cerpen
Palestina I'm Coming!
Oleh. Dewi Mujiasih
Tengah malam yang gelap gulita, hanya kerlipan bintang yang bersinar menerangi atap rumah Ainun yang hancur. Udara terasa dingin menusuk tulang. Hanya ada selembar selimut hasil mengais dari puing-puing rumahnya. Selimut itu hanya cukup untuk menghangatkan tubuh adik-adiknya. Sementara ia hanya memakai switer saja. Zionis Israel telah memborbardir rumah penduduk sipil Gaza, termasuk rumahnya.
Ainun harus mengendap-endap di kegelapan malam, tidak ada listrik maupun air. Para zionis Israel telah mematikan listrik dan internet. Sumber air telah mereka racuni agar ginjal penduduk Gaza rusak, dan mati perlahan. Ainun mulai terlelap di tengah menidurkan adik-adiknya. Hujan roket masih mewarnai malam itu. Aeron dome tak henti ditembakkan para zionis untuk meluluhlantakkan Gaza.
Berkat pertolongan Allah, aeron dome dapat luluh lantak, tidak dapat menembus Gaza di tanah Hamas. Aeron dome terkenal di dunia dengan tembakan rudal yang mematikan. Penduduk sipil Gaza menjadi korban genosida Israel.
Setidaknya malam itu rumah Ainun masih dapat ditinggali bersama adik-adiknya, meskipun separuh rumahnya telah hancur. Rumahnya dekat dengan rumah sakit tempat para korban dirawat. Ia kini sendirian mengasuh kedua adiknya karena kedua orang tuanya telah meninggal dua hari lalu, karena serangan rudal Israel.
Hari yang pilu baginya, karena ia melihat sendiri kedua orang tuanya dibunuh secara sadis. Saat itu Ainun dan kedua adiknya sedang pulang sekolah. Mereka menyusuri bangunan-bangunan yang roboh karena rudal yang diluncurkan zionis Israel. Jarak sekolah dan rumah tidaklah jauh hanya berjarak tiga ratus meter saja.
Tiba-tiba suara tembakan menderu tidak henti dari balik tembok, di tempat Ainun dan adik-adiknya berdiri. Mereka dikepung tentara zionis Israel. Ainun berbisik pada adiknya untuk berlari ke bangunan sebelah agar lebih aman. Ainun dan adiknya segera meraih kerikil dan batu untuk melawan tentara Israel.
Meskipun hanya dengan batu dan kerikil, penduduk Gaza tidak gentar melawan tank dan rudal Israel. Senapan sudah diarahkan ke adik-adiknya. Ainun mengambil batu sebesar genggaman, lalu menghantamkannya pada senapan tersebut. Kepala tentara itu terluka. Tentara tersebut membalasnya dengan menembakkan peluru ke kepala Ainun.
"Laillahaillallah Muhammadurrasulullah." Ainun memekik keras, sambil memasang tubuhnya untuk melindungi kedua adiknya dari serangan peluru yang membabi buta.
Adik-adiknya menangis melihat pengorbanan kakaknya. Tangan-tangan kecil itu, berusaha meraih batu dan akan menghantamkannya pada tentara zionis. Ainun memberikan kode agar adiknya berlari. Dari kejauhan umi dan abinya melihat kejadian itu, mereka langsung berlari kencang untuk menyelamatkan anak-anaknya. Tubuhnya belum sampai ke depan Ainun, tetapi tembakan rudal telah mengenai kedua orang tuanya.
"Abi, Umi," teriak Ainun.
Seketika peluru yang menembus kepala Ainun membuatnya lemah. Tubuhnya terjatuh ke tanah, matanya terpejam seketika.
"Laillahaillallah Muhammadurrasulullah." Lirih Ainun berkata. Matanya masih menangkap kedua adiknya bersembunyi.
Beberapa jam Ainun tersadar sudah di rumah sakit, dengan peralatan kedokteran menempel di tubuhnya. Dokter memekik, bersyukur Ainun sudah sadar. Dokter memberitahu bahwa peluru itu hanya mengenai batang otak tidak sampai menembus kepalanya. Ia tidak sadar karena kehilangan banyak darah.
Ainun memberanikan diri bertanya pada dokter Hana, "Di mana Umi dan Abi, Dok?"
Ainun berusaha berkata, meski lirih. Air matanya menetes teringat kejadian tadi siang.
Berat hati dokter harus mengatakan yang telah terjadi.
"Abi dan Umimu telah syahid, Ainun."
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un."
Tetesan air mata jatuh mengenai pipinya. Dokter Hana mengelus pundak Ainun, lalu mengabarkan.
"Alhamdulillah, bersyukurlah kedua adik Ainun diselamatkan tentara Hamas."
"Alhamdulillah," jawab Ainun.
Dokter Hana memberi tahu bahwa jenazah abi dan uminya akan disalatkan. Ainun langsung bangkit dari ranjang dan melepas selang infus yang menempel di tangannya. Dokter menahannya karena ia belum cukup kuat.
"Kumohon dok izinkan saya ikut menyalati kedua orang tua saya." Dokter mengizinkannya, memapah, dan membawanya ke kerumunan di depan rumah sakit. Ruang jenazah rumah sakit telah penuh dengan jenazah para syuhada termasuk kedua orang tuanya. Bahkan, umi dan abinya hanya di baringkan di rumput karena telah penuh.
Mayat-mayat berjejer memenuhi pelataran rumah sakit. Kebanyakan yang menjadi korban genosida adalah wanita dan anak-anak. Beberapa hari korban berjatuhan hingga lebih dari 700 orang meninggal dunia.
Hati Ainun bergejolak, "Kemanakah bangsa-bangsa Arab, dan negeri-negeri Muslim lain? Tidak adakah yang dapat menolong kami, penduduk Palestina? Kenapa mereka hanya diam saja melihat kebiadaban para zionis Yahudi? Apakah kami bukan bagian dari muslim di bumi ini?"
"Sekuat tenaga kami akan berjuang mempertahankan Al-Aqsa dan memerangi zionis Israel, walaupun nyawa menjadi taruhan. Seberapa lama pun para zionis memerangi kami. Kami akan tetap berperang melawan mereka. Allahuakbar" Garang Ainun berteriak.
"Allahuakbar, Allahuakbar, Laaillahaillallah." Orang-orang riuh membalas takbir Ainun.
"Hanya Allah penyelamat kami. Tunggulah sampai Allah memberi kemenangan pada kami! Dengarlah Yahud, kami tidak takut sedikit pun! Allahuakbar. Allahu Akbar." Suara keras menggetarkan penduduk Gaza.
"Allahuakbar. Allahuakbar Laaillahaillallah." Suara takbir kembali menggema.
Kaki-kaki kecil adiknya berlari menghampiri Ainun. Air matanya kembali menetes tak tertahankan. Adik-adiknya memeluk erat Ainun, air matanya semakin deras. Terlihat wajah-wajah lugu itu masih syok karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, abi dan uminya dibantai di depannya.
"Kakak." Adik terkecil yang masih berusia tiga tahun memanggilnya, badannya gemetar karena syok. Terlihat ia bingung dan menahan air matanya.
"Tidak apa-apa, Dek! Abi dan umi telah syahid dan bahagia di surga-Nya. Kita harus kuat karena Allah bersama kita. Kita harus kuat memerangi Yahudi."
Pecah tangis adik terkecil meskipun hanya sebentar. Anak Gaza senantiasa terlahir dalam kondisi kuat.
"Iya, Kakak! Kami juga akan menyusul abi dan umi ke surga-Nya." Ainun mengangguk mendengar jawaban adik bungsunya yang berusia 4 tahun. Air matanya kembali menetes. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulut Ainun. Mereka bahagia bisa mati syahid demi mempertahankan Al-Aqsa.
"Nak, bangun Nak." Umi menepuk pipi Ainun lembut. Ainun membuka matanya lebar-lebar. Melihat umi di depannya, Ainun girang langsung memeluk erat uminya.
"Umi." Ainun tidak mampu berkata apa-apa melihat keadaan uminya. Ainun hanya meneteskan air mata.
"Kenapa kamu menangis dan berteriak, Allahuakbar, Laaillahaillallah Muhammadurrasulullah? Teriakanmu sangat kencang sampai terdengar dari kamar umi."
Uminya mengelus pundak Ainun.
"Tidak apa-apa Mi, Ainun hanya bermimpi saja."
"Umi sampai jantungan mendengar teriakanmu yang memilukan. Memangnya bermimpi apa kamu, Nak?"
"Ainun bermimpi berjuang bersama saudara-saudara kita di Gaza, Palestina. Sebelum tidur Ainun melihat video kekejaman yang dialami saudara kita di Palestina, mungkin karena itu Ainun bermimpi."
"Masyaallah, Nak. Semoga pertolongan Allah segera datang, dan Khilafah segera tegak!"
"Aamiin."
"Saat ini kita hanya bisa berdoa dan berjuang menyebarkan Islam dan mengabarkan apa yang sesungguhnya terjadi di negeri Palestina. Setidaknya kita tidak diam, karena diam di atas kezaliman berarti membenarkannya."
"Iya Bu."
"Sudah kamu tahajud dulu dan berdoalah untuk saudara-saudara kita di Gaza!"
"Baik Bu, Ainun akan segera ambil air wudu lalu salat tahajud."
Ainun berwudu lalu bersujud kepada Robbul Izzati, penggenggam kehidupan. Kengerian kembali menghinggapinya, ia masih teringat yang perjuangan saudara-saudara di Gaza, Palestina. Bahkan, kabar terbaru genosida tidak hanya mengintai wanita dan anak-anak. Sekarang juga menyasar para medis yang berjuang menyelamatkan para korban luka-luka dan sakit.
Ngerinya lagi, para jurnalis juga menjadi sasaran keberingasan zionis. Para jurnalis yang memberitakan kabar sesungguhnya mendapat intimidasi dari media barat. Media Barat berusaha menutup dan memutarbalikkan fakta. Karena pertolongan Allah, fakta yang terjadi bisa tersebar luas di penjuru belahan dunia.
Ainun bersungut mendengar antek-antek Israel memberitakan Hamas memerangi penduduk sipil Israel. Kabar yang membuat kepalanya mendidih. Media barat sering memutar balikkan fakta.
Bagaimana Hamas dituduh menyerang penduduk sipil Israel? Yang sejatinya terjadi genosida besar-besaran penduduk Gaza oleh kaum zionis Israel. Bahkan, para zionis tega menghabisi tentara dan penduduk sipil mereka sendiri. Tentara Hamas berjuang untuk menyelamatkan penduduk Gaza dan mempertahankan Al-Aqsa. Penduduk Gaza telah memerangi kaum Israel lebih dari 75 tahun.
Aku kagum, warga Gaza terlahir dengan keimanan yang kuat dan diberi kesabaran yang luar biasa. Mereka bersedih sebentar adalah kewajaran karena mereka juga manusia biasa, tapi bukan berarti mereka takut. Mereka tidak takut sedikit pun pada zionis Israel. Mereka akan malu, jika sampai dirinya takut dan bersembunyi dari para zionis Israel. Mereka akan merasa mulia bisa memerangi para zionis atau syahid di Medan pertempuran.
"Masyaallah!" ucapku lirih dengan linangan air mata yang membasahi mukena.
Klaten, 23 Oktober 2023
0 Comments: