Headlines
Loading...
Oleh. Ummu Fahhala
(Pemerhati remaja dan umat) 

Pertama dalam sejarah pemilu Indonesia, ada  seorang pemuda yang berusia muda di bawah 40 tahun mencalonkan diri menjadi cawapres. Beliau adalah Gibran Rakabuming Raka (36 tahun), putra sulung Presiden Joko Widodo dan wali kota Solo, mencalonkan diri sebagai cawapres dari Prabowo Subianto. 

Pencalonan dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan atas permohonan uji materi terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Pasal ini menjadi rujukan ketentuan batas usia minimum 40 tahun. MK dalam amar putusannya telah mengubah bunyi pasal batas usia minimum capres-cawapres itu menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. (republika.co.id, 25/10/2023)

Dari aturan yang ada, seolah-olah kesempatan bagi para pemuda untuk berpolitik sangatlah terbatas. Pertanyaannya, apakah pemuda tidak bisa berpolitik? Bagaimana pandangan Islam terkait peran pemuda dalam politik?

Politik sekulerisme kapitalisme di zaman sekarang berbeda dengan politik Islam. Politik Islam wajib kita pahami, karena merupakan bagian dari syariat Islam. 

Memahami politik juga sebagai sebuah kebutuhan, karena seluruh kehidupan kita diatur dengan kebijakan politik. Seperti pengaturan makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, lingkungan, media sosial, keluarga dan sebagainya. Semua terkait dengan politik.

Sehingga semua warga negara baik muda atau tua, harus melek politik, apalagi sosok pemuda yang menjadi harapan penerus bangsa tentu sangat diharapkan bisa memahami dan menjalankan politik, baik secara langsung atau tidak. 

Kebijakan atau pemahaman politik berhubungan dengan ideologi yang dijadikan sebagai dasar pemikirannya. 

Dalam kapitalisme, politik seolah-olah terbatas pada rebutan kekuasaan, asas manfaat yang dijadikan sebagai standar. Maka tidak ada kawan atau lawan sejati, yang ada hanya kepentingan abadi. Tidak aneh jika seseorang bisa menjadi 'kutu loncat' hanya karena mencari kepentingan atau manfaat semata. 

Politik dalam Islam

Politik (siyasah) dalam Islam bermakna mengatur segala urusan umat berdasarkan syari'at Islam. 

Allah Swt. melarang kita bersikap apatis dan cuek terhadap kondisi umat dan memerintahkan untuk memikirkan permasalahan umat serta beramar ma'ruf nahi mungkar.

Allah Swt. berfirman dalam Qs. Ali-Imran: 110, bahwa umat Islam sebagai umat terbaik, karena beramar ma'ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah Swt. Bahkan Rasulullah saw mengecam umat Islam yang tidak peduli terhadap nasib saudara seimannya, "Barang siapa yang tidak peduli akan urusan kaum muslimin maka dia bukan golonganku."

"Barang siapa yang pada pagi hari sedangkan hasrat dunianya lebih besar, maka itu tidak ada apa-apa disisi Allah Swt. Dan barang siapa yang tidak takut kepada Allah, maka itu tidak ada apa-apa di sisi Allah Swt. Dan barang siapa yang tidak perhatian dengan urusan kaum muslimin semuanya, maka dia bukan golongan mereka." (al-Hakim dan Baihaqi) 

Rasulullah saw. bersabda : "Bangsa Israil dahulu telah diurus oleh para nabi, ketika seorang nabi wafat, maka akan diganti oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak seorang nabi pun setelahku, akan ada para khalifah sehingga jumlah mereka banyak." (HR. Muslim) 

Pengaturan urusan umat inilah yang disebut politik, politik ini wajib diatur dengan aturan Islam. Aturan yang berasal dari Allah Swt. Sang Khalik. Aturan yang akan menjadi rahmat bagi seluruh alam. 

Jangan sampai kita tergolong hamba Allah Swt. yang merugi, bahkan tidak termasuk umat nabi karena kita tidak peduli dan tidak memperhatikan urusan umat.

Sekarang saatnya milenial berpolitik sesuai dengan syariat Islam, memperjuangkan Islam untuk diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. [My]

Baca juga:

0 Comments: