Headlines
Loading...
Oleh. Azrina Fauziah S.Pt

Bagai ayam mati di lumbung padi, pepatah ini sangat mewakili kondisi rakyat Papua yang belakangan dikabarkan mengalami bencana kelaparan. Dikutip dari Republika.co.id, Sebanyak 24 orang warga Distrik Amuma, Yahukimo, Papua Pegunungan dikabarkan meninggal akibat bencana kelaparan (25-10-2023).

Kasus kematian akibat kelaparan ini bukan yang pertama di Papua, bulan Agustus lalu dikabarkan sekitar 6 orang warga Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah meninggal akibat kelaparan. Bencana kelaparan tersebut dipicu oleh cuaca ekstrem yang kemudian mengakibatkan gagal panen. 

Kasus kelaparan tahun demi tahun selalu berulang. Databoks telah menghimpun data dari 2005 hingga 2023 dari berbagai sumber, tercatat kematian tertinggi terjadi pada 2009 yang diestimasikan mencapai 29 orang di Yahukimo (katadata.co.id/27-10-2023).

Sungguh ironi, kelaparan melanda Indonesia timur. Negeri yang sangat berlimpah kekayaan sumber daya alam, kondisi rakyatnya justru mengalami kelaparan. 

Apa yang sebenarnya terjadi? 

Bencana kelaparan tersebut terjadi akibat cuaca ekstrem yakni hujan yang turun selama tiga bulan berturut-turut. Akibatnya masyarakat Papua mengalami gagal panen dan kehabisan stok pangan.

Menurut Mulyadi, pengamat pertanian di Universitas Papua terdapat faktor alam dan non alam. Faktor alam berupa embun beku di Kabupaten Puncak dan hujan deras di Yakuhimo. 

Sedang faktor non alam dipengaruhi manusia yakni pertama, karna sistem pertanian Papua yang tidak berkelanjutan. Sistem pertanian mereka masih mengandalkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari bukan untuk jangka panjang. 

Kedua, posisi kesehatan masyarakat Papua masih sangat lemah. Saat terjadi kekurangan stok pangan akan berpotensi menimbulkan kelaparan yang berujung kepada kematian. 
 
Ketiga, terbentuknya daerah otonomi baru (DOB) yang meliputi Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan. Provinsi baru tersebut menyebabkan sumber daya pemerintah lebih fokus pada pembangunan infrastruktur daerah dan teralihkan dari problem ketahanan pangan (bbc.com/27-10-2023). 

Tanggung jawab siapa? 

Berkaitan dengan masalah tersebut, pemerintah condong saling lempar tanggung jawab. Hal ini tercermin dari sikap pemerintah daerah terkesan menutup-nutupi kasus tersebut dari publik dengan dalih belum ada bukti. 

Pernyataan tersebut juga disampaikan pemerintah pusat melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendi yang engan segera menyimpulkan penyebab kematian warga di Yahukimo adalah akibat bencana kelaparan. Ia mengungkapkan bahwa pemerintah daerah belum miliki bukti bahwa masyarakat Yahukimo meninggal akibat kelaparan (tirto.id/1-11-2023).

Sungguh sangat disayangkan, Papua sebagai tanah kaya akan sumber daya alam justru mengalami bencana kelaparan. Alih-alih segera menuntaskan akar masalah, pemerintah justru abai dan bertele-tele dalam menyatakan kasus kematian. 

Sejatinya dalam kasus ini terdapat adanya kesalahan tata kelola wilayah, seperti memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang meliputi jalan tol, gedung perkantoran pemerintah baru dan sebagainya. Memang betul, jika rakyat Papua membutuhkan infrastruktur namun yang benar-benar mereka butuhkan adalah infrastruktur yang memudahkan akses layanan publik seperti layanan kesehatan. Bukan infrastruktur yang memudahkan kepentingan segelintir orang. Bukan menjadi rahasia, Papua merupakan daerah yang jauh tertinggal dari akses pendidikan, kesehatan maupun transportasi.

Selain itu terdapat kesalahan pengelolaan sumber daya alam. Papua merupakan tanah yang kaya akan bahan tambang seperti emas, tembaga, perak, besi, batu bara, minyak bumi,  dan gas alam. 

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, Indonesia memiliki tambang emas seluas 1.181.071,52 hektare (ha). Tambang tersebut tersebar dalam 25 provinsi. Sedangkan Papua sendiri memiliki tambang seluas 229.893,75 ha dan merupakan tambang terbesar di Indonesia. 

Sayangnya kekayaann Papua diprivatisasi oleh asing. Potensi besarnya justru diambil untuk keuntungan negeri lain. Mereka hidup dalam bayang-bayang kemiskinan dan kelaparan yang berstruktural. Hal ini yang kemudian menjadi alasan terbesar betapa sulitnya mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Papua. 

Islam mewujudkan kesejahteraan 

Amat sangat polos, jika mengkambing hitamkan cuaca ekstrem. Nyatanya ada beragam faktor yang menyebabkan Papua kelaparan. Inilah efek dari penerapan sistem kapitalisme. Dimana pendistribusian kekayaan hanya berputar pada pemilik modal. Juga adanya ketidakseriusan penguasa dalam menangani problem kelaparan yang terus berulang.  

Ini sangat berbeda dengan cara pandang Islam. Rasulullah saw bersabda, Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Ahmad).

Maka khalifah wajib mencari solusi dalam penanganan problem kelaparan tersebut. Teknisnya yakni dengan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat Papua dalam hal ini terjangkaunya sandang, pangan dan papan. Hal ini pernah dicontohkan Khalifah Umar bin Khathab, saat itu ia sedang berkeliling melihat kondisi rakyatnya. Ia menemukan seorang ibu dan anaknya sedang kelaparan lalu ia berinisiatif membawakan sekarung gandum yang dibopong sendiri dari Baitul mal. Semua ini merupakan wujud keseriusan pemimpin dalam mengurusi rakyatnya. 

Negara juga wajib mengelola sendiri sumber daya alam untuk kepentingan rakyat. Negara haram memberikan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak swasta. Sebab sumber daya alam merupakan hak milik umum. Sehingga kekayaan alam Papua dikelola negara kemudian hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat seperti layanan pendidikan, kesehatan maupun transportasi. 

Terakhir, negara dapat melakukan pengembangan IPTEK pertanian agar mampu memenuhi pangan dalam negeri secara mandiri. Wallahualam. [Ys]

Baca juga:

0 Comments: