Headlines
Loading...
Moderasi Beragama Dianggap Religious Calling, Benarkah?

Moderasi Beragama Dianggap Religious Calling, Benarkah?

Oleh. Murni Astuti (Pemerhati Remaja)

Untuk melebarkan kembali opini moderasi beragama, pada tanggal 25 September 2023 lalu, pemerintah mengeluarkan Perpres 58/2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama dalam rangka mengokohkan pentingnya penguatan moderasi beragama (Republika, 3-10-2023). Penguatan ini dipandang perlu, karena moderasi beragama sebagai program yang dicanangkan Kabinet Jokowi, dikhawatirkan akan terhenti seiring dengan berakhirnya masa kekuasaan presiden di tahun 2024.

Dikeluarkannya Perpres 58/2023 ini akan menjadi legalitas bagi pengarusan ide moderasi beragama yang berkelanjutan. Karena itulah Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Prof. Ahmad Zainul Hamdi mengingatkan semua pihak untuk menjadikan moderasi beragama bukan hanya sebatas program. Ia meminta, khususnya keluarga besar Kementerian Agama, untuk menjadikan moderasi beragama sebagai panggilan jiwa dan religious calling (panggilan keagamaan) bagi seluruh masyarakat Indonesia. 

Dilansir dari www.ragamkendari.com, salah satu bentuk program moderasi setelah dikeluarkannya Perpres 58/2023 adalah pendirian kampung Moderasi Beragama yang telah launching di daerah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Desa Morini Mulya di Kecamatan Landono dan Desa Lalosingi, Kecamatan Mowila. Kepala Kantor Kemenag Konsel, H. Joko, M.Pd. menjelaskan, Kampung Moderasi Beragama merupakan agenda nasional untuk menata sikap, pemikiran dalam kehidupan beragama yang harus moderat, sehingga tercipta kerukunan. 

"Kampung Moderasi Beragama adalah upaya memperbaiki, menjaga atau merawat hubungan antar keyakinan umat beragama, sebagai bagian menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan saling menghormati dan saling menghargai," jelasnya. Ia menegaskan, betapa pentingnya menjaga kerukunan antar umat beragama. Sebab itu akan mengokohkan keharmonisan dan memiliki dampak yang sangat luas, sehingga sangat penting merawat keberagamaan, karena sangat mahal harga yang harus dibayar apabila antar umat beragama sudah tidak ada kerukunan, akan ada konflik yang terjadi terus-menerus. 

Muncul Atas Asas Sekularisme 

Perpres 58/2023 memang tidak menyebutkan kata sekularisme secara tersurat. Namun, bila kita telaah, yang menjadi indikator keberhasilan program ini yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan ramah terhadap budaya, pluralisme keagamaan yang menggambarkan nilai-nilai sekularisme yang kuat. 

Komitmen kebangsaan mengharuskan kita untuk meninggalkan komitmen beragama, yakni keterikatan kita terhadap hukum-hukum yang dibuat penguasa berdasarkan sistem demokrasi yang kita adopsi. Ukuran toleransi diukur dengan tingginya sikap menghargai perbedaan, yang diarahkan pada pluralisme, yakni mengakui kebenaran semua agama. Nilai-nilai sekularisme yang diharapkan oleh penganut moderasi adalah tidak melibatkan agama dalam aspek-aspek kehidupan.

Keluarnya Perpres 58/2023, memberikan gambaran bahwa pelaksanaan moderasi beragama tidak berjalan lancar sebagaimana diharapkan. Moderasi tidak bisa dijadikan sebagai religious calling atau panggilan semangat keagamaan bagi muslim seperti yang diharapkan oleh penganut moderasi. Hal ini karena semangat yang dibawa moderasi beragama adalah dasar pluralisme beragama dan sekularisme. Paham ini bertentangan dengan akidah Islam. Ide ini digencarkan secara massif pasca kekalahan Ahok dalam Pilkada Jakarta. Tuduhan penggunaan politik identitas saat itu terus digaungkan, hingga berbagai tuduhan negatif terhadap muslim yang ingin menerapkan syari'at Islam secara kafah.

Pasca keluarnya Perpres ini, boleh jadi kita akan disuguhi berbagai kebijakan moderasi yang akan mencegah umat untuk menggunakan agama dalam politik, dan menjauhkan politik dari praktik keberagamaan alias sekularisasi. Sehingga agama dianggap akan memecahbelah persatuan bangsa yang akan menimbulkan konflik. 

Para penganut moderasi beranggapan bahwa banyaknya persoalan di negeri ini akibat dari adanya pemahaman Islam kafah yang diidentifikasikan sebagai politik identitas. Akibatnya Moderasi Beragama makin dikuatkan seolah bisa menjadi solusi berbagai persoalan di tengah umat. Padahal sejatinya, persoalan utama justru tingginya kemiskinan, stunting, rusaknya generasi, tingginya kekerasan seksual dan sebagainya.
 
Islam adalah Religious Calling

Seorang muslim wajib terikat dengan hukum-hukum agamanya dan menjadikan agama sebagai standar bagi pemikiran dan perbuatannya. Dengan demikian tidak ada tempat dalam dirinya ketaatan kepada hukum-hukum buatan manusia yang menyalahi hukum agamanya. Karena itu, seorang muslim kafah tidak akan bisa menjadi seorang sekuler. Sebaliknya, sekularisme tidak mungkin bisa merasuk dalam dirinya. Namun, moderasi dengan indikator dan kebijakan-kebijakannya, meniscayakan umat menjadi sekuler. Ia harus memahami agamanya dengan cara yang ditetapkan oleh penguasa, bukan dengan cara yang ditetapkan agamanya. 

Dapat dikatakan bahwa Moderasi Beragama tidak sebaiknya disebut sebagai religious calling oleh penganutnya. Hal ini disebabkan tidak memiliki korelasi antara keduanya, yang ada hanya mempropagandakan Islam sebagai sumber konflik atas persoalan di negeri ini. 

Berkenaan dengan religious calling yang merupakan panggilan agama, di mana panggilan yang merasuk dalam hati seseorang untuk beriman dan tunduk patuh kepada Tuhannya. Dalam Islam, religious calling berarti panggilan Allah untuk menjalankan seluruh syariat-Nya, bukan sekadar syariat terkait dengan ibadah mahdah saja. Akan tetapi menerapkan Islam secara menyeluruh yang akan menerapkan aturan Allah Subhana Wata’ala oleh negara. 

Salah satu bentuk penerapannya adalah menolak ide moderasi dan tata cara pelaksanaannya diterapkan, karena hakikatnya adalah sekularisasi Islam. Pemikiran dan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak, dan sebagian muamalah mereka terima. Namun, di sisi lain mereka menolak pemikiran dan hukum Islam yang bersifat politis seperti sistem pemerintahan, jihad, sistem sanksi, dan peradilan, serta sistem ekonomi. 

Padahal, Allah telah memerintahkan pada umat Islam untuk beragama secara kafah sebagaimana firman-Nya,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. [QS Al-Baqarah: 208]

Dengan demikian, moderasi ini menyimpangkan umat dari religious calling-nya. Akibatnya, Islam bagaikan dikebiri. Ajaran Islam mandul tidak mampu menjadi solusi bagi problematika kehidupan. Umat bagaikan buih di lautan, terapung mengikuti arus yang ditetapkan Barat. Membuat umat menjadi lemah tanpa izzah, rela dikendalikan kepentingannya, dijarah harta kekayaannya, dan dimatikan potensinya.

Oleh karena itu,  kita membutuhkan adanya kepemimpinan yang mampu mengemban tanggung jawab penerapan Islam ini, kepemimpinan yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya serta disepakati oleh para ulama yang hanif di setiap masanya, yaitu kepemimpinan Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’alam bis shawab. [my]

Baca juga:

0 Comments: