OPINI
Ambisi Negara Maju via Bangunan Keluarga, Mungkinkah?
Oleh. Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Keluarga merupakan salah satu bangunan terkecil yang menentukan kekuatan suatu bangsa. Namun, cukupkah peningkatan fungsi keluarga menjadi tumpuan negara maju?
Konsep Absurd ala Kapitalisme
Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr. dr. Hasto Wardoyo, SpOG(K), menanggapi betapa tingginya angka perceraian di Indonesia. Salah satu penyebab utama tingginya angka perceraian karena toxic people. Demikian ungkapnya (republika.co.id, 28/10/2023).
Sejak tahun 2015, angka perceraian meningkat tajam. Tahun 2021 jumlahnya mencapai 581 ribu pasangan yang bercerai. Sementara jumlah pernikahan sebanyak 1,9 juta angka pernikahan. Hasto mengatakan bahwa mendidik keluarga cukup dengan asah, asih, dan asuh. Asah diajari ilmu agama yang baik, asih dikasihani dengan sebaik-baiknya, asuh diimunisasi kemudian diberikan perlindungan yang baik.
Dipahamkan juga kepada masyarakat bahwa keluarga merupakan pondasi mencapai Indonesia Emas 2024, tanpa kemiskinan, tanpa stunting, tanpa kelaparan (republika.co.id, 28/10/2023). Sehingga pemantapan fungsi keluarga sangat diharapkan demi masa depan yang lebih menjanjikan.
Sayangnya, institusi keluarga ini terancam keberadaannya dari berbagai sektor. Salah satunya sektor ekonomi. Pendapatan yang rendah menjadikan fungsi keluarga tak mampu sempurna membimbing anggotanya. Suami dan istri harus bekerja semua demi memenuhi kebutuhan hidup yang serba mahal. Sementara gaji rata-rata masyarakat Indonesia ada pada level Rp3 juta per bulan. Jika suami istri penghasilannya digabungkan, hanya mendapatkan penghasilan Rp6 juta per bulan. Dengan catatan, penghasilan yang didapatkan adalah penghasilan tetap. Lantas, bagaimana nasib masyarakat yang tak memiliki pekerjaan tetap? Nasibnya semakin memprihatinkan.
Kini pemerintah tengah berusaha melepaskan belitan perangkap pendapatan menengah atau middle income trap pada tahun 2030. Middle income trap merupakan kondisi suatu negara yang berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi negara maju.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa kriteria agar bisa lolos dari pendapatan menengah dan menuju negara maju, pendapatan per kapita Indonesia harus berada di atas 10.000 dolar AS setara dengan Rp150 juta per bulan selepas 2030 hingga 2045 (tirto.id, 23/10/2023). Kriteria ini pun jauh dari fakta yang kini menyergap keluarga Indonesia.
Menurut ekonom INDEF, Nailul Huda, butuh waktu puluhan tahun agar para pekerja mampu mencapai gaji Rp10 juta per bulan (tirto.id, 23/10/2023). Fakta ini menyimpulkan bahwa negara maju hanyalah impian saat institusi keluarga masih dalam cengkeraman kemiskinan. Masalah ekonomi selalu membelit keluarga. Tak sedikit juga tatanan keluarga rusak karena sulitnya perekonomian.
Bangunan keluarga sejatinya bergantung kepada negara dalam pengurusannya. Mustahil terwujud negara maju jika sistem kapitalisme sekularisme masih diterapkan dalam pengaturan kehidupan. Konsep kapitalisme melahirkan pengaturan yang zalim pada setiap kepentingan rakyat.
Pengelolaan sumber daya yang ada diserahkan kepada para korporat oligarki yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya. Tanpa mengindahkan kepentingan rakyat. Alhasil, rakyat harus membayar mahal untuk memenuhi setiap kebutuhan hariannya. Di sisi lain, penghasilan yang dimiliki rakyat sangat minim. Lapangan pekerjaan begitu sulit. Tak heran, begitu banyak rakyat depresi karena terlilit ekonomi yang sulit.
Semua fakta ini menunjukkan abainya negara pada kebutuhan rakyat. Suatu konsep yang absurd saat negara melimpahkan tanggung jawab untuk mencapai negara maju pada institusi keluarga. Hal tersebut merefleksikan bahwa negara tak memiliki visi ideologis yang jelas. Semestinya usaha pencapaian menuju negara maju adalah tanggung jawab penuh suatu negara.
Islam Melejitkan Potensi Negara Menuju Kemajuan yang Utuh
Konsep Islam menetapkan bahwa rakyat adalah prioritas utama dalam pelayanannya oleh negara. Setiap kebutuhannya adalah tanggung jawab negara. Hanya dengan sistem Islam-lah, kesejahteraan mampu tercipta.
Kesejahteraan dalam pengelolaan Islam niscaya tercipta dalam konsep pengaturan yang amanah. Pengaturan yang amanah akan melahirkan pemimpin yang adil. Konsep akidah Islam menetapkan bahwa setiap pengaturan yang ditetapkan pemimpin merupakan tanggung jawab pemimpin sepenuhnya. Ketundukan pemimpin terhadap syariat akan membentuk watak pemimpin yang diharapkan oleh umat.
Ibnu Umar r.a. berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya." (HR. Bukhari Muslim)
Menyoal tentang konsep sejahtera. Dalam konsep syariat Islam, pengelolaan sumber daya alam wajib dikelola oleh negara. Demi memenuhi segala kepentingan umat. Bukan kepada swasta atau korporasi yang mengutamakan keuntungan semata. Anggaran negara ditetapkan dalam konsep baitulmal. Semuanya demi pelayanan rakyat. Alhasil setiap masalah kemiskinan pun mampu sempurna teratasi. Kesejahteraan merata, keluarga pun bahagia seutuhnya.
Inilah konsep pengelolaan umat dalam sistem Islam. Sistem dalam institusi khilaf4h. Satu-satunya sistem yang mampu menjadi katalisator menuju negara maju. Hanya dengan konsep sistem Islam, potensi negara mampu melejit dalam kemajuan yang sempurna. Maju peradabannya dan perekonomiannya, menuju sejahteranya kehidupan. Baldatun thayyibatun wa rabbun gaffur.
Wallahualam bissawab. [Ni]
0 Comments: