Headlines
Loading...
Oleh. Puspita Ningtiyas

Ada seorang pejabat yang mengeluhkan dirinya  tidak kunjung mendapatkan kebahagiaan walaupun sudah memiliki pangkat yang tinggi. 

Ada seorang kaya raya  yang merasa gelisah dengan harta berlimpah, padahal harusnya ia bahagia.

Ada seorang pegiat dunia hiburan yang terjerat ke dalam kubangan narkoba dan pergaulan bebas sebagai pengalihan dari padatnya dunia kerja dan berharap mendapatkan kebahagiaan dari sana. 

Setiap orang berharap bahagia dalam hidupnya. Dan setiap orang bekerja keras serta rela mengorbankan apa saja demi mendapatkan kebahagiaan itu. Namun ternyata tidak semuanya mendapatkan rasa bahagia. Bahkan kebanyakan  justru latah mengulang cara yang sama demi mendapatkan kebahagiaan semu, meskipun harus menempuh jalan yang hina.

Tahukah kita, bahwa manusia tidak akan  bahagia dengan hanya berfokus pada kebutuhan jasadiyah ( jasmani ). Harta, kedudukan, dan pencapaian dunia lainnya, selamanya tidak akan mampu membuatnya bahagia. Seorang ilmuwan asal Amerika Abraham Maslow lewat teorinya Hirarki Kebutuhan, menyampaikan bahwa kebutuhan manusia memang tidak akan pernah ada habisnya. Seperti ia ingin menyampaikan bahwa mustahil membuat manusia bahagia dengan mengejar dunia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Terlepas dari kesalahan konsep tentang kebutuhan yang dibawanya, ada benang merah yang bisa ditarik ke dalam realita hari ini, bahwa memang banyak manusia salah faham tentang bagaimana mengejar kebahagiaan yang sebenar benarnya.

Bahagia itu terletak pada aspek ruhiyah. Bukan pada fisiknya benda, tapi pada posisi iman kita di dada. Bukan pada pencapaian dunia, tapi pada seberapa usaha kita mengejar rida-Nya. Karena itulah kita jumpai seorang yang sakit tapi punya semangat membara dibandingkan yang kuat dan sehat. Kita juga bisa jumpai orang tak punya, tapi senyumnya merekah mengulurkan tangannya berbagi kepada yang membutuhkan. Kita bisa jumpai, orang yang kesusahan dalam hidupnya, mereka tak patah arang, bahkan bisa hidup bahagia dengan apa adanya, melebihi orang lain yang merasa berkecukupan. Merekalah orang-orang yang paling bahagia.

Bahagia itu dirasa bukan diindera. Untuk menambatkan rasa itu di dalam diri kita, fahami apa yang paling dibutuhkan oleh manusia. Bukan butuh akan dunia, karena ia persinggahan sementara. Bukan juga butuh akan pengakuan manusia karena prestasi hanya wasilah mencapai bahagia setelah dunia. Yang dibutuhkan manusia adalah dekat dengan Rabb-nya.

Dunia seperti bercandaan dan senda gurau, cobaan adalah pretest sebelum perhitungan amal di Yaumil Mahsyar. Maka jadikan sabar sebagai penghalang putus asa. Jadikan syukur sebagai penahan tetapnya bahagia di dada. Semakin mendekat dengan Allah Swt. agar tidak ada lagi rasa was was dan rasa sedih, tersisa rasa bahagia di segala suasana.

"....tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (TQS. Yunus :62)

[Ys]

Baca juga:

0 Comments: