Headlines
Loading...
Oleh. Nur Rahayu 

Sungguh sesak dada ini, agama sejak kecil Islam, karena orang tua alhamdulillah memilihkan Islam sebagai agama. Tapi ternyata orang tua juga baru belajar Islam saat aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Itu karena latar belakang keluarga orangtuaku pagan. Aku hanya melihat bapak ibu salat, cara salat sudah mulai kukenal, bacaan salat, gerakan salat yang benar mulai tahu karena di sekolah ada jam agama dan murid digiring ke musala terdekat untuk praktik bacaan dan gerakan salat dari niat yang pakai “Ushali ....” hingga salam. Hapalan untuk bacaan salat hanya 4 surat, Al Fatihah dan 3 Qul. Sudah cukup, yang penting bisa salat. Alhamdulillah.

Tak ada orang tua yang mengajarkan alif ba ta, karena memang mereka tidak bisa. Tetapi ketika umurku 8 tahun, aku ingat di musala ada guru mengaji yang didatangkan oleh kepala Perhutani setempat untuk mengajari anak-anaknya. Sang guru mengaji sering menyempatkan diri mampir ke musala untuk mengajari anak-anak lainnya mengaji tanpa imbalan. Rumahnya di kota. Kalau ke desa, beliau harus naik mobil dengan waktu tempuh setengah jam. Aku ikut ngaji ke beliau. Aku mulai mengenal alif ba ta. Dulu belum ada buku Iqra dan sebagainya. Jadi kami belajar memakai papan tulis hitam dengan kapur putih. 

Aku ingat namanya adalah Mbah Marzuki.  Rumahnya di Kauman, Ngawi, Jawa Timur. Aku hormat betul kepada beliau, hingga tiap beliau datang, segelas susu selalu kubuatkan untuk beliau. Ternyata bukan aku saja, setiap pertemuan seminggu sekali itu ada 3 sampai 4 gelas tersedia. Beliau adil, semua minuman yang ada diminum, sisanya kami selalu nantikan. Begitu beliau meninggalkan musala, sisa susu tadi langsung kupegang dan minum sampai habis, aku yakin ada keberkahan di sisa minuman itu. Begitu pun dengan teman-temanku. 

Suatu saat, belaiu tidak lagi datang. Kami tak tahu alasannya, aku masih terlalu kecil memahaminya. Beriring kepergiannya, aku pun mengikuti orang tua pindah ke kota. Saat kosong dari mengaji Al-Qur’an, hidup juga mulai terasa kosong. Bahkan ketidakpahaman orang tua akan Islam membuatku terus-menerus berada dalam kegelapan. 

Aku sekolah di SMP Katolik. Kenapa? Karena aku termasuk orang yang tidak pintar, sehingga SMP Negeri favorit tidak menerimaku, satu-satunya sekolah swasta dalam kota yang prestasinya sejajar SMP Negeri favorit adalah SMP Katolik. Orang tuaku meminta masuk di situ saja. Kepolosan anak kecil yang percaya dengan pilihan orang tua. 

Mulailah aku memasuki kegelapan demi kegelapan. Hal itu berlangsung selama tiga tahun hingga lulus. Tapi Allah selalu melindungiku dengan pelita yang selalu ada di kamar yaitu Al-Qur’an. Aku selalu rindu agar bisa membaca Al-Qur’an, aku yakin suatu saat Allah akan memudahkan keinginanku. Sehingga meski seminggu sekali dimasukkan ke dalam gereja tidak mengubah akidahku. 

Sempat dulu aku menyesali pilihan otu, tapi setelah dewasa paham akan qadla qadar, aku rida karena itu juga memberi kebaikan dan ilmu bagiku. Itu jalan yang memang Allah kehendaki untukku, akan selalu ada manfaatnya.

Begitupun saat SMU dan kuliah, begitu banyak hal terjadi yang bisa menyungkurkanku pada jalan salah yang berujung pada kemaksiatan hukum Allah. Karena aku yakin jika mengikuti kata hati untuk selalu berbuat baik, Allah akan selalu melindungi kita melalui caranya sendiri. 

Dari perjalananku sendiri aku belajar, dan mencoba menuliskannya agar bisa menjadi pengalaman kawan-kawan semua. Ibrah yang bisa diambil adalah :
Jadilah orang tua yang selalu belajar Islam sehingga tidak salah memilihkan pergaulan bagi anak-anaknya. 
Jadilah orang tua yang memiliki tsaqafah Islam karena orang tua adalah pendidik pertama anak. Apalagi di sistem kapitalis sekuler ini, orang tua harus rajin menanamkan kebenaran jalan Islam 
Jadilah orang tua yang menyiapkan anak-anak sejak dini paham tentang Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Allah Swt. berfirman, “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa."

Sadarilah, jalan menuju kegelapan itu sangatlah mudah dan banyak saat ini. Maka selamatkanlah generasi dari kerusakan sebelum terlambat. [My]

Baca juga:

0 Comments: