Headlines
Loading...
Oleh. Maya Dhita E.P., ST
(Pegiat Literasi)

Firli Bahuri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengatakan bahwa tiga tahun terakhir KPK berhasil menangkap dan menahan kurang lebih 513 orang tersangka korupsi. Menurutnya, hal ini adalah bukti keseriusan KPK dalam memberantas korupsi (Sumbar pikiran-rakyat, 10/11/2023).

Merespon fakta di atas, apakah kita harus bangga atas pencapaian yang diraih? Tentu tidak, karena jumlah koruptor yang sangat banyak itu menunjukkan bobroknya kondisi negeri ini. Bahkan satuan lembaga anti korupsi pun tidak mampu mencegah para pelaku korupsi.

Di negara dengan sistem sekuler kapitalis demokrasi, akan sulit menghapus korupsi karena jiwa-jiwa kapitalisme sangat rakus akan harta dan kekuasaan. Segala cara akan ditempuh untuk mendapatkan keduanya. Bahkan cara haram sekalipun. 

Sistem demokrasi juga berbiaya tinggi dan sarat kepentingan oligarki. Mereka yang menginginkan duduk di pemerintahan harus memiliki banyak uang untuk memuluskan jalan menuju kursi jabatan. Maka mereka pun menggandeng para pengusaha kelas kakap dengan iming-iming kebijakan saat nantinya berhasil menjabat sebagai ucapan terimakasih. Tak hanya kebijakan, para pejabat ini juga harus mengembalikan sejumlah besar modal yang habis untuk biaya kampanye. Dari mana uangnya? Tentulah dari rakyat melalui anggaran proyek-proyek besar.  

Tidak adanya kontrol agama makin memperparah kondisi dalam negeri. Maka tidak heran jika negara-negara penganut sistem ini tidak ada yang sejahtera rakyatnya. Pejabat dan pengusaha makin kaya karena mereka lebih fokus pada kepentingan pribadi dan partai, rakyat makin merana karena dipaksa berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Korupsi di negara ini juga terjadi karena peraturan dan hukum yang dibuat oleh petinggi-petinggi negeri terdiri dari pasal-pasal karet yang bisa ditarik ulur sesuai kepentingan yang berwenang. Pasal-pasal ambigu inilah yang menyebabkan kekacauan dan ketidakadilan hukum. Hukum berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan uang. Tidak ada efek jera dan menjerakan karena hukum yang tidak bertaring.

Jelas permasalahan korupsi ini bukanlah sekadar kasuistik. Korupsi adalah masalah sistemis yang harus ditangani dari akar permasalahannya. Untuk mengatasinya tidak hanya melalui hukuman yang menjerakan saja, tetapi diperlukan perubahan secara sistemis yaitu penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Untuk itu diperlukan penanaman akidah Islam yang kuat kepada seluruh rakyat. Hal ini akan membentuk pribadi muslim yang takut pada Penciptanya. 

Islam menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan. Kebahagiaan diukur bukan dari banyaknya harta atau tingginya jabatan. Parameter tertinggi kebahagiaan adalah diraihnya keridaan Allah Swt.

Sedangkan korupsi sendiri adalah perbuatan khianat, dimana seseorang melakukan penggelapan atas harta yang telah diamanatkan kepadanya. Jadi bukan termasuk dalam pencurian yang dihukum dengan potong tangan, melainkan sanksinya berupa takzir. Takzir adalah sanksi yang jenis dan beratnya ditentukan oleh hakim sesuai dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan. 

Dalil haramnya korupsi adalah sebagai berikut: 

"Siapa yang berbuat ghulul, niscaya pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang diselewengkannya itu.” (TQS. Ali Imran: 161)

Dari Mu’adz bin Jabal ra., ia berkata, “Rasulullah mengutus saya ke Yaman. Ketika saya baru berangkat, beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil saya kembali. Maka saya pun kembali dan beliau saw. berkata, ‘Apakah engkau tahu aku mengirimmu orang untuk kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena itu adalah ghulul. Dan barang siapa berlaku ghulul, maka ia akan membawa barang yang digelapkan (dikorupsi) itu pada hari kiamat. Untuk itulah aku memanggilmu. Sekarang berangkatlah untuk tugasmu." (HR. Tirmidzi).

Begitulah Islam yang adil dalam menyelesaikan segala permasalahan kehidupan manusia. Termasuk dalam memberantas korupsi. Manusia dikuatkan akidahnya agar tidak berani melakukan hal yang diharamkan Allah. Diberikan sanksi yang menjerakan sebagai penebusan dosa sekaligus menghalangi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Juga adanya kontrol masyarakat sebagai perwujudan amal makruf nahi mungkar, juga membentuk lingkungan yang Islami. Sehingga generasi yang tumbuh dari lingkungan ini adalah generasi islami anti korupsi.

Wallahualam bissawab. [An]

Baca juga:

0 Comments: