Headlines
Loading...
Oleh. Puspita Ningtiyas

Jalan hijrah selalu  tidak mudah, apalagi hijrah sesuai dengan yang Allah kehendaki. Selalu ada gangguan yang menguji keikhlasan untuk menjalani proses hijrah tersebut.

Salah satu ujian dalam proses hijrah adalah rasa takut terhadap kematian. Ya, secara alami, hilangnya nyawa menjadi puncak ketakutan seseorang dalam hidupnya. Disadari atau tidak, takut akan kematian ini akhirnya menghambat seseorang untuk berhijrah.

Rasulullah bersabda,”...Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn." Seseorang bertanya, "Apakah wahn itu?" Beliau menjawab, "Cinta dunia dan takut mati," (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud).

Takut mati menjadi momok yang harus di clearkan. Seseorang berkata ingin masuk surga, maka sebenarnya kematian adalah pintu awal kita memasuki alam akhirat yang Surga adalah satu satu pilihan setelahnya. Maka kematian adalah fase yang harus kita lewati.
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.“ (QS. Al Ankabut: 57)

Jadi, untuk apa takut mati, kalau pada akhirnya tetap akan kita jumpai. Dan kematian ternyata bukanlah akhir dari segalanya. Justru kematian itu adalah awal dari kehidupan yang sesungguhnya. Setelah mati, kita akan memasuki alam barzah. Disana, kita sendirian menunggu hari kiamat itu datang. Jika kita adalah orang baik semasa di dunia, maka kubur kita akan dilapangan. Sebaliknya, Jika kita adalah orang yang buruk amalnya, maka kubur kita akan disempitkan.

Setelah alam barzah kita lalui dan hari kiamat itu datang, tibalah saat penghitungan amal perbuatan semasa kita di dunia. Penghitungan itu dilakukan di Padang Mahsyar. Momen yang menegangkan adalah saat seluruh amal kita ditampakkan dan kita tidak bisa mengelak karena mulut kita terkunci. Kaki dan tangan yang akan menjadi saksi. Disana, dulu yang bersahabat, kini saling menuduh. Dulu yang memiliki hubungan darah, tidak lagi saling membela. Semua sibuk dengan dirinya masing-masing.

Kemudian yang lebih menegangkan lagi adalah ketika dibuka pintu neraka di hadapan kita. Rasa sesal menyeruak di seluruh pembuluh darah. Penyesalan bergemuruh di dada, rasanya ingin kembali ke dunia, mengulang waktu, memperbaiki amal perbuatan dari semula. Ada yang menyesal dan berandai-andai, “Seandainya dulu aku menjadi tanah”. Tapi semua penyesalan tidak lagi berguna. Allah telah mencukupkan usia dan memberikan kesempatan yang banyak kepada manusia. Pada saat itu., beruntunglah siapa yang mendapatkan syafaat Baginda Nabi sehingga ia bisa selamat. Beruntunglah yang mendapat rida-Nya, sehingga ia bisa memasuki kampung halaman surga.

Maka menyikapi kematian harus dengan cara yang benar. Kematian pasti akan datang. Jangan takut sehingga lupa untuk mempersiapkan. Tugas kita adalah menjadikan setiap perbuatan bernilai ibadah dan terkumpul pahala sebanyak-banyaknya. Dengan begitu kita pun akan siap menjemput kematian kapan saja.

Contohlah bagaimana muslimin terdahulu yang justru merindukan syahid demi surga yang dijanjikan. Sayatan pedang, anak panah yang menghujam dada, tidak membuat mereka gentar, justru membuncahkan semangat api jihad. Dengan itu kemuliaan Islam terwujud dan kita jumpai Islam berdiri tegak di dua per tiga dunia. Seandainya tidak ada semangat untuk mati syahid di medan jihad, tentu kita tidak akan merasakan napas Islam berhembus di bumi kita sekarang tinggal.

Di masa sekarang kita jumpai, bagaimana saudara seiman kita di Palestina yang dengan sahaja berguguran membela tanah pemberian agama mereka. Kita merasakan muslimin Palestina tidak butuh rasa iba dunia. Kita tahu, mereka hanya ingin kita melihat dan mencontoh semangat jihad dan tidak takut akan kematian, asal untuk memperjuangan kebenaran yang datangnya dari Allah Pemilik Alam Semesta. 

Baca juga:

0 Comments: