Headlines
Loading...
Oleh. Ana Mujianah 

"Kenapa sih harus selalu bangun pagi? Tak bisakah dunia berbaik hati sedikit saja padaku untuk bersantai?" Kumatikan sejenak, tepatnya aku setting tunda, bunyi bekerku.

Pukul empat pagi lewat sepuluh menit, jam beker itu kembali nyaring. "Sungguh mengganggu," rutukku dalam hati.  

Aku hampir terjatuh dari spring bed karena kaget. Dua puluh menit berlalu, nada musik nostalgia itu terus berdering. Sementara mataku masih lengket sekali menahan kantuk. Semalam aku baru terlelap pukul dua dini hari. Bima mengajakku mabar. Aku tak mau dibilang cupu, makanya aku tak berani menolak.

"Syafiq!" lamat-lamat kudengar teriakan bunda dari dapur. Aku bergeming. Berat rasanya membuka mata. 

"Astaghfirullah, Syafiq!" Bunda membuka pintu kamarku kasar membuatku terbelalak sebentar.

"Sudah siang Syafiiq. Ayo bangun! Mau salat Subuh jam berapa?" Bunda menarik paksa selimutku.

"Apaan sih Bun, masih ngantuk tau! Lagian ini hari libur Bun!" Aku kembali melingkarkan kaki dan tangan untuk mengusir dingin.

"Sekolah boleh libur, tapi salat mana ada libur. Kecuali Syafiq yang disholatin. Mau?" teriak bundaku kesal.

Aku masih tak peduli. Kututup kedua telingaku rapat-rapat. Tak kuhiraukan celoteh bunda hingga terdengar suara Bima memanggil-manggil. "Berarti ini sudah jam enam," batinku. 

Aku melompat turun dari kasur. Bergegas ke kamar mandi. Setelah berganti baju aku pun langsung keluar menemui Bima. 

"Syafiiq! Kamu mau kemana? Salat Subuh dulu, Nak!" 

"Subuhnya nanti dirapel, Bun." Kujawab ringan nasihat bunda. 

Aku terus berlari keluar rumah. Teriakan bunda kuanggap angin lalu sedangkan panggilan Bima bak suara Tuhan bagiku. Bahkan karena panggilan Bima aku rela tidak salat Subuh. Lagi-lagi, karena aku takut tak diakui sebagai teman yang baik, aku selalu berusaha mengikuti apapun ajakan teman-temanku, terutama Bima. Ya, Bima. Karena Bima adalah ketua geng, jadi semua ajakan Bima, tak ada yang berani menolak.

Pagi itu Bima mengajakku bermain basket di lapangan dekat sekolah. Seperti biasa, aku pun tak akan berani menolak. Saat aku dan Bima tiba, anggota geng Bima yang lain sudah berkumpul di sana.

Mereka menyambutku antusias. Rata-rata mereka beda kelas denganku. Hanya aku dan Bima yang kebetulan satu kelas, XIA. Mendapat sambutan dari teman-teman Bima, aku merasa mendapat pengakuan. Dengan senang hati aku langsung membaur bersama mereka. 

"Sampai ketemu nanti malam ya," ucap Aryo menggenggam erat tanganku seusai permainan basket. Aku mengangguk, penuh semangat. Aryo mengajakku nongkrong di taman kota nanti malam. Aku sebenarnya bimbang, karena bunda pasti melarang. Tetapi demi pertemanan, aku harus mencari alasan untuk meyakinkan bunda.

***

"Bim, ada korek?" tanya Aryo di tempat tongkrongan. 

"Masih sore, Ar." Bima melarang Aryo merokok. 

"Apa masalahnya sih cuma merokok," batinku polos. Belakangan baru aku sadar dan menyesal ikut bersama mereka, bahwa rokok itu ternyata bukanlah sekadar rokok biasa.

Tak berapa lama dari perdebatan Bima dan Aryo soal rokok, sirine Satpol PP meraung-raung melakukan razia. Aku yang tak mengerti apa-apa hanya mematung sambil menerima bungkusan dari Aryo. Sementara, Bima dan teman-teman yang lain sudah berhamburan menyelamatkan diri. 

"Bawa dia," teriak salah seorang petugas sambil menarik lenganku. Sakit sekali rasanya, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.

"Pak, tunggu sebentar. Ada apa ini?" Aku meronta saat petugas membawaku paksa naik mobil pikup terbuka, tapi mereka tak menghiraukanku.

"Bunda, maafin Syafiiq, Bun." Dalam perjalanan menuju kantor polisi, wajah bunda terus membayangiku. Saat aku membantahnya, mengacuhkan nasihatnya, bahkan satu jam yang lalu, aku tega membohonginya. Inilah hasil kerja kelompok yang aku bilang ke bunda. Aku harus menjadi pesakitan di mobil Satpol PP dengan tuduhan yang tidak pernah aku lakukan.

"Bunda!" Aku menangkupkan kedua tangan, pasrah. 

Apakah aku menyesal? Ya. Sayangnya, nasi sudah menjadi bubur.

Apakah Allah akan memaafkanku? Apakah aku pantas mendapat ampunan-Nya? Begitu cepat Allah memberikan balasan. Saat dengan entengnya aku mengabaikan perintah-Nya demi menemui Bima. Tadi pagi, aku alpa melaksanakan salat subuh. 

Aku tergugu di sel tahanan. Siapakah aku, yang tadi pagi merasa hebat akan merapel salat. Sekarang, aku tak ubahnya lalat yang menunggu sekarat. Siapa yang akan percaya denganku. Barang haram itu ada dalam genggamanku.

"Ini bukan milik saya, Pak. Tolong percayalah. Saya tidak pernah mengkonsumsi narkoba sedikit pun, Pak." Meski bagai menegakkan benang basah, tapi aku tetap berusaha melakukan pembelaan diri. Namun, seperti dugaanku, petugas keamanan itu tetap bergeming. Sudah dua jam aku mendekam di sel tahanan. Tak ada tanda-tanda ayah datang menjemputku.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan bunda. Aku anak durhaka. Aku hamba yang penuh dosa. 

"Masih adakah waktu buatku bertaubat ya, Allah?" 

Tangisku pecah. Aku tak peduli dengan tatapan sinis petugas. Memangnya laki-laki tak boleh menangis. Jika dengan tangisku Allah akan mengampuniku, aku rela menangis sepanjang malam. Menyesali segala keangkuhanku. Siapakah aku? Yang merasa hebat hingga tak mau taat?

"Astaghfirullahaladziim!Astaghfirullahaladziim!" Dalam lantunan istighfar penyesalanku, tiba-tiba namaku dipanggil.

"Ayah. Bunda!" Aku tak sanggup menatap wajah mereka. Malu. Aku telah mengecewakannya. 

"Maafkan Syafiq!" Aku langsung bersimpuh di kaki mereka. Hatiku semakin teriris saat bunda memelukku, masih mengakuiku sebagai anaknya.

"Jadikan ini pelajaran berharga yang harus kamu ingat seumur hidupmu, Nak. Jangan sekali-kali berani melanggar perintah Allah. Kita ini hanya hamba-Nya. Sekali Allah memberi teguran, tak ada satu makhluk pun  yang mampu mencegah."

"Ayo pulang! Tadi ayah langsung mencari Bima dan Aryo. Meminta mereka untuk bertanggung jawab atas kepemilikan barang haram itu." Bunda menarik tubuhku untuk berdiri. Dengan wajah tertunduk malu aku mengekor di belakang mereka menuju mobil sedan milik ayah. 

Sejak malam itu, aku terus mengingat satu pertanyaan dalam perenunganku di dalam sel. Who am i? Aku terus mencari siapa sejatinya diriku? Apa yang seharusnya aku lakukan, hingga aku menemukan sandaran kuat, bahwa hanya Allahlah yang menjadi satu-satunya tujuan.
[CF]

Baca juga:

0 Comments: