Headlines
Loading...
Oleh. Yulweri Vovi Safitria
(Freelance Writer)

Sebagaimana dikutip dari laman detik.com (21-10-2023), setiap 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Peringatan hari santri ini didasari oleh beberapa hal, yakni adanya peran santri dan ulama dalam merebut kemerdekaan, untuk mengenang dan meneladani perjuangan para santri dan ulama dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta merujuk kepada resolusi jihad yang dicetuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Pemerintah beralasan, dengan peringatan hari santri, perjuangan serta peran ulama dan santri dapat terus dikenang dan diteladani oleh generasi.

Tipu Daya Kapitalisme

Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah negeri dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Maka tidak heran keberadaan sejumlah pesantren sebagai tempat menimba ilmu bagi putra-putri kaum muslim tersebar mulai dari Aceh hingga Papua. Pesantren menjadi satu-satunya pilihan orang tua untuk mendidik anak-anak menjadi generasi salih dan salihah, beriman dan bertakwa, dan sekaligus mempelajari ilmu teknologi dan sains. 

Bahkan disebutkan, jumlah pesantren di Indonesia yang terdaftar di Kemenag sebanyak 36.600, dengan jumlah santri yang aktif sebanyak 3,4 juta dan jumlah tenaga pengajar (kiai atau ustaz) sebanyak 370 ribu. (Kemenag.go.id, 5/4/2022). Kondisi tersebut menjadi pangsa pasar yang menggiurkan bagi kaum kapital. Oleh karenanya, seiring masifnya proyek moderasi beragama dan terjadinya pembajakan pada potensi santri mengakibatkan arah perjuangan santri sebagai generasi penerus para nabi bergeser menjadi pendongkrak gerakan ekonomi.

Padahal dahulu, dengan prinsip yang teguh, kiai dan santri gigih melawan penjajah. Mandiri tanpa dibayang-bayangi orang-orang yang berseberangan dengan Islam, kaum munafik, dan orang-orang kafir. Kiai dan santri memilih berdagang guna membangun basis-basis ekonomi umat, tidak menimba ilmu di sekolah milik kaum penjajah, alhasil perjuangannya murni sepenuh jiwa raga untuk mengusir para penjajah.

Namun, hari ini, di tengah derasnya arus moderasi beragama, isu radikalisme, dan proyek deradikalisasi, pesantren kehilangan orientasinya untuk mencetak generasi berakidah Islam, berakhlak mulia, dan bervisi Islam. Sebagian pesantren justru menjadi tumpuan pergerakan ekonomi umat. Hal ini tidak lepas dari sistem kapitalisme yang terus saja dipertahankan untuk mengatur kehidupan. 

Tidak hanya itu, pesantren terus didukung dengan berbagai program kemandirian. Salah satunya adalah Santripreneur Indonesia sebagai gerakan pengembangan wirausaha santri untuk menciptakan wirausahawan tangguh, yakni leadership, entrepreneurship, dan digital marketing. Sekilas memang tampak menarik karena anak-anak dididik mandiri dan belajar kepemimpinan, tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masyarakat secara umum. Namun, benarkah demikian?

Mengalihkan Potensi Santri

Jika dicermati, masifnya program pemberdayaan ekonomi santri di lingkungan pesantren sejatinya sedang mengalihkan potensi santri dari peran hakiki mereka. Pesantren yang merupakan wadah pencetak generasi pejuang sehingga mampu mengubah peradaban hari ini menjadi peradaban gemilang, justru didorong aktif di luar peran mulia yang mereka emban. Padahal tugas pemberdayaan ekonomi santri bahkan ekonomi nasional adalah tanggung jawab negara. Lantas, apa alasan melimpahkan wewenang tersebut kepada kalangan pesantren?

Jika alasan membangkitkan ekonomi yang memburuk akibat pandemi, lalu melibatkan pesantren dan dunia pendidikan, maka tentu bukanlah solusi dalam menyelesaikan problem ekonomi hari ini. Sebab, selama sistem ekonomi kapitalisme sekuler yang diterapkan, maka selama itu pula pemberdayaan ekomoni adalah sebuah keniscayaan. Kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan yang dicita-citakan hanyalah sebuah khayalan karena aturan yang diterapkan menyalahi fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.

Mengembalikan Tupoksi Santri

Islam bukan hanya sekadar agama, tetapi sebuah ideologi yang darinya lahir berbagai aturan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam hal ekonomi, Islam mengenalkan konsep kepemilikan terkait SDA (Sumber Daya Alam) dan segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan tidak boleh dikuasai oleh individu ataupun korporasi. Harta milik umum dilarang diprivatisasi, tetapi dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab memperbaiki ekonomi umat. Jika pun ingin mengejar pertumbuhan ekonomi nasional, negara akan berupaya mengelola sumber-sumber ekonomi, seperti industri, pertanian, perdagangan. Oleh karenanya, negara tidak perlu membebani dunia pendidikan atau pesantren yang akan menyalahi tupoksi utamanya sebagai pencetak generasi pejuang, berakidah Islam, dan bersyahsiah Islam.

Santri dan segala potensi yang dimilikinya adalah bagian dari generasi muslim dan aset milik umat. Mereka harus dididik berdasarkan pendidikan Islam, tanpa melibatkannya pada hal-hal yang bersifat duniawi sehingga menjauhkannya dari perjuangan hakiki seorang santri. Ibarat sumber mata air, santri memiliki kewajiban dalam perjuangan mengajak umat meninggalkan kemaksiatan menuju ketaatan total kepada Allah Swt..

Sebagaimana yang ditulis K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya "Adabul ‘Alim wal Muta’alim" menerangkan bahwa penuntut ilmu maupun pendidik haruslah senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Swt. dalam setiap kondisi, takut akan murka Allah Swt., berpedoman pada hukum Allah Swt. dalam setiap hal, menghidupkan syiar dan menjalan syariat Islam, memperjuangkan kemashlahatan umat Islam.

Dengan demikian, maka penting mengembalikan peran santri dan pesantren untuk perjuangan menerapkan aturan Islam dalam kehidupan. Sebab, pemberdayaan santri pada hakikatnya adalah mengembalikan peran mereka sebagai generasi pejuang, menjadi garda terdepan guna membangkitkan pemikiran umat menuju kebangkitan Islam. Wallahu a’lam. [ry].

Baca juga:

0 Comments: