoh terhadap Allah SWT. Hal ini disebabkan karena penerapan aturan hukum yang berlaku didasarkan pada hukum syara. Pengelolaan anggaran yang jelas dan aktivitas kenegaraan yang bersifat terbuka memungkinkan masyarakat dapat memantau mereka yang diamanahi mengurus urusan rakyat.
Mengutip dari tulisan Lisa Mukhlisah dalam akun fb Muslimah Cinta Islam Lampung, Khilafah Islamiyyah mewujudkan anggaran yang bersih dan transparan dengan menerapkan seperangkat aturan Islam untuk menjaga pengelolaan uang negara secara amanah. Di antara mekanismenya adalah:
Pertama, Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan. Khalifah Umar bin Khaththab pernah mengangkat Muhammad bin Maslamah untuk mengawasi kekayaan para pejabat.
Kedua, gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Khilafah memberikan gaji yang cukup kepada pejabat/pegawainya, gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier. Di samping itu, dalam pemerintahan Islam biaya hidup murah karena politik ekonomi negara menjamin terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyat. (Abdurrahman al Maliki, Politik Ekonomi Islam, Bangil: Al Izzah, 2001)
Ketiga, amanah. Dalam pemerintahan Islam setiap pejabat/pegawai wajib memenuhi syarat amanah. Berkaitan dengan harta, maka calon pejabat/pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada penambahan yang meragukan, akan diperiksa. Jika terbukti dia melakukan kecurangan/korupsi, maka harta akan disita, dimasukkan kas negara dan pejabat/pegawai tersebut akan diproses hukum. Rasulullah saw. pernah menyita harta yang dikorupsi pegawainya.
Keempat, penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras. Hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati. Khalifah Umar bin Khaththab ra pernah menyita kekayaan Abu Sufyan.
Demikianlah bila sistem Islam dalam bingkai Khilafah diterapkan. Mampu memberantas tindak korupsi aparatur negara baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini hanya mampu diwujudkan bila kita kembali pada aturan dari Sang Pencipta.
Wallahualam. [Rn]
0 Comments: