Headlines
Loading...
Oleh. Puspita Ningtiyas 

Menjadi ibu adalah tugas yang sangat berat. Berat saat mengandung, menyusui, mendidik dan menemani anak-anaknya bertumbuh hingga dewasa. Namun kelak, tidak selalu kasihnya berbalas sama oleh anak-anaknya. 

Mendidik anak tugas yang sangat berat. Dibutuhkan wawasan tentang kehidupan, keikhlasan dan kesabaran seluas samudera untuk membangun pribadi yang tangguh pada diri anak-anaknya. Ibu adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. 

Tidak ada kasih sebesar kasih ibu. Ia merawat anak-anaknya seperti malaikat yang menyangga alam semesta. Ia terjaga sepanjang malam demi memastikan anaknya yang masih bayi tetap nyaman. Seringkali ibu harus membantu ekonomi keluarga, ia mampu bekerja sepanjang siang seolah hendak memastikan kebutuhan anak-anaknya terpenuhi dengan nyaman pula. Pantas saja ibu mendapatkan penghormatan istimewa dari Baginda Nabi Muhammad saw. dengan meminta anak-anaknya hormat sebanyak tiga kali sebelum hormat kepada ayah. 

Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah RA, Rasulullah saw. bersabda:

Dari Abu Hurairah ra., dia berkata ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?’ Rasulullah menjawab : 'Ibumu.' Lalu siapa lagi? 'Ibumu.' Siapa lagi? 'Ibumu.' Lalu siapa lagi? ‘Ayahmu’.”

Tidak ada cinta sebesar cinta ibu. Tidak peduli kondisi senang atau susah, ia selalu tampak ceria di depan anak-anaknya. Tidak peduli dalam kondisi sehat ataupun sakit, ia tetap sigap menjawab permintaan anak-anaknya. Setelah dewasa terkadang kita masih saja merepotkan orang tua. Tidak masalah bagi ibu karena baginya kita tetaplah putri kecilnya. 

Ibu, maafkan anakmu, yang meski sadar engkau sudah letih tapi aku tetap saja merintih. Meski aku sadar engkau lelah tapi aku tetap meminta. Takdir memberikanmu beban istimewa tapi tak memberikan jaminan tanda jasa di dunia. Maafkan anakmu Ibu, belum bisa membalas setetes saja dari  samudera pengorbananmu. 

Bulan ini genap satu tahun kepulangan ibu dari negeri rantau. Dua puluh tahun adalah waktu yang sangat lama dengan pengorbanan yang tak terkira. Keringatmu mewakili tugas Ayah yang lama tiada, jerih payahmu adalah keikhlasan untuk terus berjuang melawan fitrah keibuan yang memaksa untuk tetap di sisi anak-anaknya. Maafkan anakmu ini Ibu, jika selama dua puluh tahun itulah aku baru bisa memahami tidak semua takdir menjawab harapan seorang ibu untuk dekat dengan anak-anaknya. Bukan engkau sengaja meninggalkan kami, tapi tuntutan kondisi  yang memaksamu untuk pergi. 

Teringat dulu saat Ibu pamit pergi ke negeri seberang, Ibu menyampaikan tidak akan tenang sebelum anak-anaknya menikah dan sudah berkeluarga. Ketika anak perempuannya menikah maka harapan orang tua tertunai, itu yang ada di benak Ibu. Ibu ingin melihat anak perempuannya ini bahagia dengan laki-laki yang akan melindunginya seperti mendiang ayahnya dulu. Kini anak-anaknya telah berkeluarga, “Maaf Ibu, baktiku tak semegah pengorbananmu, izinkan anakmu pelan-pelan belajar  berbakti dengan cara yang membuatmu bahagia.'

Waktu memang berlari begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku menangis di pangkuanmu meminta dibelikan baju hari raya. Kini aku sudah sepertimu Ibu, belajar sabar mendengar rengekan anak minta ini dan itu. Andai waktu bisa berjalan mundur, aku ingin menjadi anak dengan versi yang lebih baik lagi.

Ibu, meski dulu engkau tidak ada di rumah, aku yakin doa-doamu selalu menyertai setiap langkahku. Aku bertemu teman-teman yang baik, bertemu circle yang membawaku kepada kebaikan, semangat mengkaji ilmu agama dan diizinkan oleh Allah menjadi bagian dari barisan pejuang agama Islam, adalah berkat doamu Ibu. 

Andai doa-doamu tidak menyertaiku, mungkin saja aku akan bertemu dengan orang yang salah, pergaulan yang bebas, tersesat jalan entah kemana. Doamulah yang membawa kebaikan datang menghampiri kami. Terimakasih Ibu, dan maaf,  di usia senjamu kini, aku masih saja belajar bagaimana cara berbakti dengan cara yang benar. 

Ibu, ajari kami bagaimana menjawab pintamu sebagaimana engkau selalu menjawab pinta kami waktu dulu. Ibu, bersabarlah dengan kami yang sudah dewasa tapi masih tertatih belajar untuk menghormati  orang tua. Jika ada salah kata, salah sikap, semata adalah proses kami memahami adamu di rumah setelah sekian lama terpisah. 

Ibu, katakanlah apa pintamu, sepenuh hati kami akan menuruti. Katakanlah titahmu sekuat raga kami akan berusaha. Semoga Allah panjangkan usiamu, hingga tidak ada bakti yang tersisa, yang belum kami tunaikan seutuhnya. 

Ibu, mohon doakan kami menjadi anak saleh salehah yang doanya mustajab, didengar langit diaminkan jagad raya. 

Allahumma fighfirlii waliwaa lidhayya warham humaa kamaa rabbayaa nii shaghiraa.” 

“Ya Allah, ampunilah semua dosa-dosaku dan dosa-dosa kedua orang tuaku, serta berbelas kasihlah kepada mereka berdua seperti mereka berbelas kasih kepada diriku di waktu aku kecil.” 
[An]

Baca juga:

0 Comments: