Oleh. Choirin Fitri
Nyatanya bahagia hanyalah ilusi. Kala diri kita bergelimang dalam halusinasi. Lalu, menyatakan bahwa bahagia itu hanya kala kita punya banyak konsumsi. Atau, mungkin ketika kita bisa healing, rekreasi. Bahkan, saat kita banyak berinvestasi. Ditambah lagi dengan beragam jabatan eksistensi. Sampai-sampai kita menganggap tanpa semua itu, bahagia hanyalah basa-basi.
Aneh bin ajaib memang jika tolok ukur bahagia hanyalah materi. Harta, jabatan, ketenaran, dan segala hal berbau materi terus diburu, dicari. Tak mau ambil pusing jika jalan haram diambil, korupsi ataupun mencuri. Akhirnya, lupa diri. Ujung-ujungnya kehilangan sanubari. Apa iya ini yang disebut bahagia yang dicari?
Lalu, seperti apa itu bahagia? Apakah saat kita terkenal dan menjadi pesohor di berbagai media? Ataukah, saat hidup kita penuh suka ria? Ataukah, kala kita punya pasangan hidup yang setia? Ataukah, ketika kita hidup dalam kegemilangan berbagai uforia?
Ah ternyata, semua itu hanya ilusi bahagia semu. Ada banyak pesohor dengan tampang oke, harta berlimpah, hidupnya tampak suka ria, dan membuat baper banyak mata, terkenal seantero dunia, eh bunuh diri karena merasa hidup jemu. Hidup mereka sia-sia karena makna bahagia sejati tak ketemu. Sepertinya mereka pun kurang ilmu.
Lalu, kebahagiaan yang bukan ilusi itu seperti apa? Apakah saat tak ada kata nestapa? Ataukah, ketika kita tak merasakan hampa? Ataukah, saat ujian hidup tak pernah menerpa?
Dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda,
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam datang dalam keadaan asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntunglah (berbahagialah) orang yang terasing” (HR. Muslim no. 145).
Saat inilah Islam kembali terasing. Saat agama hanya jadi branding. Atau hanya sekadar pemanis bibir, lipsing. Pengisi kolom KTP agar ketika ditanya, agamamu apa, tidak pusing. Anehnya, ketika disampaikan Islam kafah pura-pura pontang panting.
Astaghfirullah, sungguh keterlaluan memang sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Mereka anggap aturan Allah hanyalah penghalang masa depan. Atau, hanyalah masa lalu yang hanya jadi ungkapan. Tak layak jadi pedoman, cukup disimpan.
Sungguh, mengerikan ide rusak ini jika terus menggerogoti diri seorang muslim. Harusnya ia menjadi alim. Mengenal bahagia hakiki dengan taklim. Ia pun bisa bergelar orang yang berilmu, mualim. Paham agama Islam sebagai agama selamat, salim.
Bagi seorang muslim, bahagia hakiki itu ketika rida Allah digenggam penuh arti. Mengupayakan segenap daya dan upaya agar senantiasa berbakti. Iman, amal, takwa sebagai bukti. Langkah kakinya untuk mendakwahkan Islam tak pernah berhenti. Hingga, kata finish dari Sang Pencipta diketok dan ia pun berkalang mati. Sudahkah hal ini tertanam dalam hati?
[Ma]
0 Comments: