Headlines
Loading...
Angka Bunuh Diri Tinggi Akibat Sekulerisme

Angka Bunuh Diri Tinggi Akibat Sekulerisme

 

Oleh. Putri Uranus

Selama ini kasus bunuh diri sering kita dengar dari negara-negara maju seperti Jepang dan Korsel, namun tanpa kita sadari negara kita Indonesia tingkat bunuh dirinya pun tinggi berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), terdapat 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari—Oktober 2023. Angka tersebut telah melampaui kasus bunuh diri sepanjang 2022 yang jumlahnya 900 kasus. (Katadata, 18-10-2023). 

Pelaku bunuh diri saat ini beragam mulai dari rentang usia dan latar belakang pendidikannya. Dalam dua hari saja telah terjadi dua kali bunuh diri mahasiswa di Semarang pada tanggal 10 Oktober 2023, bahkan ironisnya seorang siswi SD memilih mengakhiri hidup dengan melompat dari lantai 4 di sekolahnya Petukangan Utara, Jaksel pada 26 September 2023. Sedangkan berita terbaru seorang mahasiswi FKH Unair bunuh diri di dalam mobilnya karena depresi melihat masa depannya pada 6 November 2023.

Kesehatan Mental Semakin Mengkhawatirkan di Sistem Sekuler

Penyebab seseorang bunuh diri selain terkait dalam masalah pribadi si korban seperti masalah keluarga, asmara dan mental illness. Namun masalah ekonomi, kehidupan sosial dan juga kurikulum pendidikan juga turut andil dalam seseorang mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya. 

Keluarga memiliki peran besar dalam menciptakan mental anak, tidak sedikit orangtua yang belum memiliki ilmu dalam mendidik anak dengan bekal akidah yang kuat, akhirnya terjadi kesalahan dalam mendidik, terjadinya broken home atau KDRT membuat mental anak terganggu. Atau terjadi pelecehan terhadap anak di lingkungan keluarga atau lingkungan rumah acapkali menimbulkan trauma yang menyebabkan mental illness. 

kehidupan sosial yang semakin hedonis yang memandang kebahagiaan tertinggi dengan memiliki banyak materi, karier yang mantap, sukses dalam masalah percintaan dan sebagainya. Kapitalisme membuat hidup serba mahal, serba harus mengeluarkan uang,  akhirnya semua harus dihitung dengan uang. 

Kehidupan hedonis kapitalis inilah yang menjerat manusia dalam bingkai sistem sekuler (pemisahan kehidupan agama dengan dunia). Masyarakat saat ini berlomba-lomba untuk menampakan kebahagiaannya entah di dunia nyata maupun media sosial, pamer kekayaan, kecantikan, kegantengan, karier yang menjulang dan kemesraan. Kehidupan hedonis semacam ini akhirnya dianggap lumrah, wajar dan menjadi acuan hidup. 

Semakin sering melihat flexing, semakin pikirannya teracuni. Tanpa disadari terus sibuk membandingkan pencapaian dirinya dengan orang lain, maka ia akan merasa gagal memenuhi ekspektasi entah dari keluarganya, dirinya sendiri, ataupun kehidupan sosialnya. Semakin merasa insecure, hancur, dan merasa dunia ini begitu kejam. Apalagi ketika melihat konten percintaan yang romantis dan membandingkan kisah percintaan dirinya yang kandas, patah hati lalu menggantung diri. 

Kurikulum pendidikan ternyata juga turut andil dalam menciptakan mental illness, pelajaran agama menjadi sekedar transfer ilmu sehingga minimnya pemahaman agama yang tertancap pada anak didik, bullyan antar siswa menjadi makanan sehari-hari padahal efek dari bully sangat mengerikan terbawa hingga dewasa. 

Islam Mensolusi 

"Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta hartamu." (QS: Muhammad: 36) 

Senantiasa kita harus ingat bahwa hidup hanya sebentar, dalam nasehat Jawa disebutkan bahwa hidup hanya mampir ngombe - mampir minum. Kesuksesan, kebahagiaan, kekayaan, kemesraan hanyalah sementara. 

Islam memiliki pandangan yang khas tentang kehidupan, kebahagian dan tujuan hidup. Islam memandang bahwa hidup adalah ladang mencari pahala, sehingga kebahagiaan hidup bukan semata-mata mendapatkan materi sebanyak-banyaknya namun ketika aktivitas kita diridai oleh Allah, dari sini akan jelas tujuan hidup kita di dunia adalah untuk mencari amal sebanyak-banyaknya. 

Ketika sudah memahami tujuan hidup maka kita sudah bisa menempatkan posisi kita. Jika sebagai orang tua, maka kita bisa bersikap dan bertindak sebagai orangtua yang terus belajar menjadi panutan dan mendidik anak yang salih dan salihah. Jika sebagai anak, maka kita harus menjadi anak yang menyejukan orangtua, sebagai penolong orangtua di akhirat kelak. 

Ketika kita sudah sangat gamblang memahami kehidupan, kebahagiaan dan tujuan hidup maka kita tidak akan memandang gaya hidup flexing adalah sumber kebahagiaan dan tujuan hidup yang harus dikejar. Malah kita akan disibukan dalam mengkaji Islam, dan menyebarkan Islam untuk bekal di akhirat. 

Solusi Islam tidak melulu soal pribadi individu, namun Islam mengatur masalah di luar individu. Islam mengatur masalah pergaulan, tidak diperbolehkan memamerkan kemesraan di depan umum meskipun suami istri, pelarangan ikhtilat dn khalawat tujuannya mencegah kemaksiatan, apalagi zina sehingga tidak akan timbul niat bunuh diri karena putus cinta. 

Islam tidak menerapkan kapitalisme, di dalam Islam negara berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan, masyarakat tidak perlu tertekan dengan biaya hidup mahal, tidak perlu takut tidak bisa bekerja karena lapangan pekerjaan merupakan tugas negara yang harus dibuka secara lebar sehingga masyarakat tidak akan bunuh diri karena masalah ekonomi. 

Kurikulum pendidikan pun berbasis akidah sehingga anak didik tak hanya pandai urusan dunia tapi juga teguh dengan dalam ajaran agama hal ini menjadi benteng kuat untuk mencegah seseorang untuk bunuh diri. 

Karena Islam mempunyi sistem yang sangat lengkap dan harus diterapkan secara kaffah agar terpancar keagungan Islam rahmatan lil 'alamin. [Rn]

Baca juga:

0 Comments: