Oleh. Alliwa A.
Namaku Nadia, siswi kelas dua Sekolah Menengah Atas.
Sejak seminggu yang lalu aku bertengkar dengan teman dekatku. Setiap kali kita berpapasan, dia enggan melihat wajahku. Dia selalu mengabaikanku jika kusapa.
Panjang umur. Baru saja dibicarakan, orangnya langsung muncul.
"Luna, Assalamu'alaikum." Aku tersenyum.
Bukannya menjawab, yang disapa justru menundukkan kepalanya dan berjalan cepat melewatiku.
Aku mengabaikannya dan masuk kelas. Begitu sampai di kelas, aku terdiam. Walaupun sudah satu minggu berlalu, aku masih belum terbiasa. Lihatlah. Di sana, bangku yang selama ini diduduki aku dan Luna ditempati oleh orang lain. Aku tahu kalau Luna yang sengaja menukar tempat duduknya.
Setidak suka itukah dia?
Aku menghela nafas.
Mau tahu karena apa kita bertengkar?
Mari kembali ke waktu satu minggu yang lalu.
"NADIAAA!"
"Mau tahu enggak apa yang barusan terjadi?"
Luna dengan nafas ngos-ngosan menghampiriku.
"Apa? Kamu keliatan seneng banget," jawabku.
Kualihkan sejenak perhatianku dari buku paket. Melihat wajahnya yang terlihat senang dan bersemangat, aku jadi tertarik mendengar ceritanya.
"Aku enggak nyangka sih ini bakal terjadi di kehidupanku." Luna tersenyum sumringah.
"Di kantin tadi aku tiba-tiba dipanggil, sama cowok! Pas aku samperin, dia bilang ke aku. Katanya dia udah lama suka sama aku. Tahu enggak sih Nad, dia tuh ganteng banget sumpah. Dan sekarang kita jadian?" Luna mengangguk-angguk, wajahnya berseri-seri.
"Dia nembak aku terus aku terima. Aku terima karena dia ganteng banget!"
"Kamu terima karena dia ganteng?" Aku akhirnya membuka mulut.
Luna mengangguk-angguk sekali lagi.
"Luna, gini. Dengar aku, kamu tahu 'kan kalau pacaran itu dilarang dalam Islam? Pacaran itu mendekati zina." Aku memperbaiki posisi dudukku. Sepenuhnya menghadap Luna.
"Padahal, sekolah kita sudah dipisah lho, laki-laki dan perempuannya. Untuk apa? Ya, tentu untuk menghindari hal seperti itu. Memandang lawan jenis dengan nafsu saja itu termasuk zina, zina mata. Sekarang kamu bilang apa? Kamu jadian sama dia?"
"Tapi Nad, dia nembak aku di depan siswi banyak. Mana dia ganteng lagi, 'kan aku enggak ada alasan buat nolak dia."
"Apa pendapat anak-anak lain lebih penting daripada Allah? Istighfar, Na. Setelah ini aku temenin kamu ketemu sama cowok itu, bilang ke dia kalau kamu enggak akan jadi pacarnya."
"Enggak mau. Lagian banyak kok orang-orang di luar sana yang pacaran. Mereka juga Islam. Aku cerita ini ke kamu karena kamu sahabatku, Nadia. Tapi bukannya kasih respon positif kamu malah ceramahin aku? Seakan aku habis berbuat dosa?" Ekspresi di wajah Luna menunjukkan bahwa dia kecewa.
"Justru karena aku sahabatmu, makanya aku kayak gini. Itu memang perbuatan dosa, Luna. Pacaran itu mendekati zina, dan mendekati zina itu dosa. Di Al-Qur'an surah Al-Isra' ayat 32 sudah jelas dan gamblang. Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji."
Berbeda dengan respon yang kuharapkan, Luna berdiri dan meninggalkan kelas begitu saja. Aku menyusulnya. Di saat seperti ini dia pasti pergi ke kamar mandi perempuan. Tebakanku benar. Kami sering bertengkar, dan setiap setelah bertengkar Luna selalu menangis di kamar mandi. Tapi kali ini tidak seperti pertengkaran sebelum-sebelumnya, kami tidak berbaikan. Lebih tepatnya, Luna tidak sudi berbaikan denganku. Dia mengatakan akan memblokir nomorku dan menyuruhku jangan pernah menemuinya ataupun bicara padanya lagi.
Kembali ke waktu sekarang.
Walau Luna melarangku mengajaknya bicara, aku tetap sering menemuinya. Sekadar menyapa atau mengobrol ringan. Aku juga selalu memberi tahunya, kalau hubungan yang sedang dia jalini sekarang itu bukan hubungan yang diridai Allah. Sayangnya, tidak pernah direspon olehnya. Sama seperti tadi pagi, dia mengabaikan sapaanku.
Aku duduk di bangkuku, mengeluarkan buku-buku pelajaran. Mengulang pelajaran sebelum guru datang. Aku mengikuti pelajaran seperti biasanya, lalu saat pulang sekolah aku mampir ke perpustakaan seperti biasa. Hari ini tidak ada bedanya dengan hari-hari yang lain.
Aku akan berpikir begitu jika saat ini aku tidak bertemu Luna.
"Luna?"
Seorang gadis dengan rambut panjang digerai yang sedang berdiri di parkiran menoleh karena merasa namanya dipanggil.
Aku sontak istighfar setelah memastikan sosok yang berdiri di depanku sekarang benar-benar Luna.
"Kenapa kamu keluar enggak pakai khimar? Ke mana gamismu? Kenapa kamu pakai celana?" Tanyaku terburu-buru, karena panik melihat sosoknya yang berbeda.
"Memang itu urusanmu? Aku sedang jalan dengan pacarku. Jangan ganggu dan pergi sana!" Luna berkata ketus.
Aku tidak bisa menahan emosiku. Cowok itu sudah memberi pengaruh buruk pada sahabatku. Setelah seminggu berpacaran dengannya, Luna melepas hijabnya.
"Kenapa kamu melepas hijabmu? Sekarang kamu sudah tidak takut sama sekali ya? Berhijab itu kewajibanmu, untuk menutup aurat." Aku sedikit meninggikan nada bicaraku.
"Pacarku bilang aku lebih cantik begini daripada pakai khimar," jawabnya dingin.
Tidak hanya sampai di situ, hari-hari setelahnya pun aku sering mendengar kabar tentang hubungan Luna dan pacarnya dari teman-teman sekelas yang lain. Luna yang tidak pernah mengikuti kajian lagi karena dilarang oleh pacarnya.
Beberapa teman sekelas yang dekat dengan Luna mengeluh tidak pernah punya waktu untuk bermain atau mengobrol dengannya. Bahkan, mereka susah untuk mengajak Luna berkumpul untuk mengerjakan tugas kelompok. Luna bilang pacarnya kesepian jika ia bermain dengan teman-temannya. Jadi pacarnya melarang Luna menemui teman-temannya.
Teman sebangku Luna mengaku lelah setiap hari mendengarkan curhatannya tentang pacarnya. Katanya setiap pagi di sekolah Luna selalu mengeluh kelelahan, ia tidak bisa tidur cukup di malam hari karena mengobrol dengan pacarnya sepanjang malam lewat telepon. Ia juga harus bangun pagi-pagi sekali menyiapkan bekal untuk dirinya dan pacarnya. Bahkan, tugas-tugas sekolah pacarnya, ia yang mengerjakan. Alasannya karena pacarnya tidak bisa mengerjakan, lalu dia meminta bantuan Luna.
Luna? Tentu saja ia akan mengiakan semua permintaan pacarnya.
Teman-teman sekelas menjuluki hubungan Luna dan pacarnya sebagai "Toxic Relationship". Artinya adalah hubungan yang tidak sehat.
Aku setuju. Hubungan yang tidak diridai Allah memang hanya akan memberi pengaruh yang buruk.
Sebagai sahabatnya aku merasa kesal dan bersalah karena tidak bisa mencegahnya. Biar pun aku menasehatinya, dia selalu mengabaikanku dan membuang muka, atau menjawabku dengan ketus.
Sekarang sudah sebulan sejak aku bertengkar dengan Luna. Hari ini aku melihatnya menangis di kamar mandi perempuan di sekolah.
Tanpa sempat memberiku waktu untuk bertanya, Luna langsung mengelap air matanya dan keluar dari kamar mandi. Karena akan percuma saja jika bertanya padanya, aku mencoba bertanya pada teman sebangkunya. Tapi, dia bahkan tidak tau kalau Luna menangis, apalagi alasan dia menangis.
Aku tidak bisa menghubunginya karena nomorku diblokir. Jadi sepulang sekolah aku pergi ke rumahnya. Aku langsung ganti baju dan bahkan tidak sempat makan karena buru-buru.
Pukul segini orang tua Luna selalu tidak di rumah. Mereka baru pulang menjelang Maghrib. Jadi, sekarang Luna pasti sendirian di rumah.
"Assalamu'alaikum, Luna."
Tidak ada jawaban.
"Assalamu'alaikum," Aku mengucapkan salam sekali lagi.
"Wa'alaikumsalam,"
"Nadia." Suara lirih Luna dan wajahnya yang lesu menyambutku begitu pintu dibuka.
"Apa yang terjadi? Kamu terlihat lelah, aku juga melihatmu menangis di sekolah tadi pagi."
"Masuklah!"
Kami berpindah ke ruang tamu. Anehnya kali ini Luna tidak menghindariku. Aku sudah cemas dia akan mengusirku tadi.
"Apa sekarang kamu mau cerita?"
"Anak-anak selalu kesal aku mengeluh pada mereka. Tapi jika itu kamu, kamu tidak akan merasa kesal padaku 'kan," ucapnya setelah terdiam cukup lama di tempat duduknya.
"Aku bertengkar dengan pacarku. Aku merasa akhir-akhir ini dia terlalu mengekangku, aku susah menyisakan waktu untuk keluarga dan teman-temanku. Dan akhir-akhir ini dia dekat dengan seorang cewek, adik kelas kita. Kemarin aku bertanya padanya, tapi dia justru marah-marah dan bilang aku cemburuan."
Luna menarik napas dalam-dalam sebelum mengakhiri ceritanya.
"Dan sekarang kita udah selesai. Aku enggak mau lanjutin ini lagi, aku capek, Nad."
"Alhamdulillah kalau kamu sudah terbebas dari hubungan yang toxic." Aku tersenyum.
"Jadikan kejadian ini sebagai pelajaran untuk ke depannya. Jangan menjalin hubungan yang tidak diridai Allah! Lain kali jangan diulangi lagi ya! Yuk bangun, salat taubat!"
"Buat apa?" Luna mendongak, menatapku yang sudah berdiri dari tempat duduk.
"Kamu harus minta maaf sama Allah karena terlena dengan ciptaan-Nya, kamu malah melupakan Sang pencipta," jawabku sembari menggandeng tangannya untuk mengambil wudu.
Tamat
[Cf]
Alhamdulillah wa Syukurillah terus semangat Nak, semoga Allah memudahkan mu berdakwah lewat tulisan.
BalasHapus