Oleh. Agustia
Hidup adalah titik-titik perjalanan yang panjang tak terukur. Akidah kita telah mengabarkan tentang tujuan akhir dari perjalanan hidup ini. Dari tiada menjadi ada, kemudian ditiadakan dan dihidupkan kembali. Semuanya itu telah termaktub dalam Kitab ‘Lauf Mahfuz’. Hal yang tak bisa diingkari dan tak pula terbantahkan.
Lalu dimanakah akhir perjalanan kita? Di neraka-Nya atau di surga-Nya? Wallahu Alam bishshawab.
Oleh karenanya, ya Allah. Ijinkan kami yang lemah tak berdaya ini, untuk menjadikannya menjadi contoh teladan, panutan yang senantiasa menjadi tolok ukur bagi kami dalam bersikap dan bertindak. Dan selalu menjadi panutan bagi kami dalam bermuamalah. Ya Allah Swt., ijinkanlah kami untuk mengikuti imam kami, junjungan kami, pemberi syafaat kami, Nabi Muhammad saw., Nabi akhiruzzaman.
Ya Nabi salam alaika,
Aku ingin berguru padamu. Bagaimana pandainya engkau memuliakan tamu. Teringat masa itu, ketika Bani Najran berkunjung ketempatmu. Kaum yang berbeda keyakinan denganmu. Engkau menerima tamumu dengan baik dan ramah. Mereka datang untuk berdialog dan berdebat soal akidah denganmu. Suatu hal yang sangat engkau kuasai, karena engkau seorang utusan. Karena engkau membawa risalah-Nya. Mendakwahkannya ketengah umat adalah tanggung jawabmu yang harus engkau jalani. Al-Qur’an sebagai mukjizatmu yang terjaga keasliannya. Kebenaran yang tak diragukan lagi kemurniannya.
Meski terjadi dialog dan debat panjang dalam pertemuan itu, namun engkau tak menunjukkan rasa kecewa dan nestapa. Meski tamumu tak mau menerima kebenaran yang kau sampaikan. Dengan legowo dan berlapang dada engkau menerima penolakan mereka. Kesabaran menjamu tamumu tetap kau jaga. Ketika mereka minta izin untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka di Masjidmu, engkau pun mengizinkan.
Tabarakallah, betapa toleransinya engkau! Itulah gambaran ajaran Islam yang sebenarnya. Betapa mulianya engkau, ya Habiballah.
Belum lagi kesabaranmu menghadapi hujatan seorang buta dari kaum Yahudi. “Muhammad itu celaka, Muhammad itu gila, sesat” dan sebagainya. Namun setiap hari engkau tetap mendatangi Yahudi buta itu dan mendengarkan kata demi kata, kalimat demi kalimat hujatannya terhadapmu. Tanpa bersuara engkau menyuapkan makanan yang telah dilembutkan ke mulut Yahudi buta itu. Dan ia menelannya dengan nikmat, sembari tetap menghujatmu.
Ketika tempatmu digantikan oleh sahabatmu Abu Bakar Shiddiq. Si buta Yahudi itu bertanya kepada Abu Bakar Siddiq, kemana orang yang biasa menyuapkan makanan kepadanya, karena ia yakin Abu Bakar Shiddiq bukanlah orang yang ia maksud.
Seketika Abu Bakar Shiddiq menangis. Usai reda tangisnya, Abu Bakar Shiddiq menjelaskan siapa dirinya sebenarnya. Bahwa orang yang biasa menyuapkan makanan yang ia nikmati setiap hari itu telah tiada. Dialah orang yang selalu engkau hujat katanya. “Dia Muhammad?” Nyaring suara si buta itu tak percaya. Abu Bakar Shiddiq membenarkan. Seketika tumpah ruahlah tangis si Yahudi buta itu menyesali perbuatannya selama ini. Tapi apa daya, nasi sudah menjadi bubur.
Ya, Rasulullah, ya Rasulullah...
Berita menyedihkan itu pun sampai ketelingaku. Saat engkau dan Zaid bin Haritsah mengharap bantuan pembelaan dan perlakuan yang lebih baik dari kaum Tsaqif di kota Thaif. Namun ternyata mereka menolakmu dan mengusirmu. Bahkan dengan kejinya mereka menghujanimu dengan batu, hingga engkau keluar dari Thaif dalam keadaan berdarah-darah. Bersyukur engkau dan Zaid bin Haritsah selamat.
Tapi, ketika Malaikat Jibril mengahampirimu dan menawarkan untuk membalas kezaliman penduduk Thaif kepadamu, engkau menolak. Padahal para malaikat tengah menunggu perintahmu untuk menghancurkan kota Thaif dan penduduknya. Mereka siap menimpakan bencana apapun hingga menguburkan mereka semua.
Duhai Nabi, bagaimana kami bisa meniru sikap dan kebaikanmu terhadap orang yang telah berbuat buruk kepada kami. Bagaimana kami bisa bersabar terhadap celaan orang-orang yang menghina keberadaan kami seumpama hanya debu yang beterbangan tiada arti.
Ya, Rasulullah, ya, Khaira Khalqillah...
Tak terbayangkan, seorang Rasul saw., pemimpin agung dan mulia, pernah di rumahnya hanya tersedia roti kering dan cuka. Betapa sederhanya kehidupan beliau. Namun beliau tidak pernah menampakkan wajah sedih, namun selalu sumringah dan ia pun tak malu ketika harus menyediakan roti kering dan cuka kepada tamunya. Ia pun tak mempermalukan istrinya dengan hidangan tersebut bahkan ia menghiburnya dengan perkataan, sesungguhnya cuka itu adalah sebaik-baik laukpauk.
Wahai junjungan, mungkinkah kami dapat bersabar ketika ditimpa kemiskinan, penghinaan dan kezaliman? Mengapa kami gemar sekali mendoakan orang yang menzalimi kami dengan doa petaka dan bencana kepadanya?
Hari ini bagaimana kami bisa istiqamah menjadikan engkau sebagai teladan kami. Sementara kami masih saja dipengaruhi kemilau emas kehidupan dunia.
Bersyukur kami engkau anggap sebagai saudaramu ya, Rasulullah Saw, karena kita belum pernah bertemu, tetapi kami beriman kepadamu dan mencintaimu melebihi anak dan orangtua kami. Wahai baginda Nabi, berikanlah syafaatmu dihari akhir kami kelak.
Akhirul kata Semoga Allah Swt. menolong kita semua dan memampukan kita untuk meneladani akhlak Rasulullah saw. dan berbuat baik pada semua orang dan makhluk yang Allah ciptakan. [Ma]
0 Comments: