Headlines
Loading...
Oleh. Rohayah Ummu Fernand

Bentrok massa yang dipicu oleh pembangunan pemerintah kembali terjadi di kota Rempang, Batam, kepulauan Riau.
Pada Kamis (28/9) pagi, aparat keamanan memaksa masuk ke kampung adat untuk melakukan pemasangan patok batas. Saat aparat mulai masuk, terjadi lemparan batu dari arah warga yang kemudian disambut oleh semprotan gas air mata yang ditembakkan oleh aparat. Gas air mata dilaporkan masuk ke kawasan sekolah, hingga belasan siswa harus dilarikan ke rumah sakit.

Sebelumnya, sebagian masyarakat adat menolak untuk direlokasi, karena khawatir kehilangan ruang hidupnya. Proyek ini akan membuat 16 kampung adat di Rempang, Galang, yang berpenghuni sekitar 10 ribu warga terancam digusur. Pemerintah memberikan tenggat waktu hingga 28 September 2023 kepada warga sekitar untuk mengosongkan lahan.

Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, mengatakan bahwa warga Rempang yang terkena imbas pembangunan akan direlokasi ke Dapur 3 Sijantung, di lahan seluas 450 hektar, dan dijanjikan akan mendapatkan rumah Tipe 45 senilai 120 juta rupiah.
(www.republika.id/posts)

Fenomena Gunung Es

Fakta konflik lahan hampir selalu terjadi dalam pembangunan infrastruktur pemerintah. Konflik agraria ini bahkan merupakan fenomena gunung es.
Relokasi sebagai solusi dari konflik agraria tentu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat, karena mereka akan kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan sebagainya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari arah pembangunan negara ini yang bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui jalan investasi. Bahkan UU Ciptaker, yang disahkan oleh pemerintah beberapa waktu lalu, semakin memudahkan penggunaan lahan untuk Proyek Strategi Nasional dalam rangka mendukung pembangunan infrastruktur.

Satrio Manggala, yang merupakan Manager Kajian Hukum dan Kebijakan WALHI, berpendapat bahwa aturan tersebut cukup memaksa. Karena adanya keistimewaan demi kepentingan hukum ini digunakan untuk mengambil alih tanah-tanah masyarakat. 
Padahal menurutnya, pemerintah belum melakukan evaluasi terhadap pendayagunaan uang ganti rugi atas tanah milik warga yang digunakan untuk kepentingan umum dalam proyek tersebut.

Pasalnya, hal tersebut membuat masyarakat kerap kali kehilangan pekerjaan dan sumber pencahariannya. Karena tanah yang biasa digunakan untuk menghidupi keluarganya sudah tidak ada lagi. Lebih parahnya lagi, cara yang digunakan oleh pemerintah dalam mengambil alih lahan warga cenderung tidak manusiawi.

Sikap pemerintah ini semakin menunjukkan jati dirinya yang hakiki, yakni sebagai regulator, bukan melayani rakyat.
Inilah ketidak adilan penguasa yang menerapkan sistem kapitalisme demokrasi. Sistem kapitalisme hanya menjadikan rakyat sebagai korban proyek oligarki. Sebab pembangunan yang berlangsung lebih berpihak kepada oligarki, bukan kepada rakyat.

Islam Mampu Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat

Berbeda dengan pembangunan dalam Islam yang mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat, sebagai wujud tanggung jawab negara sebagai raa'in (pengurus rakyat).
Rasulullah saw. bersabda: "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat), dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. al-Bukhari).

Berdasarkan hadits tersebut, negara dalam Islam, yakni Kh1l4f4h, harus hadir secara benar di tengah masyarakat yang sesuai dengan aturan Allah swt. Negara harus hadir sebagai penanggung jawab penuh atas seluruh urusan rakyatnya, melalui penerapan syariat Islam secara kafah pada seluruh aspek kehidupan. Karena fungsi dari pelaksanaan hukum syariat adalah mencegah dan mengantisipasi munculnya masalah dan konflik di tengah kehidupan manusia. Juga menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi dengan penyelesaian yang paling adil.

Pembangunan dalam Islam juga ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Lahan-lahan yang digunakan dalam pembangunan pun dikembalikan pada status lahan yang mengikuti konsep pengaturan tanah dalam Islam.  Islam menegaskan bahwa setiap lahan atau tanah sudah memiliki status kepemilikan yang ditetapkan oleh Allah swt.

Ada tiga jenis kepemilikan tanah, yakni:
1. Tanah yang dimiliki oleh individu, yaitu tanah pertanian atau ladang perkebunan.
2. Tanah yang merupakan kepemilikan umum, seperti tanah hutan, tambang, dan berbagai infrastruktur umum.
Islam melarang penguasa atau privatisasi yang diberikan kepada korporasi atas tanah milik umum. Sebab hal itu akan menghalangi akses bagi orang lain untuk memanfaatkan tanah tersebut, yang memicu terjadinya konflik.
3. Tanah milik negara, yakni tanah yang tidak berpemilik, atau tanah yang di atasnya terdapat bangunan milik negara.
Tanah ini wajib dikelola oleh negara sepenuhnya.

Kepemilikan tanah di dalam Islam harus sejalan dengan pengelolaannya. 
Islam menetapkan bahwa ketika ditemukan suatu tanah yang tidak tampak ada kepemilikan seseorang terhadapnya, maka siapapun boleh memiliki tanah tersebut, selama dia mau mengelolanya. Sebaliknya, ketika suatu tanah yang sah dimiliki oleh seseorang, namun sudah ditelantarkan hingga tiga tahun, maka hak kepemilikan atas tanah tersebut secara otomatis akan hilang dan menjadi milik negara.

Pengaturan seperti ini akan menjaga kepemilikan seseorang atas tanah, sekalipun tidak memiliki surat-surat tanah. Sebab, kepemilikan itu sudah ditunjukkan dengan pengelolaan atas tanah tersebut. Adapun jika negara ingin melakukan pembangunan di atas tanah milik warga, maka negara harus mendapat izin dari warga yang bersangkutan. Jika warga menolak, maka pemerintah tidak boleh memaksakannya. Inilah pengelolaan tanah dan pembangunan dalam Kh1l4f4h, yang akan membawa kesejahteraan bagi rakyat.

Wallahualam bishawab. [Ys]

Baca juga:

0 Comments: