Headlines
Loading...
Oleh. Ana Mujianah 

Hampir satu jam, Riri mematut diri di depan cermin. Dari kerudung warna pink hingga hitam semua digelar di kasur. Mulai model kerudung dililit sampai menjuntai ala Lesti Kejora pun dicoba. Masih juga belum ketemu model yang pas. Putar sana putar sini, sudah rapi dibongkar lagi. Begitu terus sedari tadi.

"Udah, udah cantik kok. Ayo buruan! Kajiannya bentar lagi dimulai, nih!" Syifa, teman kos Riri dari tadi bolak-balik menyamperi Riri di kamar.

"Bentar dulu," sahut Riri yang masih sibuk memasang bros bunga-bunga.

"Dandan lama amat sih, kayak mau ketemu calon mertua aja!" Syifa bersungut kesal. Pasalnya, sudah satu jam dia menunggu Riri. 

Riri memang sedang caper pada Rafa, ketua Rohis yang terkenal di kalangan siswi sebagai sosok yang kharismatik. Setiap kali disebut nama kakak kelasnya itu, Riri langsung salah tingkah. Kerudung sudah rapi, dirapikan lagi. Bedak masih tebal, dipoles lagi. Sebagai teman satu kamar, Syifa hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Riri.

Seperti pagi itu. Di sekolah Riri dan Syifa ada acara kajian peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Seluruh siswa dan siswi diwajibakan hadir. Selain kajian, ada berbagai lomba yang akan digelar. Di antaranya lomba tahfiz, kultum, dan kaligrafi. 

Riri tentu saja tak ingin ketinggalan untuk hadir agar bisa melihat idolanya. Meskipun Rafa tidak ikut lomba, sebagai ketua Rohis, Rafa pasti akan tampil memberi sambutan. Karena itulah, Riri dandan habis-habisan. Padahal, Rafa belum tentu akan melihat Riri.

"Syif, dandanku norak enggak sih?" tanya Riri sambil memutar-mutar tubuhnya. Syifa tak berkomentar apapun. Karena sudah terlalu lama menunggu, gadis itu langsung menyalakan motor matic-nya begitu melihat Riri berdiri di pintu gerbang kos.

"Ayo naik, sudah telat nih!" Syifa langsung memberikan helm kepada Riri. 

"Aduuh, gimana nih. Ntar kerudungku kusut!" protes Riri.

"Kalau takut kerudungnya rusak, ya udah naik angkot aja." Syifa tak memedulikan Riri yang bersungut-sungut sambil memasang helm.

***

Sesampainya di sekolah, acara Maulid sudah dimulai. Beruntung masih sambutan-sambutan. Syifa dan Riri belum ketinggalan materi kajian yang ditunggu-tunggu karena pematerinya seorang ustaz mualaf yang sangat semangat mempelajari Islam.

Berbeda dengan Syifa yang antusias menyimak kajian, Riri sudah mulai gelisah. Berganti-ganti posisi duduk. Celingak-celinguk menyapu seluruh ruangan seperti mencari seseorang sambil sesekali mengaca di layar HP.

"Kamu ngapain sih, Ri?" celetuk Syifa melihat teman sekelasnya gelisah.

"Kak Rafa nanti ngasih sambutan lagi nggak ya?" ucap Riri sambil bertopang dagu.

"Hhh ...." Syifa menepuk jidatnya mendengar jawaban Riri. Tadi waktu mereka sampai, Rafa memang sudah selesai memberikan sambutan. Padahal niat Riri datang kajian Maulid hanya ingin melihat Rafa. Duh, harus diluruskan nih niat Riri.

"Salah sendiri dandan lama banget," protes
Syifa membuat Riri makin cemberut. 

"Adek-adek yang hadir di sini, apakah semua cinta Nabi?" Terdengar pertanyaan retoris Ustaz Derry kepada para siswa dan siswi SMA Cemerlang. Syifa dan Riri segera menghentikan obrolan mereka. 

"Cintaaaa," jawab para siswa dan siswi serempak.

"Apa buktinya kalau cinta Nabi? Sudahkah menjadikan Nabi sebagai teladan?" Semua peserta yang hadir saling menoleh. Bingung memberikan jawaban.

"Adakah yang cinta Nabi tapi salatnya masih bolong-bolong? Adakah yang cinta Nabi tapi masih pacaran? Adakah yang cinta Nabi tapi ... masih galau cari perhatian Ketua Rohis?" Pertanyaan terakhir Ustaz Derry membuat Rafa salah tingkah. Sementara, para siswi berteriak histeris.

"Gimana nih, Akang Rafa kalau gadis-gadis pada galau karena pengen jadi pacar Kang Rafa?" Dengan logat Sunda, Ustaz Derry sengaja mengetes respon para siswi atas jawaban Rafa yang sudah dipersiapkan.

"Harus diluruskan lagi pemahamannya, bahwa dalam Islam tidak ada yang namanya pacaran. Alangkah rugi sekali kalau kita galau hanya mikirin hal mubah apalagi dilarang oleh Nabi kita." Ustaz Derry manggut-manggut.

"Kalau gitu gimana caranya biar nggak pada galau nih cewek-cewek mikirin Akang Rafa." Rafa berdehem, malu.

"Biar nggak galau, yuk teman-teman manfaatkan masa muda kita untuk berkarya, beramal saleh, dan yuk ngaji. Belajar Islam yang benar supaya tahu tujuan hidup kita sebenarnya untuk apa. Itu kalau dari Rafa, Ustaz. Mohon diluruskan kalau ada yang salah." Rafa menangkupkan kedua tangan dengan takzim.

"Hmm, bener, bener! Kalau sudah ngaji Islamnya kafah, nggak akan tuh galau mikirin pacar ya, Kang Rafa?" Rafa mengangguk sambil tersenyum melihat Ustaz Derry pura-pura berpikir. Sementara peserta yang hadir mulai kasak-kusuk.

"Tuh, dengerin! Jangan galau mulu, caper sama Akang Rafa. Yuk ngaji yang bener biar enggak resah dan gelisah." Syifa menyenggol bahu Riri yang tertunduk. Sepertinya Riri mulai berpikir serius. Memang benar, selama ini Riri susah kalau diajak kajian. Selalu cuek kalau Syifa mengingatkan. 

Akhirnya, Riri lebih banyak galau untuk hal yang tidak bermanfaat. Sering salah niat dan tujuan saat melakukan perbuatan. Seperti datang kajian hari itu, niat Riri bukan untuk mencari ilmu, tetapi hanya ingin ketemu Rafa ketua Rohis.

"Iya, iya! Besok Riri mulai ngaji yang bener. Lagian, Kak Rafa banyak yang naksir. Saingan Riri banyak," jawab Riri setengah hati. 

'Hmm, mulai lagi. Kak Rafa, Kak Rafa, dan Kak Rafa lagi!' batin Syifa sewot. Namun, sebagai teman yang baik Syifa berusaha menguatkan Riri agar istikamah memperbaiki niatnya ikut ngaji lillahi ta'ala, bukan karena manusia.

Seusai kajian, Riri tidak sibuk lagi caper pada Rafa. Langkahnya mantap ingin segera pulang dan meluruskan niat. 
[Cf]
TAMAT

Baca juga:

0 Comments: