Headlines
Loading...
Oleh. Noviana Irawaty 

Hai bestie, kapan nih kamu terakhir merasa paling bahagia?
Hemm emang sih standar bahagia buat tiap orang itu beda-beda, ya. 
Tapi yang jelas, bahagia itu bukan kata-kata yang bebas nilai. Dia terikat dengan cara kamu memaknai kehidupan. Seorang muslim akan merasa bahagia saat dia hidup dalam habitat Islamnya. Hayuk deh kita pakai contoh kasus aja biar ‘clear’ memahaminya ya.

Bagi dua orang sejoli yang memadu kasih, masing-masing bakal berdebar-debar menantikan perjumpaan dengan si dia. Habis gitu, pasti bahagia banget saat bisa jumpa dan berkumpul penuh ceria dengan si doi, bener apa bener?

Yes, pastinya donk ya.
Namun bagi seorang muslim, ternyata Allah telah mengatur interaksi kasih sayang tersebut. Pemenuhannya agar halal dan penuh berkah, satu-satunya jalan hanya melalui gerbang pernikahan. Tak boleh pintu lainnya.

Jadi seorang pria apabila sudah menemukan tambatan hatinya, dia bakal menantikan momen sakral kapan bisa menyunting wanita idamannya. Bersanding di pelaminan lalu memadu kasih atas nama Allah. Rasanya dunia ini hanya milik berdua. Tak mau berbagi dengan orang lain.

Tapi sampai kapan kebahagiaan itu dinikmati? Satu tahun, dua tahun, sepuluh tahun, atau puluhan tahun? Hemm, rata-rata sih, lima tahun pertama adalah saat paling berat atau kritis sebuah rumah tangga berjalan. Kebiasaan, karakter, seluruh sifat pasangan bakal terkuak sempurna, bagaikan cermin tanpa penutup. 

Pasta gigi yang dibiarkan terbuka. Gayung yang dibiarkan terendam dalam bak air. Lempar handuk bekas pakai ke atas kasur. Masakan yang kurang sedap. Jarang mandi. Rada jorok. Suka ngupil, dll. Semua itu mungkin bukan masalah bagi si doi ya, tapi bakal terjadi perang dunia kalau pasangan tak suka. Suami istri yang kaku, tak saling peka, sulit menerima, dan mau dikoreksi satu sama lain. 

Nah, di sinilah ilmu agama dan komunikasi berperan penting. Bahagia membangun mahligai rumah tangga itu tak cuma sehidup semati, tapi harus punya visi sehidup sesurga. Bagaimana seorang suami bisa menjadi imam yang baik dan memimpin keluarga. Ia akan merangkul, membina istri dan anak-anaknya ke dalam surga. Dan bagaimana istri bisa menjadi seorang ratu sekaligus manager rumah tangga. Mendidik anak-anak penuh kasih sayang dengan pondasi akidah yang kokoh.

Bagaimana dengan kalian, Bestie? Pemuda calon pemimpin dunia. Yuk, jangan terlena dengan gemerlap dunia. Merasa bahagia hanya bila terpenuhi materi, harta, jabatan, kesenangan hidup. Mari bangkit, siapkan diri meraih kebahagiaan hakiki. Pelajari ilmu agama secara intensif. Luangkan waktu. Mengaji rutin setiap pekan, dibimbing ustaz/ah yang benar dan lurus pemahaman agamanya.

Beramal untuk kehidupan akhirat. Karena hidup hanya sekejap. Usia 60 tahun itu bukanlah masa yang lama. Mari kita bandingkan dengan saat kiamat tiba. Ratusan, ribuan, jutaan, bahkan triliunan tahun kita akan hidup di akhirat. MasyaAllah lama sekali kan, hingga Allah sebut abadi. Lalu, apa guna hidup di dunia jika sengsara hidup di akhirat, setuju?

Oleh karena itu, yuk berbenah. Lakukan ini. Pertama, muhasabah (koreksi diri), insyaf, lalu hijrah total ke jalan Allah. 

Kedua, memahami bahagia itu berkumpul dengan kekasih tercinta. Dalam Islam, kekasih utama dan pertama yang amat dicintai adalah Allah dan Rasulullah, maka dia akan taat dan beramal sesuai perintah dan larangan-Nya (lihat TQS. Ali Imran ayat 31—32).

Dan dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda:
لاَ ÙŠُؤْÙ…ِÙ†ُ Ø£َØ­َدُÙƒُÙ…ْ Ø­َتَّÙ‰ Ø£َÙƒُÙˆْÙ†َ Ø£َØ­َبَّ Ø¥ِÙ„َÙŠْÙ‡ِ Ù…ِÙ†ْ ÙˆَالِدِÙ‡ِ ÙˆَÙˆَÙ„َدِÙ‡ِ Ùˆَالنَّاسِ Ø£َجْÙ…َعِÙŠْÙ†َ

"Tidaklah beriman seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Sehingga urutan kekasih setelah Allah dan Rasulullah bagi seorang suami adalah orang tua, baru istri dan anak, lalu kaum muslimin. Sedangkan bagi seorang istri, ketaatan dan bakti tertinggi kedudukannya diserahkan kepada Allah dan Rasulullah, baru kepada suami, setelah itu kepada kedua orang tuanya.

Ketiga, Islam yang melekat akan mendorong diri bergerak menyebarkan kebaikan dan kebenaran Islam. Maka jadilah pemuda yang mengajak sebanyak mungkin orang untuk juga berpikir, merasakan, dan menjadikan Islam sebagai way of life, solusi segala permasalahan hidup. 

Niscaya, kebahagiaan hakiki akan kau raih. Walau dunia serasa milik berdua, namun dia takkan lupa berbagi kebahagiaan dengan saudaranya. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: