Headlines
Loading...
Perilaku Self-Harm Racun Remaja, Perlu Solusi Hakiki

Perilaku Self-Harm Racun Remaja, Perlu Solusi Hakiki

Oleh. Anindya Vierdiana

Dunia remaja adalah dunia pencarian jati diri, dimana para remaja masih sering mengalami kelabilan emosi dan perilaku. Saat menghadapi masalah misalnya, cara mereka dalam meluapkan perasaan berbeda-beda. Efeknya untuk mereka dalam menumpahkan perasaan beragam yang dapat di lihat dari cara mereka mengekspresikan diri dalam perilakunya.

Melakukan kegiatan yang positif tentunya akan berdampak baik dalam kesehatan emosi dan berpengaruh terhadap perilaku serta pikiran, berbeda halnya jika dalam melepaskan emosi dengan melakukan kegiatan yang negatif seperti halnya melukai diri sendiri atau yang di kenal dengan istilah self-harm. Tentunya akan merugikan diri sendiri dan justru akan lebih memperburuk kondisi fisik maupun mental.

Self-harm di kalangan remaja semakin masif dan menjadi fenomena di tengah-tengah kondisi remaja yang masih mudah terpengaruh dan rentan.

Melansir dari Republika.co.id, baru-baru ini di ketahui 76 pelajar SMP negeri di kabupaten Magetan, Jawa Timur, melukai diri sendiri dengan menggunakan benda tajam. Benda-benda yang di gunakan untuk melukai diri antara lain pecahan kaca, jarum, hingga penggaris. Pelaku self-harm ini umumnya di dominasi usia  pelajar SMP, menurut data Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, ada sebanyak 50-90 persen.

Sebelumnya, terdapat 52 siswi di SMP Bengkulu Utara menyayat tangan menggunakan silet dan pisau pada bulan Maret 2023 lalu. Menurut laporan yang di kutip The Conversation, di tingkat global ada sekitar 17 persen remaja usia 12-18 tahun sengaja melukai diri setiap tahunnya.

Pendorong Remaja Melakukan Self-harm

Self-harm ini di maknai sebagai suatu kondisi dimana seseorang dengan sadar melukai diri sendiri sebagai cara untuk mengatasi emosi negatif yang sangat mendominasi. Perilaku tersebut didasari atas dorongan perasaan untuk menumpahkan seluruh emosi agar dapat melepaskan beban diri namun dengan cara menyakiti diri sendiri.

Perilaku seperti ini dapat di kategorikan sebagai mental ilness, dimana di butuhkan penanganan dan diagnosa yang tepat agar dapat mengurangi resiko memperburuknya keadaan akibat perilaku tersebut.
Nah, Bentuk paling umum dan mudah untuk di kenali sebagai perilaku self harm adalah ketika seseorang menggaruk-garuk lukanya secara berulang, menyayat kulit, memukul diri sendiri, membentur-benturkan diri dan perilaku menyakiti diri lainnya.

Di era modern ini, bentuk dan cara untuk menyakiti diri pun juga mulai berkembang. Ada digital self-harm atau self cyberbullying.
Digital self-harm atau self cyberbullying merupakan perilaku seseorang atau remaja yang dengan sengaja membuat identitas palsu tentang dirinya kemudian di unggah ke media sosial lalu mengomentari diri sendiri dengan nada pedas dan untuk memancing pengguna lainnya juga agar memunculkan komentar negatif terhadap dirinya. Pertanyaannya, mengapa remaja memilih melakukan self-harm untuk melepaskan beban pikirannya?

Self-harm dan Sekulerisme

Mengapa remaja justru memilih self-harm untuk meluapkan emosi?
Sejatinya berbagai faktor yang membuat remaja bertumbuh menjadi generasi yang fluktuatif dan kurang mampu dalam mengelola emosi adalah merupakan dampak dari sekulerisme yang sudah mengakar dalam kehidupan dewasa ini.
Sekulerisme sendiri adalah paham yang memisahkan antara agama dan kehidupan, dimana satu sama lain tidak boleh di kaitkan. Artinya, jika terjadi masalah di dalam kehidupan sama sekali tidak melibatkan agama untuk menyelesaikannya.
Di tambah lagi dengan paham yang mengusung kebebasan yaitu liberalisme. Dimana kebebasan berpendapat, berperilaku harus di beri ruang dan di hargai, apapun itu.

Sekali lagi, fenomena self-harm di dunia remaja, sesungguhnya terkait dengan paham sekularisme, sebab remaja dalam melakukan aksi self-harm atau berpikir ingin melakukan self-harm hanya di dasari ingin meluapkan emosi semata, tanpa berpikir lebih dalam bahwa melukai diri sendiri adalah perbuatan dosa yang di larang oleh agama. Kemudian juga di pengaruhi oleh paham liberalisme, dimana kebebasan di agungkan. Artinya perilaku self-harm merupakan bagian dari kebebasan berekspresi.
Bukan hanya Sekularisme Liberalisme saja yang merusak pola pikir remaja dalam perilaku mereka, namun ada juga kapitalisme yang turut berperan di belakangnya.
Kapitalisme yang lebih menitik beratkan pada materi, sehingga menuntun remaja untuk melihat dan menilai segala sesuatu dari harta ,tahta dan penampilan semata.
Maka tak ayal remaja hari ini sering kali memiliki perasaan tertekan ,emosi yang tak terkontrol karena tak mampu mewujudkan keinginanannya sehingga ketika stres melanda self-harm menjadi solusi bagi mereka.

Media sosial yang seharusnya berfungsi untuk mempermudah remaja dalam mengakses informasi untuk menunjang proses belajar terkadang malah di salahgunakan untuk mengakses konten atau tayangan yang tidak mendidik dan terkadang produsen tidak menyajikan tayangan yang ramah anak dan layak tonton bagi remaja dalam memproduksi karyanya, hanya mengandalkan keviralan dan yang penting cuan. Sementara para remaja yang sering mengakses media sosial yang notabene masih dengan usia labil membuat gampang terpengaruh oleh tontonannya sehingga dapat memunculkan perilaku-perilaku buruk.
 
Sekularisme ini menjauhkan para remaja dari aturan Islam, tidak menjadikan Islam sebagai landasan dan solusi dari semua masalah kehidupan. Walhasil mereka seperti terombang-ambing kehilangan arah. Saat terhantam masalah, para remaja cenderung mudah putus asa, merasa insecure dan tak berharga.

Sekulerisme ini pun juga turut andil dalam memberikan pola asuh yang salah di dalam keluarga. Nilai-nilai yang di tanamkan pada keluarga yang mengadopsi Sekulerisme sebagai landasannya membuat anak tumbuh menjadi generasi yang jauh dari Islam, tidak memiliki perasaan terhubung dengan Allah swt. bahwa ia adalah hamba yang wajib patuh dan tunduk serta taat pada semua aturan Allah swt. Kesuksesan seseorang hanya di nilai dari seberapa besar atau banyak materi yang di hasilkan bukan ketaatan seorang hamba yang memang sejatinya harus tunduk pada aturan Allah swt. Kurikulum pendidikan yang berpedoman pada paham sekulerisme menjadikan pelajar jauh dari ketakwaan sebab di dalamnya tak di ajarkan bahwa setiap perkara ada campur tangan Allah swt. dan segala sesuatunya harus di sandarkan pada Allah swt.

Solusi Hakiki

Yang harus disadari disini adalah, bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam berpikir dan fisik sehingga tak semudah itu untuk menjangkau dan menyelesaikan segala sesuatu hanya dengan bermodalkan logika manusia semata. Bahwa ada Allah yang Maha Pencipta yang menggerakkan, yang mengatur alam semesta.

Disini diperlukan kolaborasi antara unsur keluarga, pendidikan dan lingkungan. Karena jika hanya satu saja yang berperan mustahil mewujudkan remaja dengan mental yang sehat dan kuat. 
-Peran keluarga 
Pengaruh keluarga sangat penting dalam perkembangan psikologi anak dan bagaimana ia dalam menghadapi masalah. Dengan sedari dini anak di tanamkan pendidikan di dalam keluarga yang berlandaskan akidah Islam akan memiliki pemahaman yang baik terkait hubungannya dengan Allah SWT, tumbuh ketaatan, memiliki benteng keimanan yang kuat dan senantiasa menjalankan ibadah kepada Allah sebagai bentuk kepatuhan pada Allah SWT. Mereka pun akan merasa dekat dengan keluarga sehingga ketika ada masalah mereka lebih memilih untuk bercerita kepada keluarga dan mencari solusi bersama.

Kemudian para remaja akan menyadari betul bahwa permasalahan yang di hadapi merupakan ujian dari Allah dan akan jauh lebih tenang dalam menghadapi situasi yang sedang tidak berpihak padanya. Peran Sekolah atau pendidikan harus menjalankan kurikulum berbasis akidah Islam dengan tujuan untuk membentuk dan menumbuhkan kepribadian Islam pada pelajar yang mana pola pikir dan pola sikap sesuai dengan syariat Islam. 

-Peran Lingkungan
Lingkungan juga sangat berpengaruh besar dalam terbentuknya kepribadian dan perilaku remaja. Untuk itu diperlukan kerjasama antar elemen masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang menumbuhkan nilai-nilai islam,bermoral dan kondusif serta kreatif. Sehingga di dalam lingkungan bermasyarakat pun para remaja ini dapat melakukan banyak kegiatan yang positif yang lekat dengan nilai-nilai islam oleh karenanya perilaku-perilaku self-harm yang menjangkiti di kalangan remaja tak akan ada.

Namun dari ketiga unsur tersebut tidak akan mampu bekerja secara maksimal tanpa ada aturan Islam di dalam negara. Kenapa demikian? Sebab negara yang menerapkan aturan Islam berfungsi melaksanakan ketertiban, mengatur, memberi perlindungan, menjamin keamanan setiap rakyatnya dan akan menjalankan serta mengawasi. Oleh sebab itu fenomena layaknya self-harm ini di kalangan remaja dapat di kendalikan karena negara yang berlandaskan aturan Islam akan menyelesaikan setiap masalah kehidupan termasuk perilaku self-harm ini dengan tuntas hingga akar. [ry]

Baca juga:

0 Comments: