Headlines
Loading...
Oleh. R. Raraswati 

Siapa ingin bahagia? Semua pasti berharap bahagia. Banyak cara untuk bahagia, karena berbagai macam orang mendefinisikannya. Ada yang menganggap bahagia ketika memiliki banyak harta, hidup mewah, semua terpenuhi, maka ia akan berusaha meraihnya dengan mengumpulkan harta. Sebagian merasa bahagia saat memiliki karir bagus, jabatan tinggi, kekuasaan, sehingga mereka bekerja keras untuk mendapatkannya meski dengan mengeluarkan banyak biaya. Namun ada juga merasa bahagia ketika berkumpul dengan keluarga, apa pun kondisinya. Kalau kamu, apa sih bahagia itu? 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahagia merupakan keadaan atau perasaan senang, tenteram (bebas dari semua yang menyusahkan). Nah, pernahkah kamu mengalami kesulitan atau kesusahan yang bertubi-tubi? Misalnya, ketika berangkat kajian, tiba-tiba ban motor gembos. Tidak ada bengkel atau tukang tambal ban yang dekat sehingga harus berjalan jauh. Saat ketemu bengkel, ternyata sudah tutup, maka harus berjalan lagi mencari bengkel lain. Saat ada bengkel ternyata orangnya masih keluar, hanya ada keluarga yang menjaga dan meminta kamu untuk menunggu. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya tukang tambal ban datang, mulai dibuka, dilihat, dan ternyata ban sudah robek panjang sehingga harus ganti yang baru. Tentu saja, harus mengeluarkan uang lebih banyak dari sekadar tambal ban. Ketika membuka dompet, hanya ada beberapa lembar uang lima ribuan dan receh. Begitu dihitung, alhamdulillah ternyata cukup untuk ganti ban, bahkan ada sisa receh lima ratusan sebanyak tiga ribu rupiah. Dalam kondisi seperti ini, ada orang yang merasa susah, berat sehingga mengeluh berkepanjangan. Saat dorong motor, mengeluh karena berat dan capek. Saat sampai di bengkel yang tutup, mengeluh kecewa karena harus berjalan lagi mencari yang lain. Saat ketemu bengkel yang buka, ternyata harus menunggu lama, dan seterusnya. Semua dihadapi dengan mengeluh, kesal, menggerutu bahkan bisa jadi menyalahkan kajian yang akan didatangi. Astagfirullah…, tentu semua keluhan itu menjadikan seseorang tidak bahagia. 

Sejatinya seseorang bisa bahagia dalam segala kondisi. Orang yang dapat mengambil hikmah dari setiap kejadian akan lebih sabar, tenang, bersyukur, dan akhirnya merasa bahagia. Siapa pun yang beriman kepada Allah akan berbaik sangka terhadap ketetapan-Nya. Ia yakin akan pertolongan Allah dan memberikan kebahagiaan. Sebagaimana firman Allah dalam surah Hud ayat 105 yang artinya: “Di kala datang suatu hari, tidak ada seorangpun yang berbicara, selain dengan izin-Nya, maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.”

Dari ayat tersebut kita harus percaya Allah akan memberikan kebahagiaan di saat tidak ada pertolongan selain Dia. Maka berprasangka baik atas ketetapan Allah adalah satu kunci untuk meraih bahagia. Hal ini sebagaimana sebuah hadis dari Abu Hurairah ra., Rasulullah bersabda yang artinya: “Allah berfirman: ‘Aku selalu menuruti prasangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Apabila berprasangka baik, maka ia akan mendapatkan kebaikan. Adapun bila ia berprasangka buruk kepada-Ku, maka ia akan mendapatkan keburukan’,” (HR. Tabrani dan Ibnu Hibban).

Dengan berbaik sangka kepada Allah, kita akan mendapatkan rida-Nya. Saat Allah rida terhadap kehidupan kita itulah bahagia yang hakiki bisa kita rasakan. Jadi, yakin dan berbaik sangkalah terhadap ketetapan Allah, maka bahagia akan kita raih. Mudahkan?
Wallahualam bissawab. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: