Headlines
Loading...
Oleh. Indra Fitri

Apa yang terpikir ketika mendengar kata pemuda? Terbesit dalam benak kita adalah  mereka yang muda, perkasa, semangatnya membara, berani, dan lainnya. Maka tak heran, masa muda adalah masa yang berapi-api, demikian kata Rhoma irama. Masa di mana akan penuh cerita dan dikenang selalu, nanti ketika tua. Menjadi cerita untuk anaknya, bahwa kedua orang tuanya mempunyai cerita yang luar biasa di masa muda itu.

Ketika Islam diterapkan bukan hanya sebagai ritual ibadah, namun Islam diterapkan secara menyeluruh (kafah) sebagaimana firman Allah:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Artinya, “Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian,” (Surat Al-Baqarah ayat 208).

Dari rahim Islam inilah, lahirlah pemuda dengan ketakwaan yang luar biasa. 
Kenapa harus takwa? Bukankah hidup adalah tentang menikmati kesenangan, kebebasan, kehendak diri? Toh kan hidup hanya sekali? Nanti juga mati, tidak merasakan dong bagaimana enaknya arak, main wanita, judi, nongkrong dari pagi ke pagi lagi, dan kesenangan lainnya? Kenapa harus takwa? Bukankah orang mengira kita ini sok alim, sok ustad/ah, sok ulama? Jika dirimu pernah berpikir seperti ini. Maka healingmu belum jauh. Karena apa?

Menganggap bahwa di dunia ini kita hanya untuk mencari kesenangan belaka, maka kamu harus buka kembali Qur'an kamu, sebagaimana firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ 

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.  (Q.S Az-Zariyat ayat 56)

Mari melakukan refleksi diri.
Sudah jelas toh, Wir,  tujuan kita di dunia ini untuk apa?  Lalu apakah dalam Islam kita membatasi diri untuk bersenang-senang? Tentu tidak wahai, Pemuda. Jarang kita temui dalam sejarah Islam, ditemukan pemuda yang bunuh diri karena galau putus cinta, karena mental illness dan lain sebagainya.
Mereka tangguh perkasa dalam beribadah kepada Allah, keyakinan mereka akan hari akhir begitu kuat. 

Lah, kok bisa?
Yaaa mereka paham betul kesenangan yang mereka inginkan bukan sebatas di dunia, bukan sebatas kesenangan yang dibuat atas dasar perspektif manusia, atas nama kebebasan berekspresi dan kesenangan untuk diri sendiri. Bukan itu.

Namun mereka paham betul bahwa kesenangan yang hakiki ialah ketika Allah rida dengan apa yang ia perbuat.

Kita bisa melihat bagaimana kegigihan dan keyakinan seorang Muhammad Al-Fatih untuk menaklukan konstantinopel. Hingga saat ini, kita paham betul penakluk konstantinopel adalah beliau. Bagaimana ia menjadikan masa mudanya bukan hanya untuk kesenangan semata. Keyakinan akan bisyarohnya rasullulah saw. 
لَتُفتَحنَّ القُسطنطينيةُ ولنِعمَ الأميرُ أميرُها ولنعم الجيشُ ذلك الجيشُ

Sesungguhnya akan dibuka kota Konstantinopel, sebaik-baik pemimpin adalah yang memimpin saat itu, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan perang saat itu“.

Terbukti Muhammad al-Fatih berhasil mewujudkan bisyarah Nabi yang sudah dititahkan 800 tahun lamanya, sekaligus mentahbiskan dirinya sebagai peraih bisyarah itu, yang pasti semua itu ia persiapan. 

Wahai, Pemuda.
Bukankah melelahkan jika hari ini kita mengikuti arus yang tiada ujungnya?
Menjadikan kesenangan tanpa keimanan sedikitpun, menjadi tujuan hidup?
Padahal kita sendiri sudah merasa lelah dan ingin menyerah.
Rasa tanya yang selalu mencambuk diri, untuk apa sebenarnya kita di dunia?

Bisa jadi semua rasa itu disebabkan minimnya ilmu agama kita. Kita rela berkorban harta, kesehatan diri kita, untuk menimba ilmu dunia.
Namun kita selalu menunda untuk menimba ilmu agama.
Selagi nafas itu masih ada. Maka diri kita sebetulnya masih memiliki kesempatan untuk mengkaji Islam dan menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup yang sesungguhnya.

Maka kesenangan yang engkau dambakan akan datang dengan sendirinya, yang jelas kesenangan atas ketakwaan yang mengiringi keberkahan berikutnya atas rida Allah. [My]

Baca juga:

0 Comments: