Headlines
Loading...
Oleh. Netty al Kayyisa  
 
Pada bulan Juli 2023 tepatnya tanggal 2 -13 Juli, kontingen siswa asal Indonesia berhasil meraih penghargaan di ajang Olimpiade Matematika Internasional 'the 64th International Mathematical Olympiad (IMO) yang digelar di Chiba, Jepang.  
 
Dari 600 peserta yang berasal dari 112 Negara, Indonesia berhasil meraih dua perak, tiga medali perunggu, dan dua honourable mention, meningkat lebih baik dari tahun sebelumnya. (detik.com, 12 Juli 2023) 
 
Itu hanya satu dari sekian banyak pemuda yang mampu meraih prestasi di bidang akademik. Siapa yang tak bangga memilki generasi yang pintar luar biasa. Intelegensi tinggi dengan segudang prestasi. Tak hanya lokal, nasional bahkan internasional.  
 
Tapi apa yang mereka dapatkan? Dari negara hanya mengucapkan selamat dan apresiasi. Atau beasiswa untuk melanjutkan pendidikan yang tinggi. Kadang mereka tak membutuhkan ini, karena terlahir dengan sendok emas di mulutnya, menjadikan mereka bisa mengakses pendidikan yang lebih berkualitas dengan guru-guru yang kompeten tidak disibukkan dengan kerja sambilan untuk memenuhi biaya sehari-hari.  
 
Apakah dunia mengenalnya? Tidak juga. Nama-nama mereka hanya akan ada di berita-berita sesaaat saja. Beberapa hari setelah itu tertutup dengan berita-berita penuh sensasi. Justru yang mendominasi adalah capaian-capaian yang menurut mereka prestasi tetapi mengedepankan fisik dan materi. Menjadi artis, influencer, gamer, putri Indonesia dan semisalnya.  
 
Berapa banyak hari ini pemuda intelegensi tinggi, mengejar IPK cumlaude, menang olimpiade sana sini, cita-cita jadi dokter atau jabatan yang mengedepankan intelegensi. Banyak. Masih banyak. Meski tak sebanyak pemuda yang sukanya hura-hura tak jelas arah dan rimbanya.  
 
Terbukti, perguruan-perguruan tinggi negeri masih ramai digandrungi. Penelitian-penelitian profesional di bidangnya banyak tak terperi. Profesor-profesor di usia muda mulai bermunculan bak jamur di musim hujan.  
 
Tapi, apakah berimbas pada perubahan? Apakah menjadikan kondisi umat lebih baik? Apakah yang mereka dapatkan dengan berusaha keras siang dan malam? Hanya  kepuasaan akal, kepuasan pemikiran. Bangga menguasai satu bidang sementara belum tentu 10 bahkan 100 pemuda yang sama bisa menguasainya. Sayang beribu sayang, tak berimbas pada perubahan. 
 
Karena perubahan dunia dan peradaban tak hanya bermodal kepandaian saja. Jika logika berpikir kita mengatakan para pemuda pintar, menjadi pakar, profesioanal dalam sebuah bidang, maka akan memberikan sumbangsih ilmu dan amal. Penemuan-penemuannya bisa digunkan untuk kebangkitan umat. Teori-teori yang dimunculkan bisa dipakai dalam kehidupan misalnya. Maka ketika masyarakat menggunkakannya, akan menuju pada kemajuan. Akan berimbas pada kebangkitan.  
 
Sekarang mari saya tunjukkan. Jepang, China dan Jerman adalah negara-negara dengan tingkat intelegensi dan teknologi yang tinggi. Di Jepang sebagaimana dikutip dari republika.co.id  pada 20 Januari 2023,  bunuh diri meningkat mencapai 21.584 kasus atau naik 577 dari tahun sebelumnya. Rata-rata menyebab bunuh diri karena pengangguran dan alasan kesehatan.  
 
Tribunnews.com pada 5 september 2018 juga menayangkan sebuah artikel yang menyatakan Iklan.net di Jepang mencapai 200 trilliun rupiah per tahun. Tetapi ternyata angka itu didominasi situs gelap seperti film porno, judi dan sebagainya.  
 
Cukup dua berita ini sebagai bukti bahwa dengan banyaknya orang pintar berintelegensi tinggi tak menjamin kehidupan lebih baik. Sejahtera dan bahagia. Apalagi bangkit mengemban ideologi dalam kancah percaturan politik internasional.  
 
Karena kebangkitan itu tergantung pada pemikirannya. Pada orientasi hidupnya. Pada pandangan dia tentang kehidupan. Pandangan dia pada sebuah keyakinan. Akidah namanya. Dan akidah yang benar adalah akidah Islam. Yang menyadarkan seluruh hidupnya hanya untuk menggapai ridha Allah semata.

Belajar dan menuntut ilmu untuk Islam dan kebangkitannya. Untuk umat dan kesejahteraannya. Bukan semata karena kepausaan pemikirannya.  
 
Disinilah wahai pemuda berintelegensi tinggi yang harus kalian sadari. Tak cukup hanya modal kepandaian, otak encer dan segudang prestasi untuk mampu bangkit dan membangkitkan. Untuk menuju sebuah perubahan. Tapi juga butuh mengasah kepekaan. Akan kondisi kedhaliman yang hari ini merajalela. Ketika kalian merasa baik-baik saja, maka kepekaan kalian musnah ditelan euforia kepandaian semata.

Tak cukup peka saja, belajarlah Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Kalian diberi akal, diberi kelebihan daya ribath. Gunakan untuk umat. Pelajarilah ilmu untuk amal. Bukan hanya sebatas kepuasan intelektual. Atau untuk sekedar jabatan. Yang akan hilang sesuai dengan hilangnya kemampuan. Atau untuk sekedar kompensasi tinggi di duniawai.  
 
Wahai pemuda, jika kalian berada pada kelompok ini, pemuda dengan intelegensi tinggi, sadarlah  hidupmu tak melulu tentang ilmu. Prestasi gemilang tak menjamin masa depan. Ada Islam yang harus kalian perjuangkan. Ada umat yang butuh perhatian. Ada ilmu Islam yang harus kalian pelajari dan amalkan. Ada kewajiban yang perlu kalian emban, menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. [Rn]

Baca juga:

0 Comments: