Headlines
Loading...
Oleh. Desi

Bunga-bunga yang memanjakan mata bergerak pasrah mengikuti semburan air dari selang yang lincah dimainkan oleh Reza, remaja tanggung anak Ibu Mustika si empunya rumah. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari libur ia akan menyapa tanaman-tanaman di halaman rumah yang luasnya tidak seberapa.

Sesekali ia bersenandung lirih diiringi beberapa gerakan asal-asalan hasil kreasinya. Meski koreonya berantakan, ia tak peduli. Yang terpenting baginya saat ini, dia telah mengantongi pola sandi dari smartphone ibunya. 

Reza selalu mencari peluang saat ibunya lengah. Dengan sigap memasang bola mata ketika jari lentik sang ibu mengusap layar utama handphonenya dengan pola menyerupai suatu benda.

"Ooh, polanya seperti bentuk gayung," hatinya berjingkrak kegirangan sementara tangannya segera bergerak menutup mulut. Bergegas cabut dari tempat ia mengintai sebelum ibunya menyadari keberadaannya.

"Nyiram bunganya yang bener, Kak. Masa di situ terus nyiramnya," sebuah suara mengagetkan Reza yang tengah asik dengan lamunannya. 

"Tanaman sebelah sana belum disiram." Ibu Mus  menunjuk tanaman yang bergerombol di sisi kanannya. 

"Sekalian siram tanahnya biar enggak kebul. Disapu juga ya, Kak, biar bersih. Jam sembilan ada kajian di sini." 

"Hehe, siap, Bu." Reza segera berpindah tempat menuruti titah ibunya.

"Yess...yess... ibu akan sibuk mengaji. Aku bisa main HP sepuasnya," hati Reza bersuara penuh kemenangan. 

Sabtu Ahad menjadi hari sibuk bagi ibunya. Full agenda dari pagi hingga sore. Sementara Reza yang bersekolah hanya lima hari, haus akan hiburan saat libur datang.

Waktu yang ditunggu akhirnya tiba. Satu per satu sahabat ibunya berdatangan. Reza mengintip dari balik gorden yang menyekat antara ruang tamu dengan ruang keluarga. Terlihat ibunya dan beberapa sahabatnya sudah duduk manis siap menyimak penjelasan dari ustazah. 

"Saatnya beraksi," pelan suara Reza dengan bibir yang melebar membentuk senyum penuh kebahagiaan.

Tanpa mengendap-endap ia masuk ke kamar ibunya mengambil HP di atas meja kerja. Digenggam erat dibawa masuk ke kamarnya. Suara pintu terkunci terdengar samar di telinga ibunya yang tengah fokus mengkaji ilmu Islam.

Reza mengabaikan daily schedule yang dibuat bersama ibunya. Nafsunya meronta mengajak healing menyusuri game yang tengah digandrunginya. Dia sibuk menata kota dan membangun gedung indah di sana-sini. Kemudian menyerang banyak mutan yang ingin menguasai dunia. Hingga, tidak menyadari waktu dua jam telah berlalu. 

"Kak Reza," panggilan ibunya terdengar berbarengan dengan suara pintu diketuk.

"Aduh, aku kurang perhitungan. Harusnya aku sudahi sebelum Ibu beres ngajinya." Reza merutuk dirinya.

Dia gelagapan kebingungan. Kedua tangannya memegang kepala, mengacak rambut kemudian merapikan kembali. Gagang pintu siap dibuka dengan bekal bacaan basmalah. 

"Kenapa pintunya dikunci," tanya ibunya.

"Maaf, Bu," kepala Reza tertunduk sambil menyodorkan HP ke ibunya.

"Heemm, Ibu kecolongan lagi." Bu Mus menghela nafas panjang. Bukan sekali dua kali putranya berbuat seperti itu. Setiap kali bentuk pola yang mengunci HP-nya diketahui oleh Reza, pasti langsung ia ganti.

Ibu Mus melangkah mendekati putranya yang masih tertunduk. Melingkarkan lengannya ke pundak Reza dan menggiringnya duduk di bibir ranjang.

"Temen-temenku udah punya HP semua, Bu. Aku juga udah tiga belas tahun," ucap Reza berharap dirinya pun bisa dibelikan HP baru.

"Benda ini sifatnya mubah, Kak. Dia bisa menjadi sumber pahala jika kita bisa memanfaatkan untuk kebaikan, tetapi juga bisa mengalirkan dosa bila kita salah memperlakukannya." Bu Mus membelai rambut Reza sambil memohon dalam hati agar kalimatnya bisa dimengerti oleh anaknya.

"Aku, kan cuma main game aja, Bu," ucap Reza berharap tindakannya bisa dimaklumi.

"Ketika HP udah dipegang. Sekedar main game itu enggak mungkin cuma lima menit beres, Kak," tangan Bu Mus beralih memegang tangan Reza.

"Lama-lama terasa nikmat. Kamu asyik larut tuh dalam permainan. Seiring dengan itu kamu mengorbankan waktumu yang berharga," kini wajah Reza mulai terangkat memandang Ibunya.

"Hati-hati dengan waktu! Ketika kamu enggan menggunakan untuk kebaikan dan kebenaran, maka waktu yang akan melibas kita dengan kesibukan lain." Reza mulai mengerti ucapan ibunya.

"Waktu terus beranjak pergi. Tak peduli siapapun yang ada di dalamnya selama dia tidak mau disiplin dia akan terlindas berkali-kali." 

"Seperti saat in, jadwalnya untuk baca buku dan murajaah, tapi malah teralihkan oleh nafsu Kakak yang ngotot ingin main game." Reza menunjukkan giginya sebagai tanda dia mengakui kesalahannya.

Reza membenarkan ucapan ibunya. "Iya, Bu. Saat HP aku genggam, aku mulai tenggelam larut dalam permainan dan itu menjadi candu. Saat HP kupegang, waktuku banyak terbuang. Perlahan Aku ingin keluar dari rutinitas lain dan hanya ingin fokus pada HP," pengakuan yang hanya ia ucap dalam hati.

"Alhamdulillah udah azan zuhur. Kakak cepat ke masjid. Beres salat ibu mau jemput adik di rumah kakek." Reza bergegas bangkit mengambil wudhu.

Bu Mus memandangi punggung putranya yang semakin menjauh. Untaian doa membasahi bibirnya. Segudang harapan dia jaga melalui sikap tegasnya. Dengan tidak membebaskannya bermain HP. Hanya satu jam sehari itu pun harus ditebus terlebih dahulu dengan hafalan surat atau membantu pekerjaan rumah. 

Bu Mus ingin sekali bisa menyumbang pemuda Islami dari rahimnya. Meski usahanya belum seberapa  dibanding ibunya para ulama. Tetapi hal kecil yang dia lakukan setidaknya punya kontribusi dalam perbaikan generasi mendatang. [Cf]

Cilacap, 24 Oktober 2023

Baca juga:

0 Comments: